Setelah melaksanakan Shalat Maghrib, bayangan Alex dan sosok ganjil yang menyerupai Alex dan mengerikan itu pun menguap dari pikiran dan bayangan Firda. Saat suaminya pulang kerja, semua sudah kembali seperti sedia kala. Firda pun merasa apa yang dilihat dan dialaminya hanya halusinasi, hingga dia memutuskan untuk tidak menceritakan itu pada suaminya.
Hari berikutnya Firda sampai di kantornya jam setengah tujuh pagi. Sengaja dia berangkat lebih pagi karena ingin segera bertemu dengan Pak Hasan untuk menanyakan banyak hal tentang Arman. Namun dia harus kecewa karena ternyata Pak Hasan tidak masuk kerja tanpa alasan jelas.
Akhirnya Firda hanya duduk termangu di meja kerjanya seraya menunggu yang lain dan memikirkan semua yang telah dialaminya dipadu dengan semua info yang masuk ke telinganya. Keyakinan Firda mulai sedikit goyah. Ada sebersit perasaan dalam hatinya yang mengatakan jika Arman memang menjadi tumbal pesugihan dan kini arwahnya gentayangan.
Sebenarnya Firda juga ingin menceritakan kejadian kemarin sore pada yang orang lain. Namun takut dianggap memperkeruh suasana. Sebagai pribadi, juga sebagai aparat desa, tentu dia wajib menjaga kehormatannya dengan tidak menjadi pihak yang memiliki andil memperkeruh suasana apalgi sampai memojokkan keluarga yang sedang mendapat musibah. Terlebih, Firda pun kenal dengan keluarga Pak Arnadi.
Ada satu orang yang benar-benar Firda percayai untuk bercerita. Namun pemikiran itu pun segera ditepiskan karena Asrul, bukan tipe orang yang mudah percaya dengan perkara takhayul dan sejenisnya.
“Bu Firda tumben belum ngopi?” tanya Asrul mengejutkan Firda.
“Hah, sampai lupa saya, gara-gara Pak Hasan libur nih, heheheh,” jawab Firda seraya bangkit dari duduknya dan dengan sedikit terburu-buru pergi ke ruangan yang difungsikan sebagi dapur merangkap gudang.
“Bu Firda inget gak, sama Arman yang dulu PKL di sini?” tanya Asrul tiba-tiba. Firda yang sedang menyeduh kopi pun sedikit tersentak karena tak menyadari jika rekan kerjanya itu ikut menyusulnya ke dapur.
“Ingetlah. Gak disangka ya, padahal usia dia masih sangat muda.” Firda menjawab seraya membalikan badannya menatap Asrul.
“Eh, ternyata Bu Firda sudah tahu, toh?” timpal Asrul dengan mata yang sedikit terbelalak.
“Tahulah. Kemarin Pak Hasan yang ngasih info. Pak Asrul sendiri tetangga dekatnya malah gak ngasih tahu sama saya,” sesal Firda dengan bibir yang sedikit cemberut.
“Mohon maaf, Bu. Bukan maksud saya gak mau ngasih tahu, tapi situasinya memang sedang tidak kondusif. Ibu tahu gak rumor yang sedang berkembang saat ini? gosip yang bener-bener bikin heboh!” Asrul menatap bola mata Firda yang berusaha menghindari tatapannya.
“Tumbal pesugihan kan?” Firda menjawab to teh point. “Heran kenapa sih harus ada gosip seperti itu. Apakah mereka tidak bisa menjaga perasaan orang yang sedang kemusibahan?” lanjut Firda seraya mendengus kesal.
“Itu yang sangat saya sesalkan. Tapi memang banyak sekali orang yang mengaku didatangi arwahnya Arman. Terutama orang-orang yang pernah dekat dengan almarhum semasa hidupnya,” balas Asrul.
