"Fobia terhadap pernikahan, bukan berarti tidak menyukai orang tampan. Aku pun sering mengagumi para lelaki ganteng, hanya tidak tertarik menjalin hubungan." ~ALeeya/Bawang Merah~ --- Kepala sedikit berdenyut saat aku membuka mata. Insiden dengan makhluk cokelat yang suka menggeliat-geliat itu membuat tubuh lemas dan langsung tidak sadarkan diri. Bulu kuduk seketika berdiri hanya karena teringat kejadiannya. Tidak, tidak! Jangan dibayangkan! Hush! Hush! Pergilah dari otakku! “Kamu sudah sadar, Nona?” Suara bariton yang indah menyapa telinga, membuyarkan lamunan. Aku mengalihkan pandangan. Waktu seakan terhenti. Makhluk nan indah menatap lembut. Aku tidak menyebutnya lelaki meski dari segi fisik dan suara terlihat seperti kaum Adam. Dia terlalu menawan jika disebut manusia. Terlebih, telinganya memang sedikit runcing, persis para elf di Film Lord of the Ring. Tubuh tegap terbalut sutra putih itu mendekat. Aku menunduk, takut pikiran teracuni karena dada bidang dan enam otot peru
“Aku memberinya nama karena dia lucu.” ~Bawang Putih~ --- Genggaman tangan terasa berbeda, tidak lagi kokoh, tapi permukaannya lembut. Aku membuka mata. Ibu dan Bawang Putih tampak menatap pilu dengan wajah basah. “Ibu ... Bawang Putih ....” Ibu langsung mendekap erat. Untunglah, aku sudah membuatkan jamu kunyit asam sirih untuk mengurangi bau badan, juga meminta beliau mandi dengan rebusan air sirih minimal seminggu sekali. Sekarang, hidung sudah aman dari bau ketek, tidak perlu menahan napas lagi. “Aku takut sekali tadi, Mbakyu,” isak Bawang Putih, lalu ikut memelukku. “Maaf, ya, membuat semuanya cemas.” Ibu melepaskan pelukan dan mengusap wajahku dengan lembut. “Sudahlah, yang penting kamu baik-baik saja. Sekarang, Ibu mau membuat masakan kesukaanmu dulu. Kamu pasti lapar karena sudah pingsan seharian.” “Terima kasih, Bu.” Ibu beranjak dari tempat tidur. Beliau ke luar kamar, meninggalkanku dan Bawang Putih. Gadis itu masih saja menatap cemas. Dia baru bisa tenang setelah
“Saat putriku terancam bahaya, keegoisan menguasai hati begitu saja.” ~Ibu Bawang Merah~ --- Setelah tiba di rumah Bawang Putih, kami langsung ke kamar utama. Ibunya tampak kejang-kejang di tempat tidur, dengan bola mata melotot seperti tercekik. Tangan dan kaki beliau juga bergerak tak tentu arah. “Tolong, jangan bunuh saya! Tidaaak, pergi sana!” Teriakan penuh ketakutan terus terlontar dari bibir yang kering dan pucat. “Putih, tolong ambilkan telur, mangkuk, dan gentong kosong!” Bawang Putih bergegas ke luar kamar. Sementara itu, aku mendekat mengubah posisi Ibu Bawang Putih. Kini, beliau duduk dengan wajah di arahkan ke bawah. Pintu berderak. Bawang Putih masuk dengan membawa barang-barang yang tadi kuminta. Telur diambil bagian putihnya saja, lalu diminumkan untuk memicu muntah. “Huek! Huek!” Aku mengurut pelan punggung ibu Bawang Putih. Beliau terus memuntahkan isi perut hingga keluar cairan kuning. Tubuh kurus itu pun terkulai lemas. Aku membersihkan sisa muntah di pingg
“Mbakyu, apa yang bisa kubantu?” celoteh Bawang Putih antusias. Kepalanya celingak-celinguk. Sementara itu, tubuh yang mulai menunjukkan tanda-tanda kedewasaan itu bergerak lincah di antara karung-karung berisi herbal. Aku terkekeh melihat tingkahnya. “Tolong cucikan cabe jawa di sana, ya, Putih.” “Siap!” Bawang Putih tampak langsung mengangkut keranjang berisi cabe jawa. Ya, aku memang hendak membuat jamu cabe puyang. Kunyit dan lempuyang sudah siap sedia sejak kemarin, sedangkan cabe jawa baru saja kupanen tadi pagi. “Putih berangkat dulu, ya, Mbakyu!” seru Bawang Putih sambil tancap gas ke luar bilik kerja. “Hati-hati!” pesanku setengah berteriak. Bawang Putih tidak menyahut karena memang sudah menghilang dari pandangan. Aku menggeleng. Beberapa hari lalu, dia tercebur ke sungai karena terlalu semangat membantuku memetik buah ara. Semoga saja, anak itu belajar dari pengalaman agar lebih berhati-hati. “Yap! Saatnya mengolah sampel lagi!” Aku langsung merajang kunyit dan lemp
