Share

4. Dia Hanya Adik Ipar

Saat dokter datang, semua orang di rumah langsung berbondong-bondong menuju kamar Valerie. Tak ketinggalan Vania dan Leo. Wanita itu memeluk lengan Leo dengan posesif. Sebab Leo berkeras untuk melihat dokter memeriksa sang adik.

‘’Badannya panas. Seharian ga keluar kamar, Dok.’’

Vira menjelaskan di saat dokter sendiri sedang memeriksa suhu tubuh Valerie. 

‘’Makannya bagaimana? Perutnya sudah diisi belum?’’ 

Leo melirik piring yang masih lengkap dengan lauk pauk di atasnya. Sepertinya Valerie hanya makan beberapa suap.

Valerie mengangguk. 

‘’Apa ada bagian tubuh kamu yang sakit?’’

Valerie juga mengangguk.

‘’Di mana?’’

Ketika Valerie menunjuk ke arah perut, Leo terlihat tidak tenang. Apalagi saat Vira menyingkap selimut dari tubuh putrinya, semua orang bisa melihat ada noda darah di atas seprai.

Vania langsung merasakan lengan Leo yang terasa basah. ‘’Kamu kenapa sih? Kok jadi keringat dingin?’’  

Tapi Leo hanya menjawab pertanyaan Vania dengan meletakkan telunjuk di bibir. Menyuruh wanita itu diam. 

 ‘’Ini darah apa, Val?’’ Sang ibu memperhatikan dengan seksama noda tersebut.

Leo hanya bisa memejamkan mata. Jantungnya bergemuruh. Leo sangat khawatir Valerie akan membongkar semuanya di hadapan keluarga.

‘’Anu, Ma… itu…’’

Valerie tak sanggup meneruskan. Itu adalah darah selaputnya. Darah yang disebabkan karena berhubungan badan dengan Leo. Valerie kian gugup untuk menjawab saat Leo memberi gelengan kecil sebagai kode saat ia dan Leo saling memandang. 

Dalam kebingungannya, Valerie hanya bisa meneguk ludah sembari merapatkan bibir. 

‘’Jawab Mama, itu darah apa?’’ 

Cecaran Vira membuat Valerie berjengit. Ia bingung. Ia tak terbiasa berbohong.

‘’Bukankah itu seperti darah haid.’’ Ucapan Leo spontan membuat semua orang menoleh ke arahnya.

‘’Sayang!!’’ Vania benar-benar risih. Kenapa Leo jadi berinisiatif menjawab?

‘’Benar begitu, Nak?’’

Valerie hanya bisa mengangguk pasrah untuk membenarkan perkataan Leo.

‘’Ternyata dia sakit hanya karena menstruasi.’’ Vania berkata dengan nada meremehkan. ‘’Sudahlah sayang, kita keluar saja. Kamu kan harus siap-siap kembali ke Kalimantan.’’ 

Kaki Leo ingin sekali terpaku lebih lama. Tapi Vania yang terus menariknya untuk keluar disertai tatapan dingin membuat Leo tak punya keberanian untuk membantah.

Valerie hanya bisa menggigit bibir, menahan sakit atas kata-kata dan sikap Vania.

Bila sang kakak tau apa yang terjadi sebenarnya, Valerie yakin Vania tidak akan berkata dan bersikap sekasar itu. Tapi Valerie terlalu menyayangi Vania. Jadi, ia tidak akan menghancurkan kebahagiaan dan masa depan kakak kandungnya sendiri.

***

‘’Biar Mas bantu.’’

Suara yang tak asing itu membuat Valerie terperanjat. Untuk sesaat ia menghentikan gerakannya yang berusaha untuk duduk. Ia kehausan dan ingin mengambil minum di meja— samping tempat tidur.

Lalu Valerie menengadahkan kepala untuk melihat sosok yang sekarang sedang membantunya merubah posisi. 

‘’Kau ingin minum?’’

Valerie mengangguk, Ialu melihat ke arah pintu yang tertutup.

