Share

2. Game Over

"Tiga tahun saya berkecimpung di marketing belum ada ide sepayah yang ini."

Telunjuk Gyan terarah ke proposal di atas meja. Hanya membaca satu halaman saja dia bisa tahu ide macam apa yang wanita dengan kepercayaan diri tinggi itu buat.

Resta melebarkan mata mendengar ucapan meremehkan yang Gyan lontarkan.

"Fresh katamu?" Sudut bibir Gyan terangkat. Seringai iblisnya muncul. "Ide seperti itu tidak terpakai di Blue Jagland Kanada. Ide sampah yang sangat ketinggalan jaman."

Sontak Resta ternganga. Menatap proposalnya yang Gyan campakkan begitu saja. Dua tangan di sisi tubuhnya refleks mengepal. Hidung runcingnya kembang-kempis menahan geram. Mati-matian dia menahan untuk tidak menerjang pria pongah itu. Seumur-umur tidak ada yang pernah meremehkan ide-idenya. Seandainya bukan atasan sekaligus anak presdir, mungkin Resta sudah mencekik leher pria tampan itu saat ini juga.

Sial! Tampan, tapi tak punya adab.

"Kalau memang Bapak tidak menyetujui ide ini, kenapa Bapak meminta saya datang mengantar proposal itu kembali?" Dengan sisa-sisa kewarasannya, Resta kembali bersuara.

Lagi-lagi Gyan menyeringai. "Saya cuma ingin tau usaha kamu untuk memaksa saya menandatangani proposal itu. Bukankah itu sesumbar yang kamu katakan ke temanmu?"

Perkataan itu cukup membuat Resta terkesiap. Matanya membelalak dan tubuhnya mendadak merinding seketika. Resta menelan ludah kepayahan. Rasanya dia ingin tenggelam ke dasar bumi sekarang juga.

Ba-bagaimana direktur itu bisa tahu kalau...

"Kenapa? Buktiin dong perkataanmu itu." Gyan menyeringai menang. Dia sedikit mencondongkan badan. Mata birunya menyipit. "Atau kamu itu memang cuma bisa ngomong besar doang?"

Resta gelagapan. Dia tidak bisa menyahut lantang. Posisinya benar-benar seperti di tepi jurang sekarang

"Resta Damara. Staf marketing tim B yang katanya punya otak brilian. Tunjukkan kepintaranmu itu di depan direktur killer yang cuma bisa berlindung di bawah ketiak bapaknya doang. Ayo!"

Mampus! Resta memejamkan mata sambil memalingkan muka. Tamat riwayatnya sekarang. Dia merutuk dalam hati kebodohan yang sudah dia lakukan. Baru kali ini dia merasa terintimidasi oleh ucapannya sendiri.

"Kenapa cuma diam?!" sentak Gyan dengan suara meninggi.

Resta melonjak kaget. Jantungnya merosot ke dengkul seketika. Sekuat tenaga dia mencoba tenang. Dia sadar betul dirinya salah. Dan sekarang dia tahu alasan direktur keuangan itu memanggilnya kemari.

"P-Pak, saya minta maaf," ucapnya menunduk. Tidak ada pembelaan. Semua yang Gyan lontarkan memang pernah keluar dari mulutnya yang kadang penuh musibah.

"Seandainya memaafkan itu semudah membalik telapak tangan," sahut Gyan memutar-mutar kursinya. "Penjara kosong."

Resta terperanjat mendengar kata 'penjara' disebut. "Ba-bapak mau memenjarakan saya?" tanyanya terbata. Sungguh dia tidak ada maksud apa pun kecuali hanya menumpahkan kekesalannya sesaat.

"Bila perlu iya. Tindakanmu sudah bisa masuk dalam pasal perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik."

"Tapi, Pak. Saya tidak bermaksud begitu."

"Yang kamu katakan sudah melukai harga diri saya!" bentak Gyan, membuat Resta refleks memejamkan mata.

"Sa-saya minta maaf. Saya mohon Bapak tidak memperpanjang masalah ini. Saya janji akan melakukan apa pun demi mendapat maaf bapak."

Taring Resta Damara rontok di depan Gyan Elvaro Jagland. Sikapnya yang terkenal pemberani menguap seketika.

Untuk beberapa saat Gyan tampak terdiam memandangi wanita berambut legam itu. Tawaran Resta menarik. Dan sepertinya dia harus memberi sedikit pelajaran kepada wanita itu. Resta harus tahu bahwa Gyan Jagland tidak bisa diremehkan begitu saja.

"Hm, oke. Buktikan ucapan kamu."

"Saya akan buktikan. Saya berjanji akan menaikkan omset penjualan. Saya—"

"Saya tidak butuh itu," gunting Gyan cepat. Membuat Resta sontak urung melanjutkan kata-katanya. "Mulai besok kamu pindah ke divisi finansial."

Untuk kesekian kalinya Resta terbelalak. "P-pindah?"

"Ya. Pindah."

"Tapi kenapa, Pak?"