“Apa buktinya kalau mereka didatangi Arman?” selidik Firda untuk mencari kebenaran dan mungkin persamaan antara yang dialaminya dengan yang dialami mereka yang mengaku didatangi.
“Katanya sih, Arman datang dalam wujud dia yang biasa, berjaket ala Dilan. Kalau bukti-buktinya gak ada Bu. Mereka mungkin gak kepikiran atau gak sempet moto, karena datangnya dadakan dan cuma sebentar, dalam hitungan detik.” Asrul terdiam sejenak, “Bu Firda juga kan waktu itu sangat dekat sama Arman. Apakah Ibu juga…”
“Sudahlah Pak, tidak pantas kita ngomongin orang yang sudah meninggal. Lebih baik kita doakan almarhum mendapat tempat yang layak di sisi-Nya!” potong Firda dengan sangat ketus. Dia pun segera melangkah keluar dari dapur tanpa mempedulikan Asrul.
‘Astaga! berarti memang aku tidak salah lihat. Kemarin betul-betul Arman yang mendatangiku. Pak Asrul aja yang biasanya logis, sepertinya mulai percaya dengan hal-hal seperti itu.’ Hati Firda semakin bimbang.
Firda duduk kembali di tempat kerjanya seraya terus memikirkan segala hal yang berkaitan dengan Arman juga segala kemungkinan yang akan terjadi pada dirinya. Bayangan Arman yang masuk warung Bu Qosim, serta sosok Alex dan sosok bayangan hitam di bawah pohon rambutan, kembali menari-nari di pelupuk matanya.
Firda dilanda keresahan dan kegelisahan yang sesah dia bagi pada siapapun. “Sepertinya aku harus segera bertemu dengan Hendy,” putus Firda sambil merapikan meja kerjanya.
Sementara itu sepeninggal Firda, Asrul hanya melongo untuk beberapa saat. Tak menduga rekan kerjanya akan bereaksi seperti itu. Tak biasanya Firda bicara ketus dan memotong pembicaraan lawan bicaranya. Dia juga sangat tidak mudah termakan gosip yang belum jelas. Selama yang Asrul kenal, Firda selalu menjadi pendengar yang baik dan menanggapi semua yang didengarnya dengan sangat santun dan bijak. Tidak pernah dia bereaksi yang berlebihan, bahkan untuk permasalahan yang lumayan rumit sekalipun.
Asrul pun tak lama keluar dari dapur, lalu pergi ke warung Bu Qosim untuk membeli rokok.
“Pak Asrul, sini bentar?” Bu Qosim langsung menyambut Asrul dengan ajakan untuk mendekatnya. Sepertinya wanita berusia 40 tahun yang sedikit genit itu ingin berbicara serius dengan Asrul.
“Mau bicara apa, Bu?” tanya Asrul langsung pada sasaran. Tak biasanya Bu Qosim menampakan wajah yang sedikit tegang dan serius kepada pengunjung warungnya.
Dengan sangat hati-hati dan sedikit berbisik, Bu Qosim menceritakan semua peristiwa yang dia anggap sangat aneh tentang Firda kemarin sore.
“Saya curiganya, Neng Firda kemarin itu memang ngeliat penampakan Arman. Berita itu kan sekarang lagi heboh di kampung sebelah.” Wajah Bu Qosim terlihat makin tegang. Ada raut ketakutan yang tak bisa disembunyikannya.
Pernyataan Bu Qosim sontak membuat Asrul sedikit tersentak dan menghubungkan dengan gelagat aneh Firda saat di dapur tadi. Andai cerita Bu Qosim tidak dibenarkan oleh Ana dan Ani, dia pun mungkin akan menduga jika Bu Qosim hanya mengada-ada.
“Setahu ibu, dulu waktu anak itu PKL di sini, kan deket banget sama Neng Firda. Bahkan mereka sering makan di sini. Menurut gosip yang beredar, arwah penasaran anak itu kan suka ngedatangin orang-orang yang dekat dengan dia.” Bu Qosim melengkapi bumbu gosipannya.
