“Apa kamu yakin akan memulainya?” tanya Asri saat duduk bersama Rihana di teras depan rumah.Rihana menarik napas panjang, kemudian mengembuskan perlahan.“Aku sangat yakin, Bi. Aku sudah menunggu lima tahun lamanya untuk balas dendam. Aku tidak akan membiarkan begitu saja orang-orang yang sudah membunuh Mama, bisa hidup dengan tenang. Aku juga ingin memberi pelajaran, kepada orang-orang yang sudah menelantarkanku.” Rihana bicara dengan begitu serius, menatap Asri dengan penuh dendam dan rasa sakit.Asri tidak bisa mencegah Rihana, hanya saja merasa cemas dengan kondisi putri temannya itu.“Aku pikir, dengan adanya Bastian, kamu sudah bisa melupakan dendammu. Namun, bibi juga tidak bisa mencegah, jika memang itu sudah menjadi tekadmu.” Asri bicara sambil mengusap punggung Rihana.“Selama aku pergi, tolong jaga Bastian dengan baik,” pinta Rihana.Asri mengangguk-angguk dengan seulas senyum, tentu saja dia akan menjaga Bastian dengan baik.**Rihana berangkat dari kampung membawa mobil
Bastian memekik kesakitan karena pantatnya membentur lantai, sedangkan orang dewasa yang menabraknya, atau begitulah yang Bastian rasa, meski sebenarnya dia yang salah, kini sedang menatapnya sambil melotot.“Kamu--” Orang dewasa mengenakan seragam hotel itu keheranan melihat Bastian berkeliaran di sana.“Apa orang dewasa memang suka berjalan sembarangan?” Bastian bicara dengan satu tangan berkacak pinggang, sedangkan tangan satunya menunjuk pelayan hotel itu sambil digerak-gerakkan.Pelayan hotel itu melongo melihat dan mendengar cara bicara Bastian. Belum lagi bocah kecil itu malah memarahinya.“Adik manis, kamu yang jalan sembarangan dan tidak melihat sekitar. Jadi, bukan kakak yang salah. Di mana orangtuamu, biar kakak antar,” ucap pelayan wanita hotel itu dengan ramah dan penuh senyum, takut kalau Bastian salah satu anak dari pengunjung hotel.Bastian kini melipat kedua tangan di depan dada, lantas kembali berkata, “Onty cantik, aku tidak mau bersama orang asing. Meski Onty canti
“Papa, mereka nakal. Dia, mencubitku!” Bastian menunjuk ke pelayan hotel yang pertama kali menghadangnya. Bastian memasang ekspresi kesal tapi begitu lucu karena bibir mungilnya mengerucut.“Apa?” Pelayan wanita itu pun terkejut dan ketakutan karena ucapan Bastian. Berpikir kalau dirinya akan terancam dengan aduan Bastian, jika benar bocah laki-laki itu anak Melvin.“Ka--” Mario ingin menyanggah pengakuan Bastian, tapi langsung dicegah oleh Melvin.Melvin sendiri merasa aneh, entah kenapa saat pertama kali melihat Bastian, seolah melihat dirinya ketika masih kecil.“Kalian pergilah.” Tanpa kata lain, Melvin meminta para pelayan itu pergi, seolah menunjukkan jika Bastian memang putranya.Bastian menjulurkan lidah ke arah para pelayan yang tadi mengejarnya.Melvin dan Mario kini menatap Bastian, membuat bocah kecil itu merasa memiliki masalah baru.“Bas mau nyari Mama.” Bastian ingin pergi tapi Melvin mencegah.“Di mana mamamu? Bagaimana kalau aku traktir makan dulu? Kamu sudah sarapan?
