Share

Menjadi CEO

Tak! Tak! Tak!

Suara langkah kaki seorang wanita yang menggunakan sepatu hak tinggi terdengar menggema mengiringi perjalanannya menuju sebuah ruangan bertuliskan “Chief Executive Officer (CEO)”. Sepanjang perjalanan menuju ruangannya di lantai atas, para karyawan menyambut wanita itu dengan ucapan selamat pagi dan dibalas olehnya dengan senyuman ramah yang selalu menghiasi wajah cantiknya.

“Sudah hampir satu tahun aku menjalani semua ini, aku harus bisa bertahan,” gumam wanita itu menyemangati dirinya sendiri.

Sesampainya di dalam ruangan, wanita itu segera melangkah menuju meja kerja yang terletak di sudut ruangan dengan latar belakang jendela besar dan pemandangan indah kota London yang menampakkan jam Big Ben terlihat dari kejauhan. Ia menggantungkan tasnya di stand hanger kemudian menghempaskan tubuhnya di atas kursi empuk kebesarannya.

Tok! Tok! Tok!

Baru saja akan memulai membuka laptop untuk bekerja, suara ketukan di pintu membuat wanita itu terpaksa menghentikan aktivitasnya.

“Silakan masuk!” seru wanita itu.

Pintu pun terbuka menampakkan seorang pria bertubuh jangkung yang berdiri di ambang pintu, menyapanya dengan senyuman manis yang menghiasi wajah tampannya. Senyuman pria itu membuat lesung pipit di wajahnya terlihat dengan jelas.

“Selamat pagi, sudah siap untuk rapat pagi ini Bu CEO?” tanya pria itu kemudian masuk ke dalam ruangan sambil menutup pintu.

“Selamat pagi,” balas sang wanita. “Oh ayolah Kak Andrew tolong jangan panggil aku seperti itu,” protesnya tidak suka dengan panggilan dari kakak iparnya itu.

Pria bernama Andrew itu pun menghampiri sang wanita. “Memang benar bukan? Kamu adalah CEO, Mrs. Aprilia Alexander Dawson,” goda Andrew dengan mengerlingkan sebelah matanya seraya duduk di kursi yang berhadapan dengan meja sang wanita yang bernama April.

“Ini hanya untuk sementara saja Kak, setidaknya sampai Alan kembali,” lirih April.

Mendengar nama Alan disebut membuat Andrew mengambil napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. “Sudah satu tahun berlalu, dia belum juga ditemukan dan kamu masih mengharapkannya kembali? Ayolah Pril, tolong jangan egois kamu harus memikirkan perasaan Alana juga. Apa kamu mau kalian terus-terusan hidup dalam harapan semu?” tukasnya.

April menatap Andrew dengan tatapan tajam. “Seumur hidup pun aku tidak akan pernah lelah untuk berharap dan menunggunya kembali Kak. Aku yakin dia pasti selamat dan sedang berjuang di luar sana.”

“April, aku sangat mengerti bagaimana perasanmu. Alan juga adikku, aku pun sama merasakan kehilangannya. Keluarga besar kita pun demikian, tapi kita harus melanjutkan hidup. Kamu tidak bisa seperti ini terus, bergantung pada harapan yang mungkin tidak akan pernah kembali,” tutur Andrew penuh penekanan di akhir kalimat, pria itu meraih jemari April untuk meyakinkan wanita itu.

“Maafkan aku Kak, inilah jalan yang sudah aku pilih. Aku akan selalu menunggunya kembali, karena hati kecilku berkata bahwa dia masih hidup dan sedang berada di suatu tempat di dunia ini,” sahut April dengan tegas kemudian menarik jemarinya dari genggaman Andrew.

Mendengar jawaban April membuat Andrew hanya bisa terdiam, ia tak bisa memaksakan kehendaknya lagi seperti dulu bagaimanapun dirinya sudah memiliki tunangan saat ini meski ia belum bisa mencintai wanita itu sepenuhnya.

“Ya sudah, mari kita ke ruang rapat sekarang. Semuanya sudah menunggu kehadiran kita,” ajak Andrew dengan senyuman untuk menutupi hatinya yang telah kecewa atas penolakan April barusan.

April pun mengangguk, beranjak dari tempatnya lalu pergi ke ruang rapat bersama Andrew.