"Kamu mau dapat maaf dari saya kan?"

"Iya. Tapi kenapa harus pindah?"

"Apa pun alasannya saya tidak wajib memberitahu kamu. Tugasmu cuma membuktikan perkataan awalmu. Bukannya kamu bilang akan melakukan apa pun demi mendapat maaf dari saya?"

Wanita itu kembali kehilangan kata-kata. Lagi-lagi ucapannya bak boomerang buat dirinya sendiri.

Ya Tuhan, pindah ke divisi finansial? 7x8 dan 8x9 saja hasilnya masih ketuker. Bagaimana caranya dia bisa tahan memelototi deretan angka ghaib dengan nol sepanjang gerbong kereta api?

***

Mata biru Gyan mencelang, menatap gedung tinggi hotel di hadapannya. Bibirnya merapat, sementara wajahnya sedatar biasanya. Derap langkahnya yang tegas menapaki lantai lobi gedung itu. Dari lobi dia bergerak ke sayap kiri melewati deretan pintu lift dan berakhir memasuki lift paling ujung.

Kotak besi itu membawanya menuju lantai 10, di mana kelab malam berada. Kelab yang menyatu dengan hotel. Tidak membutuhkan waktu lama, pria yang masih mengenakan kemeja berbalut vest itu sampai ke tempat tujuan.

Lorong lantai sepuluh tidak terlalu ramai, tapi siapa sangka saat dia melewati gate yang dijaga dua orang berbadan besar suasana di balik gate tersebut terlihat begitu riuh.

Dengan penerangan seadanya mata biru Gyan menyisir tempat bising itu. Lampu warna-warni menyorot ke sana ke mari, membuat matanya tak nyaman. Belum lagi musiknya yang mengentak dan bau rokok di mana-mana. Gyan menduga cerobong asap di sini kurang memadai untuk menampung perokok aktif yang sembarangan membuang asap.

Gyan melangkah lebar-lebar mendekati salah satu table. Mengabaikan tatapan wanita-wanita genit di setiap sudut kelab. Rahangnya mengatup rapat saat matanya menemukan seorang wanita tengah berpelukan mesra dengan seorang pria.

Dia berhenti tepat di hadapan wanita itu dengan bola mata yang nyaris keluar dari tempatnya.

"Kali ini nggak ada kesempatan lagi, May," ucapnya tegas, dan penuh dengan penekanan.

Wanita yang berada di pelukan seorang pria itu terkesiap saat menyadari kedatangan Gyan. "Astaga! Sayang! Kok kamu ada di sini?!"

Tanpa rasa bersalah wanita itu menyingkir dari pria yang bersamanya, lalu menghampiri Gyan dan langsung mengecup pipi pria itu. Dua lengannya langsung mengalung di leher Gyan. "Kenapa nggak bilang sih kalau mau datang? Aku kan bisa nyambut kamu," katanya dengan nada manja.

Gyan melirik pria di belakang punggung wanita itu yang diam-diam menyingkir pergi. "Siapa dia?" tanya Gyan dingin.

Wanita yang dipanggil May itu tersenyum. "Bukan siapa-siapa, hanya pria kesepian yang lagi cari hiburan di luar."

"Dan kamu penghiburnya?" Alis Gyan terangkat sebelah.

"Aah, Sayang. Aku juga sama kesepian karena kamu tinggal kerja terus. Aku juga butuh hiburan."

"Tapi caramu menghibur diri nggak masuk di aku. Aku capek memberimu kesempatan. Jadi, detik ini juga aku bebaskan kamu melakukan apa pun sesuka hati kamu."

Wanita dengan softlens abu itu tampak terkejut. "Maksudnya?"

"We're over!"

Rangkulan pada leher Gyan terlepas. "Nggak bisa gitu dong, Gy!"

"Apanya yang nggak bisa? Kamu pikir aku suka melihat pacarku bermesraan dengan laki-laki lain? Dan ini bukan pertama kalinya kalau kamu lupa."

"Astaga, Gy! Mereka cuma hiburan. Yang aku cinta itu kamu! Kamu juga bisa melakukan hal sama, asal kamu berakhir denganku."

Sudut bibir Gyan terangkat. Dia benar-benar tak habis mengerti kenapa masih bisa percaya pada wanita di hadapannya ini.

"Itu bukan caraku. Sori, jalan kita sudah beda. Entah cinta macam apa yang kamu bicarakan itu." Setelah mengatakan itu Gyan berbalik dan melangkah pergi.

"Gyan! Kamu nggak bisa seenaknya mutusin aku gitu!" teriak May tak terima. Dengan cepat dia mengejar langkah Gyan. Namun, dia kurang beruntung. Saking cepatnya berjalan wanita itu tersandung kakinya sendiri dan jatuh tersungkur.

Kejadian itu cukup membuat gaduh. Bahkan Gyan yang berada beberapa langkah di depan wanita itu sampai menoleh. Namun seakan tidak peduli, dia pun kembali melangkah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status