Rihana melihat putranya sedang duduk dengan orang asing dan tampak banyak makanan di meja. Dia pun panik, kenapa Bastian bisa menyusup ikut dan kini dengan santai bersama pria asing.“Bastian!” Rihana berjalan cepat mendekat ke meja di mana Bastian berasa.Bastian menoleh, lantas tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi putihnya, meski ada sisa makanan yang terselip di gigi mungil bocah itu. Bastian tidak merasa bersalah karena baginya yang dilakukan tidaklah salah.Melvin sendiri sangat terkejut melihat Rihana di sana, sekian tahun dia mencari wanita itu, tapi kini malah muncul di hadapannya secara tidak terduga.“Bastian, kenapa kamu bisa di sini, sih?” tanya Rihana langsung mengajak Bastian turun dari kursi.“Bas, lapar.” Bastian hendak naik kursi lagi, tapi dicegah oleh Rihana.Rihana benar-benar tidak enak hati karena Bastian membuat masalah di tempat itu.“Maaf, jika putra saya membuat masalah.” Rihana membungkukkan badan untuk meminta maaf ke Melvin, sedangkan tangan menahan
Rihana terkejut hingga mengerjapkan kelopak mata berulang kali karena ucapan Melvin. Menatap tidak percaya juga bingung ke pria yang meminta pertanggung jawaban darinya.“Ma-maksudnya? Pertanggung jawaban apa?” tanya Rihana memastikan, sampai-sampai bicara dengan sedikit tergagap.Mario juga ikutan bingung, bukankan Melvin yang ingin bertanggung jawab, lantas kenapa malah Rihana yang dimintai tanggung jawab.“Karena putramu sudah menyebutku dengan nama papa, otomatis semua staff hotel mengira kalau aku telah memiliki anak, padahal mereka tahu aku belum menikah,” ucap Melvin menjawab pertanyaan Rihana.Rihana merasa Melvin mengada-ada, sampai-sampai membuang napas dengan mulut dan terlihat senyum mencibir.“Tinggal klarifikasi kalau anakku bukan anakmu, kenapa harus dibuat repot,” ucap Rihana tidak bicara dengan formal karena merasa apa yang disampaikan Melvin tidak masuk akal.“Bukan itu saja, aku sudah membelikan banyak makanan tapi tidak dimakan. Berarti kamu harus membayar semuanya
Rihana menggerutu, dia benar-benar kesal dengan pria yang dikiranya sudah menolong, tapi kini terkesan sedang memerasnya. Dia menoleh ke pria yang kini sedang menyetir mobil pick upnya. Bibir Rihana terus bergerak dan ingin mengumpat kesal tapi masih ditahan.“Apa orang kaya seperti bosmu memang suka memeras?” tanya Rihana dengan nada ketus.Saat keluar dari hotel untuk bicara dengan Melvin, pria itu ternyata sudah pergi membawa Bastian dari sana. Tentu saja hal itu membuat Rihana marah karena menganggap Melvin sedang melakukan tindak pidana penculikan.“Tidak, tapi saya yakin atasan saya memiliki alasan khusus melakukan semua ini ke Anda,” jawab Mario santai. Dia menoleh sekilas ke Rihana, hingga melihat ekspresi kesal di wajah wanita itu.“Ternyata benar-benar cantik, pantas saja Pak Melvin tidak bisa melupakannya. Sayang sekali sudah bersuami,” gumam Mario dalam hati.“Alasan khusus apa? Kami baru saja sekali bertemu, tapi bosmu sudah mencari gara-gara denganku!” gerutu Rihana samb
“Apa sebenarnya maksud Anda? Jika memang tidak mau membantu putra saya, tidak perlu Anda memesan makanan sebanyak itu, kemudian menjebak saya. Apa yang Anda harapkan? Saya ini hanya orang miskin.”Rihana menatap tajam Melvin, sungguh sikap dan perilaku pria itu membuat Rihana begitu kesal. Kenapa dia harus terjebak di sini, bersama pria yang baru temuinya, hanya gara-gara sebutan ‘papa’.Bukannya menanggapi protes Rihana, Melvin malah terlihat menyesap kopi dengan santai, sedangkan tatapan terus tertuju ke Rihana.Rihana terlihat salah tingkah, melihat tatapan Melvin membuatnya sampai menghindari pandangan mata pria itu.“Sebenarnya, bukan hanya masalah itu saja,” ucap Melvin akhirnya angkat bicara. “Kamu memiliki hutang kepadaku, sehingga aku berpikir untuk menagihnya hari ini.”Rihana langsung melebarkan bola mata mendengar ucapan Melvin, apa maksudnya dia memiliki hutang.“Hutang?” Rihana mengangkat satu alisnya karena keheranan, sedetik kemudian tertawa begitu keras karena merasa
Rihana bergeming, kedua bola mata indahnya terus tertuju ke rentetan tulisan yang pernah diukirnya di atas kertas polos itu. Tiba-tiba saja jantungnya berpacu dengan cepat, ingatan akan pagi di mana dia terbangun tanpa busana bersama seorang pria kembali berputar di kepala. Rihana mengangkat wajah, hingga kini tatapannya bertemu dengan Melvin.Pria itu menatap Rihana intens, membuat wanita anak satu itu menelan ludahnya susah payah.“Sudah ingat? Ingat kalau kamu mencampakanku hari itu? Kamu pikir aku akan diam saja diperlakukan seperti itu?” Melvin bicara dengan nada mengintimidasi, hanya berpikir agar Rihana tidak bisa mengelak dan tidak lagi kabur seperti lima tahun lalu.Rihana mengulum bibir, tangannya sedikit gemetar, tapi Rihana mencoba bersikap tenang.“Untuk apa mengingat, bukankah di sini tertulis untuk melupakannya.” Rihana bicara dengan ekspresi wajah datar, meski jantungnya tengah berpacu seolah sedang berlomba, hingga napasnya saja terasa sesak.“Melupakan? Kamu pikir ak