“Itu hanya gosip saja, Bu,” ucap Asrul setelah menghela napas, berusaha meredam kegalauan lawan bicaranya.
Asrul benar-benar tak menduga jika gosip itu sudah dengan sangat cepat menyebar kemana-mana, bahkan lintas kampung dan desa. Sebenarnya tadi Asrul pun ingin menyampaikan hal itu pada Firda, dengan maksud agar rekan kerjanya tidak mudah percaya atau merasa terganggu pikirannya.
“Saya bertetangga dekat dengan orang tuanya almarhum, Bu. Alhamdulillah tidak ada apa-apa dan tidak merasakan apa-apa. Kita jangan terlalu percaya dengan gosip yang tidak jelas sumbernya. Lagian mereka juga tidak bisa membuktikan kalau mereka bener-bener didatangi Arman.” Asrul berusaha menyangkal ucapan Bu Qosim untuk meredam isyu walau jantungnya mulai dag-dig-dug tak karuan, khawatir dengan Firda.
Setelah membayar rokoknya, Asrul pun segera kembali ke kantornya. Isi kepalanya dipenuhi banyak pertanyaan yang ingin dia klarifikasi pada Firda. Dia semakin yakin jika Firda merupakan bagian orang yang didatangi Arman dan kini sedang dilanda kecemasan dan kekalutan.
“Mal, Bu Firda kemana?” tanya Asrul pada salah seorang rekan kerjanya.
“Baru aja keluar, izin mau ke rumah sodaranya, katanya sih ada perlu ngedaadak.”
‘Tumben, Bu Firda ninggalin kantor jam segini. Jangan-jangan….’ Kecurigaan Asrul semakin menjadi-jadi. Lalu dia pun mencari tahu ke rumah saudara yang mana Firda perginya. Setahu dia, Firda tidak memiliki saudara dekat di sekitar sana.
^^^
“Kok lama sekali sayang, katanya cuma sebentar?” tanya Mas Bayu saat aku sampai di rumah. “Iya Mas, tadi Bang Alex ngobrolnya lama banget sama teman-temannya,” jawabku berbohong. “Ya udah kita masuk dulu. Mas juga udah nyiapin minuman hangat buat kamu, Sayang” ajak Mas Bayu sambil tersenyum lembut menghangatkan jiwaku yang kaku dan dingin. Aku benar-benar terharu mendapati kelembutan dan perhatiannya. Lalu buru-buru masuk ke rumah dan bergegas masuk kamar mandi. Aku tidak mau Mas Bayu melihatku menangis karena terluka atas penghinaan Alex, sekaligus terharu atas kebaikan suamiku. ‘Mas Bayu, seandainya kamu tahu, istrimu tercinta ini sudah dua dinodai oleh si manusia brengsek itu. Di dalam rahim istrimu kini telah tersemai benih seorang preman kampung yang bertekad ingin merebutku darimu. Maafkan segala kelemahanku, Mas.’ Aku hanya bisa membatin sambil berusaha menahan isak tangis agar tidak menjadi raungan keras yang akan membuat suamiku cemas dan bertanya-tanya, apa sesungguhnya