Keberangkatannya ke Kalimantan membuat Leo gusar sendiri. Ada perasaan tidak ingin kembali karena tiba-tiba ia terus-terusan memikirkan Valerie. Setelah berkemas dan melihat sepinya rumah, Leo langsung menggunakan kesempatan itu untuk menemui Valerie.

Leo membantu Valerie untuk minum. Lalu mengembalikan gelas ke tempat semula setelah selesai.

Valerie sendiri sedikit risih dengan Leo yang membantu dan berada di dekatnya. Ia takut bila Vania atau siapapun di rumah ini tiba-tiba masuk.

‘’Kau sangat pucat.’’

‘’Aku tidak apa-apa. Nanti juga akan sembuh.’’

Leo menghela napas berat lalu mengangguk. ‘’Saya akan berangkat satu jam lagi. Dan saya ingin memastikan satu hal.’’ 

‘’Selama menunggu waktu pernikahan, bisakah kau tetap menyimpan rahasia ini, Val?’’ lanjut Leo.

Melihat keraguan Valerie yang ingin membongkar apa yang sebenarnya terjadi tadi, membuat Leo sedikit khawatir. 

Mungkin sekarang ia hanya memikirkan nasib pernikahannya saja dan tak memikirkan nasib Valerie, tapi ia tidak bisa membuat Valerie merusak apa yang sudah lama ia nantikan.

Valerie menunduk lesu, Leo terus menuntutnya sedangkan ia tak menuntut apapun dari Leo.

‘’Vania adalah segalanya bagi saya,’’ ujar Leo— berusaha membuat Valerie mengerti akan kondisinya. Bentuk keegoisan Leo yang lain. 

Valerie tau itu. Setiap minggu, Leo yang terbang dari Kalimantan ke Pulau Jawa hanya untuk mengunjungi Vania— sudah cukup membuktikan seberapa cinta pria itu pada sang kakak. Leo selalu membuat Vania merasa beruntung. Tapi Leo malah memberikan Valerie kemalangan, kesialan dan semua yang berkebalikan dari apa yang Vania terima dan rasakan. 

‘’Jika kau menyimpan tentang hal ini dari keluarga kita, saya akan memberikan apapun yang kamu inginkan.’’ Leo masih berusaha membujuk. Biasanya seorang wanita akan setuju jika diiming-imingi dengan kalimat seperti itu. 

‘’Apapun?’’ ulangnya. Ia tak berani menatap Leo. Pandangannya tertuju ke selimut.

Leo membenarkan. Ia bahkan menambahkan untuk memberi Valerie uang setiap bulan. Atau lebih tepatnya uang tutup mulut agar Valerie diam.

Valerie tersenyum getir. Kedua tangannya mencengkram selimut. Ternyata Leo menganggap kesuciannya bisa diukur dengan uang.

‘’Lima puluh juta setiap bulan. Bagaimana?’’

Keluarga Leo adalah pebisnis batu bara. Jumlah sesedikit itu tidak akan membuatnya merasa berat. Ada nama baik keluarga yang harus dijaga. Bila Valerie menginginkan dua atau sepuluh kali lipat pun, Leo tetap akan memberikannya.

Mungkin terlihat seperti Leo sedang membeli harga diri Valerie. Tapi ia tak mau ini semua terbongkar di mana posisinya Vania adalah ratu di hatinya. Sementara Valerie tak berarti apa-apa baginya.

Valerie kehilangan kata-kata. 

Suara kasak-kusuk dari luar membuat Leo menoleh ke arah pintu sedangkan Valerie belum menjawab ataupun menyetujui tawarannya.

‘’Val…’’ Leo mendesak. Kepalanya bolak-balik melihat Valerie dan pintu. 

‘’Jangan pernah berpikir bahwa tubuh saya dapat dinilai dengan harta. Jadi tidak ada yang perlu kamu khawatirkan, Mas. Saya tidak akan memberitahu siapapun. Itu adalah kecelakaan.’’

‘’Saya sangat berterimakasih padamu, Val.’’