**

Sudah satu tahun lamanya April memutuskan untuk pindah dan menetap di London bersama Alana putri kecilnya, ia bertekad ingin menemukan suaminya yang hilang karena kecelakaan di sebuah jurang namun sampai saat ini tubuhnya belum pernah ditemukan. Hal itu membuat April semakin yakin bahwa suaminya masih hidup di luar sana.

Andrew yang merupakan kakak ipar sekaligus rekan bisnisnya selalu datang mengunjunginya dengan rutin setiap bulan, untuk rapat perusahaan atau terkadang hanya untuk memastikan bahwa adik iparnya itu baik-baik saja.

Sepeninggal Alan, perusahaan AD93 yang dikelolanya bersama Dafa terus mengalami penurunan terlebih perusahaan cabang mereka yang ada di London. Merasa ekonomi keluarganya akan terancam, April memberanikan diri mengambil alih dan membeli sebagian besar saham dari Dafa terutama yang berada di London untuk ia kelola sendiri.

Akhirnya, setelah semua setuju dan proses pemindahan kekuasaan telah resmi beralih padanya. Kini April memegang jabatan sebagai CEO dan memberi nama untuk perusahaan barunya yaitu ALSON Company yang berpusat di kota London. Nama ALSON ia pilih karena merupakan gabungan dari nama keluarganya dan Alan yaitu Alexander-Dawson.

Pengalaman dan kepiawaiannya dalam memimpin sebuah perusahaan tak perlu diragukan lagi, dalam waktu singkat ia bisa mengembangkan perusahaan baru itu menjadi lebih maju hingga bisa membuka cabang baru di Indonesia yang dipimpin oleh Dafa sebagai wakilnya.

[Hai Daf, bagaimana perusahaan di sana aman kan?] tanya April saat sedang berbicara dengan Dafa melalui sebuah panggilan video call.

[Tentu saja Pril, kamu tenang saja semua yang di sini bisa aku atasi. Bagaimana kabarmu dan Alana di sana?]

[Kami baik, kalian semua di sana juga baik kan? Clara sibuk apa sekarang?]

[Ya, kami semua baik. Clara sekarang sibuk menjadi model dan menjalani pemotretan untuk beberapa majalah, jadilah anak kami dititipkan pada orang tuanya.] Dafa terlihat menarik napas dalam saat bercerita tentang istrinya yang kini sibuk dengan dunia barunya.

[Sabarlah Dafa, aku tahu Clara wanita hebat yang bisa membagi waktunya. Mungkin saat ini dia masih belum terbiasa saja dengan aktivitas barunya, nanti juga dia akan terbiasa lagi dan bisa mengurus anak kalian kembali,] ucap April membesarkan hati Dafa.

[Iya Pril, semoga saja begitu. Oh ya, apa ada perkembangan terbaru tentang Alan?]

[Belum Daf, dia seperti menghilang dan tidak meninggalkan jejak sama sekali.]

[Tenanglah, kamu harus yakin suatu saat Alan pasti akan ditemukan.]

Usai berbincang sekitar tiga puluh menit dengan Dafa dan membahas pekerjaan, akhirnya mereka mengakhiri sambungan video call itu.

**

“Andrew, bisakah kamu tidak pergi ke luar negeri setiap bulannya? Aku lelah selalu menunggumu menyisihkan waktu sebentar saja untukku, sampai kapan aku harus menunggumu dalam ketidak pastian seperti ini?” cecar Luna saat ia dan Andrew sedang makan malam bersama di rumahnya.

“Sabarlah Luna. Aku pergi juga untuk urusan pekerjaan, bukan yang lain,” sahut Andrew santai sambil menyesap kopi setelah menghabiskan makan malamnya.

“Tiga tahun aku menunggu Andrew, kurang sabar apa lagi aku ini,” protes Luna dengan penuh penekanan.

Andrew mengambil napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. “Aku baru saja pulang dari London, tapi kamu malah menyambutku dengan omelan seperti ini,” keluhnya.

“Bagaimana aku tidak mengomel, kamu bisa pergi ke London menemui April setiap bulannya. Tapi untuk sekedar makan malam denganku saja kamu selalu banyak alasan,” sindir Luna seraya beranjak dari duduknya.

Andrew menahan lengan Luna. “Lalu mau kamu apa?”

**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status