Hingga beberapa saat lamanya Hendy dan Firda hanya terdiam. Keduanya asik berkelana dengan pikirannya masing-masing. Firda merenungi banyaknya kejanggalan dalam kematian Arman. Sementara Hendy asik menikmati rokok dan segelas kopinya yang sudah dingin. Isi kepalanya sudah sangat lelah memikirkan yang sedang terjadi. Sebagai seorang sahabat yang sudah menganggap Arman sebagi saudara kandungnya tentu saja Hendy memiliki beban moral yang lebih dibanding siapapun. Dia sangat mengenal karekater Arman dengan keluarganya, lebih dari siapapun. Kehilangan yang dirasakan oleh orang tua Arman, juga dirasakan olehnya. “Hen, ibu boleh tanya sesuatu yang sedikit sensitif?” Firda kembali angkat bicara. Tiba-tiba saja dia teringat dengan obrolan emak-emak kemarin sore. “Silakan Bu. Saya tidak akan menutup-nutupinya,” balas Hendy santun. “Kamu kenal dengan Mas Andi, tukang gali kuburan?” tanya Firda dengan sangat hati-hati. “Astagfirullah!” seru Hendy seraya menghentakan punggung pada sandaran kur
Aku Dan Cewek Misterius (1) Tok tok tok "Man, kuliah gak lu!" Hendy yang sejak tadi menunggu Arman di luar kamar mandi, berteriak tak sabar. “Bentar, gua lagi nanggung, Nyet!” Arman menjawab sekenanya. “Colay jangan di kamar mandi, Nyet! Ganggu jadwal orang mandi aja!” rutuk Hendy makin kesal. Arman tersenyum puas karena sudah membuat sahabatnya salah persepsi. Dia sama sekali tidak sedang melakukan aktivitas kamar mandi yang menegangkan itu. Dia justru sedang berjongkok menunggu sesuatu yang akan keluar dan terbuang dari dalam tubuhnya. Sementara pikirannya sedang melayang pada peristiwa semalam. Jiltan lidah Firda masih terasa di sekujur tubuhnya. Syaraf-syaraf kenikmatannya kembali menggila dan tersiksa. Perlakuan Firda tadi malam sulit ditebak. Kadang cepat dan kasar, kadang juga lembut penuh perasaan hingga membuat Arman serasa terbang melayang dicabik-cabik badai syahwat birahinya. Firda tiada hentinya memberikan service yang menakjubkan, dia bahkan tidak membiarkan kesemp
Setelah berdiam cukup lama, akhirnya Mas Bayu menjelaskan tentang obsesi dan fantasi dirinya. Mas Bayu mengaku sudah cukup lama memendam hasrat dan terobsesi pada aktivitas seksual yang tak lazim. Dia sangat menginginkan istrinya melakukan hubungan badan dengan laki-laki lain atas seizin dan sepengetahuannya. Bahkan jika perlu dilakukan di depannya. Atau melakukannya secara bersama-sama dengan mengundang lelaki lain. Menurut Mas Bayu gambar dan film-film itu sengaja dia koleksi untuk memancing libidonya agar bergairah saat menyetubuhiku. Jika suatu saat dia tiba-tiba bersemangat menyetubuhi itu akibat fantasinya sedang tinggi. Imajinasinya sedang bagus membayangkan aku disetubuhi lelaki lain. Dia mengakui juga kalau selama ini fantasinya sering gagal karena lama kelamaan bukan hanya khayalan yang dia butuhkan namun melihatnya secara langsung. Dia juga mengakui sering membayangkan bagaimana liar dan binalnya jika aku melakukan hubungan intim dengan laki-laki muda, gagah dan perkasa.