"Belenggu pengaturan cerita ini terlalu sulit untuk diputus." ~Aleeya/Bawang Merah~ --- Waktu seolah berhenti sejenak. Kami semua terpaku. Beruntung, aku cepat sadar, langsung menginjak kaki Yu Sari. Dia menjerit kesakitan dan refleks melepaskan cengkeraman. “Bulik ....” Aku bersimpuh di sebelah ibu Bawang Putih, mencoba melakukan pertolongan pertama. Darah segar terus merembes dari batok kepala. Bau anyir bercampur dengan aroma rumput basah. “ARGGGH!” Erangan memekakkan telinga. Ya, saat melihatku berlari membantu ibunya, Bawang Putih menggigit lengan preman. Tak hanya sampai di situ, dia juga langsung melakukan tendangan maut pada organ reproduksi si codet. Lelaki kekar itu tampak roboh ke tanah sambil memegangi benda pusakanya. “Ibu! Ibu!” Bawang Putih berlari ke arahku dan ibunya. Dia hampir saja mengguncang tubuh yang berlumur darah. Untung saja, aku berhasil mencegahnya. Sementara itu, warga mulai berdatangan. Wajah-wajah penuh amarah memburu Yu Sari. Selama ini, war
“Saat duka ini begitu dalam, aku merasa lebih baik mati saja.” ~Bawang Putih~ --- Derap kaki kuda terdengar. Kepala desa urung melemparkan obor ke tumpukan kayu. Tak lama kemudian, sepuluh ekor kuda memasuki desa. Aku terpaku, sedikit terpesona pada sosok berkulit hitam manis yang memimpin pasukan berkuda. Jika genderuwo ganteng tanpa nama menawan seperti berlian, maka pemuda ini memesona karena kegagahannya. Sorot mata elang nan tajam pasti telah banyak menjerat hati kaum hawa. “Bawang Merah, cepat bersujud!” seru salah seorang tetangga seraya menarikku untuk melakukan pose bersujud kepada keluarga kerajaan. Keluarga kerajaan? Tunggu dulu! Jangan-jangan si tampan berkulit eksotis adalah Pangeran Arya! Dia jodohnya Bawang Putih! Aku mengintip. Pangeran tampak turun dari kuda. Dia mengangkat tangannya dengan penuh wibawa. “Cukup! Kalian tidak perlu memberikan penghormatan berlebihan seperti ini padaku. Bangunlah!” perintah sang pangeran, membuat warga perlahan bangkit dari pos
"What the? Suami pemabuk, hobi main judi, dan tukang selingkuh masih mau dipertahankan?" ~Aleeya/Bawang Merah~ --- Ayah Bawang Putih tampak menghela napas berat. Tangannya cekatan menggulung tembakau. Tak lama kemudian, asap mulai menyebar di udara, membuat tenggorokan terasa gatal. Aku pun terbatuk-batuk. “Ba-bawang Merah?” Ayah Bawang Putih tampak tersentak. Beliau mematikan rokok lintingan, bangkit dari kursi, lalu menghampiri. Aku menelan ludah. Argh, bisa-bisanya kepergok sedang menguping! “Kamu mendengar apa yang kubicarakan dengan ibumu?” Aku mencengkeram tepian nampan. Otak berpikir keras, mempertimbangkan untuk jujur saja atau bertingkah seolah tidak tahu apa-apa. Ayah Bawang Putih sudah berdiri di hadapan dengan raut wajah tak bisa ditebak. Ah, sudahlah! Aku menunduk dalam sebelum bergumam lirih, “Maaf, Paklik. Saya tidak bermaksud menguping. Tadi, mau ke dapur, lalu tidak sengaja ....” Aku melirik takut-takut. Jantung berdetak cepat. Hutang jasa keluarga kami
“Hanya wanita lemah yang menangisi suami tidak berguna.” ~Pelakor~ --- Oleh karena tak ingin penasaran berlama-lama, aku segera membukakan pintu. Wanita muda berdiri dengan tangan menyilang di depan dada. Wajah cantiknya tampak sinis. Dia mendelik tajam saat menyadari keberadaanku. “Akhirnya, keluar juga. Kalian tuli, ya! Diketuk dari tadi lama sekali baru dibuka!” bentaknya. Ya ampun, rese sekali orang ini! Jangan-jangan orang gila menyasar ke sini? “Maaf, Anda siapa, ya? Ada keperluan apa dengan keluarga kami?” “Aku istrinya Mas Bambang. Mau mengambil rumah ini!” Bambang siapa lagi, sih? Istri kena gangguan jiwa malah dibiarkan berkeliaran. Kalau sampai mencelakakan orang lain, dia juga nanti yang repot. “Ada apa, Bawang Merah? Kok, ribut-ribut?” Suara Ibu terdengar mendekat. Benar saja, beliau sudah berdiri di sebelahku. Namun, Ibu mendadak terpaku. Sinar matanya tampak memancarkan api kemarahan. “Kamu? Berani kamu ke sini, hah! Di mana Mas Bambang?” bentak Ibu dengan su