Leo bernapas lega. Ia segera beranjak dari tempat tidur dan menyentuh gagang pintu. Tapi sayangnya daun persegi panjang tersebut sudah terbuka dari luar. Ia terperanjat karena yang muncul adalah Vania.

‘’Sayang, kamu ngapain di sini?’’

Vania memandangi Valerie dan Leo bergantian.

‘’Aku hanya ingin berpamitan dengan Valerie. Aku tau dia tidak bisa mengantarku nanti ke bawah. Jadi aku mampir.’’ Leo berkata cukup tenang. Bahkan seperti tidak terjadi apa-apa.

Vania melirik Valerie dengan tatapan curiga. ‘’Dia hanya adik ipar. Kamu gak perlulah sampai datang ke kamarnya segala. Sendiri pula.’’

Leo mengusap kepala Vania. Tersenyum lembut. ‘’Sayang, adik kamu kan juga adikku. Aku juga cuma sebentar kok.’’

Pandangan Vania berubah sinis kepada Valerie. Namun begitu, Vania tetap mempercayai kata-kata Leo. ‘’Jangan lama-lama di sini. Aku mau dicium kamu dulu sebelum pulang.’’

Leo mengangguk sambil tersenyum. Ini akan menjadi pelajaran. Leo tidak akan membiarkan Vania memergokinya menemui Valerie diam-diam.

Esoknya, Valerie bangun lebih pagi. Ia harus bergerak untuk meregangkan otot-otot tubuhnya agar tidak kaku. Hari ini Valerie merasa sedikit membaik. Jadi ia keluar dari kamar dan perlahan menuruni tangga dengan hati-hati. Sesekali Valerie memegangi kepala begitu rasa pusing kembali menyerang.

‘’Kalau kamu jatuh, aku gak mau nolongin!’’ 

Valerie menoleh ke arah meja makan. Vania menatapnya sinis, lalu menjejali mulut dengan roti lapis. Sikap Vania memang tidak pernah ramah padanya. Bahkan sejak mereka kecil. 

Ia sendiri tak menanggapi dan langsung duduk di kursi yang berhadap-hadapan dengan Vania.

‘’Kamu jangan berpikir macam-macam tentang calon suamiku. Dia memang baik sama semua orang. Hanya karena Leo menjengukmu kemarin, bukan berarti dia suka sama kamu!’’

Valerie hanya mengangguk mengerti. Ia lalu mengambil piring dan mengisinya dengan nasi goreng. Tapi, Vania masih di sana, padahal wanita itu sudah selesai makan. 

Valerie menelan saliva, menanti apa yang akan diucapkan Vania selanjutnya. 

‘’Dan lagi… ga usahlah sok-sokan sakit di depan keluarga Mas Leo. Sakit kok dibuat-buat. Kamu tuh ga jelas banget! Haid doang sampe demam begitu.’’

Tidak ada pilihan bagi Valerie selain hanya bisa menganggukkan kepala. Vania berpikir bahwa perhatian yang Valerie dapat muncul saat acara lamaran itu. Padahal Valerie hanya mengantarkan minum, tidak lebih.

‘’Aku ingetin ya, jangan genit-genit sama Leo apalagi cari muka sama mertuaku!’’

‘’Iya, Mbak.’’

‘’Gak sekali aku dengar  kamu dekat sama banyak laki-laki. Kalau nakal cukup di luar, jangan di bawa-bawa ke rumah. Jadi pelakor juga aku gak perduli,’’ seru Vania tajam. ‘’Boleh murahan, tapi jangan bersikap seperti pelacur untuk calon suami orang.’’ 

Hati terasa begitu sakit dianggap begitu rendah oleh kakak sendiri. Jemari Valerie meremas sendok dan garpu dengan kuat. Namun benda itu dilepas paksa demi menyeka bulir-bulir air yang tak kuasa untuk Valerie bendung. Meratapi kemalangannya yang sama sekali belum diketahui oleh Vania. Wanita yang memiliki ruang istimewa di hati keluarga dengan julukan anak kesayangan. Padahal anak perempuan di keluarga Mahendra ada dua dan bukan Vania saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status