Entah karena merasa malu atau bersalah, atau sedang membeli hatiku agar mau mengikuti fantasinya, atau ada udang di balik batu lainnya. Beberapa hari kemudian tiba-tiba saja Mas Bayu mengajakku nonton film di bioskop. Padahal sedang tanggung bulan dan bukan jadwal kami untuk belanja bulanan. Ini benar-benar sesuatu yang sangat baru bagi kami. Selama menjadi istrinya, aku belum pernah diajak nonton film di bioskop, jalan-jalan atau rekreasi ke tempat-tempat wisata ternama, apalagi berbulan madu ke Labuhan Bajo dan tempat eksotik lainnya. Paling banter diajak makan di resturant sekitaran mall sambil belanja bulanan. Itu pun kalau dia sempat. Sejauh ini aku lebih sering belanja sendiri di mini market terdekat. Demi menyenangkan hatinya dan mengetahui apa yang sedang direncanakannya, aku pun langsung menerima ajakannya tanpa banyak pikir. Entah mengapa aku jadi mudah curiga pada suamiku sendiri. Apapun yang dilakukannya terasa tidak tulus lagi, hanya modus dan rekayasa belaka. Dengan be
Aku tidak menceritakan kejadian aneh itu kepada Mas Bayu. Aku tidak ingin mengganggu kenikmatannya menonton. Tapi alasan yang lebih kuatnya, aku justru merasa sangat takut untuk menceritakannya. Ada perasaan Mas Bayu akan marah atau ngamuk pada lelaki itu, sehingga timbul pertengkaran nantinya. Aku berusaha untuk menonton lagi walau pikiranku terus melayang ke sana kemari. Ketika pikiranku berputar-putar tak menentu, tiba-tiba aku merasakan ada yang menyentuh pundak kananku. Awalnya aku mengira Mas Bayu yang menyentuhku. Tetapi setelah aku perhatikan, tangan dia sama sekali tidak sedang bergerak dan memegangi bungkus pop corn yang sudah habis . Matanya pun sangat serius memperhatikan layar film yang kembali menayangkan adegan seru. Lalu dengan sangat pelan-elan, aku menolehkan pandang ke belakangku. Tidak ada apa-apa dan tidak ada siapa-siap karena memang kami duduk di baris paling belakang. Kemduian aku melihat ke sebelah kananku ke arah lelaki ganteng itu. Dan mendapati dia seda
Setelah pertemuan di rumah makan, Firda meminta Hendy untuk mengantarnya ke kantor desa. Hari sudah sore, Firda yakin kantor sudah sepi namun dia terpaksa harus ke kantor lagi karena ada beberapa barang yang harus diambilnya. Bulu kuduknya tak bisa dibohongi, akibat peristiwa kemarin dia mulai sedikit ketar-ketir. “Hen, kapan ya saya bisa bertemu dengan keluarga orang tuanya Arman?” tanya Firda ketika dia sudah berada di atas motornya dan bersiap untuk pulang. Hendy pun sudah di atas motonya, lebih tepatnya motor Arman yang kini menjadi miliki Hendy. “Lebih cepat lebih baik, Bu. kalau mau sekarang jug, boleh. Bisa saya anter.” Hendy menawarkan jasa. “Kalau hari ini kayaknya belum bisa Hen, ibu harus minta izin dulu sama suami.” Firda menimbang-nimbang kebimbangannya. “Terserah Ibu kapan siapanya, hanya saja kalau bukan hari ini mungkin saya gak bisa ngantre atau nemenin Ibu,” sesal Hendy. “Gak masalah, mungkin minta dianter Pak Asrul. Emangnya setelah ini Hendy mau kemana….?” tany
Beberapa hari yang lalu, setelah bercinta dengan Andi, Nengsih sempat menangis tersedu-sedu karena menyesali perbuatannya juga takut peristiwa itu diketahui tetangganya dan bisa menjadi sangat hebob. Nengsih tidak bisa membayangkan betapa kecewanya pada tetangga yang selama ini kerap menilainya baik sebagai istri serta yang shalihah. Nengasih juga merasakan jika bercinta dengan lelaki tua itu hanyalah mimpi belaka, sedangkan dengan Andi, dia melakukannya dengan sangat sadar. Dia sendiri tidak mengerti dengan dirinya yang sebegitu menikmati percintaannya dengan Andi, tetangganya itu. Padahal selama ini dia tidak pernah memikirkan apapun tentang sang penggali kubruan itu. Kepindahan Andi dari kampung yang sangat mendadak itu, membuat Nengsih sedikit dilema. Di satu sisi dia sangat merasa senang, bisa bernapas lega dan tenang. Setidaknya tidak akan bertemu dengan Andi juga tidak akan terlalu merasa dibebani rasa berdosa dan bersalah ketika harus bertemu dengan istri dan anaknya Andi.