Share

Bab 6

Lucas Valentino Armando. Sosok yang sangat tak asing sejak awal kuliah. Teman seperjuangan mengerjakan tugas kampus dan sepermainan. Setahun sebelum bergabung di perusahaan ia mengalami frustasi dan depresi atas keadaan finansialnya yang memburuk yang diperparah dengan ayahnya yang sakit-sakitan. Sebagai anak pertama ia harus banting tulang untuk memenuhi semua keperluan itu.

Mendapati keadaannya yang super miris, sebagai teman aku merasa terketuk untuk membantu. Meski untuk itu harus diperlukan proses yang tidak sebentar karena tidak mudah meyakinkan atasan agar ia diterima di perusahaan. Setelah genap setahun akhirnya atasan luluh dan mau menerima.

Ia adalah sosok pekerja keras yang tak hanya rajin, tapi juga disiplin. Lantaran etos kerjanya yang nyaris mendekati kegilaanku itu, atasan mulai melirik dan perlahan menaikkan posisi di perusahaan ke level yang lebih tinggi. Karena kerja keras dan cerdasnya juga ia hampir menyamaiku. Tidak tanggung-tanggung, jika kehadiranku tidak ada di perusahaan atau aku tidak lagi bekerja di perusahaan, maka aku tak ragu lagi bahwa dialah orang yang sangat tepat untuk menggantikan posisiku.

Namun anehnya, kenapa ia tidak setuju dan tidak mau menandatangani berkas penting itu? Apa masalahnya dan di mana salahnya? Bukankah selama ini ia selalu sejalan denganku? Aku semakin penasaran dengan sikap yang tak kusangka akan seperti ini.

Setiba di kantor aku tidak langsung menemuinya. Sebentar setelah aku tiba di ruangan, Sheily mengabarkan kalau acara rapat terbuka bersama komisaris akan dimulai.

Ruangan berkapasitas 30 orang penuh dengan meja kursi berikut peserta rapat di dalamnya. Semua sudah duduk di tempatnya masing-masing dengan khidmat. Satu dua peserta rapat berbincang-bincang pelan. Sayup-sayup kudengar juga ada yang membahas apa kira-kira yang akan menjadi sorotan komisaris dalam pertemuan yang sakral ini. Sementara dari arah tak jauh dari tempatku duduk, kulihat Lucas yang sibuk sendiri dengan hp dan dokumen di depannya. Kupandangi lekat dari kejauhan berharap ia menoleh kearahku untuk aku beri kode bahwa kita perlu bicara setelah rapat selesai. Namun hasilnya nihil. Sampai bapak komisaris mengetuk pintu dan masuk lalu dimulainya rapat ia masih teguh dengan sikapnya yang sama.

**        **

Rapat selesai dalam waktu 30 menit. Inti pembahasan lebih terfokus pada mega proyek yang bakal menguras banyak waktu, pikiran dan energi. Titik terangnya semakin jelas saat Bapak Komisaris menegaskan bahwa jika proyek ini berhasil, seluruh karyawan akan mendapat bonus berkali lipat dari biasanya. Dan khusus untuk pemegang dan pengawal proyek yang bertanggung jawab penuh atas keberhasilan mega proyek ini akan mendapatkan bonus tambahan berupa tawaran posisi prestisius di perusahaan ini yang langsung di bawah komisaris.

Sebelumnya Bapak Komisaris menyampaikan bahwa masa jabatan direktur saat ini akan habis dan dibutuhkan orang yang sangat berkompeten untuk menduduki posisi itu. Dan melalui mega proyek ini, Bapak Komisaris akan menguji siapa saja yang dianggapnya layak untuk memegangnya. Karena ini proyek super besar tentu orang ini sangat berkompeten dan keberhasilannya akan sangat mencerminkan pemimpin perusahaan berikutnya.

Ada 2 kandidat yang dianggap memenuhi kapasitas sebagai pemimpin proyek. 2 orang itu adalah Lucas dan diriku. Apakah sikap Lucas yang mendadak berubah itu ada hubungannya dengan proyek ini? Jika benar, ia pasti sudah mendapat bocoran atas informasi ini. Entahlah aku harus menemuinya agar lebih jelas duduk permasalahannya.

Usai rapat aku berbegas menghampirinya.

“Hey bro, tumben sikapmu dingin gini. Ada apa? Cerita lah,” sapaku dengan kalimat ramah yang menghilangkan suasana tegang.

“Tidak apa-apa. Semua baik-baik saja. Memang ada apa?” Tanyanya polos seakan tidak tahu dengan fakta aktual yang barusan tersaji dan disaksikannya.

“Tidak apa-apa? Baik-baik saja? Bro, sejak kapan keadaan semua ini baik-baik saja jika ada yang tidak beres di berkas yang seharusnya kamu tanda tangani.”

Langsung saja aku ke inti. Kuharap ia mengerti.

“Oh itu. Kau pasti sudah tahu jawabannya.”

“Maksudmu?”

“Apakah paparan dari Bapak Komisaris kau tidak juga paham? Jika aku tanda tangani berkas-berkas itu, itu sama artinya dengan aku menyetujui atas kesempatan yang lebih masuk akal untuk kau memegang mega proyek besar ini. Di sisi lain kamu selalu menguasai di setiap proyek penting di perusahaan ini sehingga namamu selalu diperhitungkan. Berbeda dengan aku yang meski sudah ekstra keras dan gila-gilaan dalam etos kerjaku tapi selalu tidak mendapatkan kesempatan sebaik kau. Ini tidak adil.”

“Ha? Oh Tuhan. Seperti itu kau persoalkan? Okelah jika itu maumu. Tapi ini permintaan Bapak Komisaris yang menilai etos kerja karyawan menurut pandangan beliau. Bukankah namamu juga tadi disebut untuk kandidatnya? Artinya kau juga dilihat dan dipertimbangkan, kawan.”

“Iya benar, namaku menjadi hal yang akhirnya dipertimbangkan. Apalagi etos kerjaku juga kau pernah akui sangat super. Tapi itu berat kawan. Karena kedekatan dan prestasimu di beberapa proyek sebelumnya, Bapak Komisaris pasti lebih memilihmu.”

“Iya.. tapi.. “

Aku semakin gregetan sekaligus heran. Hanya soal itu saja ia sampai tidak mau tanda tangan. Bukankah hal itu akan lebih mempercepat profit perusahaan dan perkembangan bisnis ke depannya nanti?

“Oke, misal aku rela posisi itu kau ambil. Tapi bagaimana dengan Bapak Komisaris kalau memang aku yang ditunjukknya. Apa yang harus aku katakan?”

“Kau tolak saja kawan. Dan minta Bapak Komisaris untuk memberikan posisi penting itu padaku. Kau pasti lebih dari bisa kan?”

Pertanyaan konyolnya itu membuatku bingung keheranan. Untuk beberapa saat aku berusaha mencerna jalan pikirannya. Tak menungguku meresponsnya, ia malah melanjutkan.

“Atau jika kau mau, sebelum Bapak Komisaris itu memutuskan siapa yang akan terpilih, kau hubungi dia dan sampaikan kalau kau tidak mau ambil posisi itu dan mega proyek ini kau rela serahkan padaku.”

“Apa kau sudah gila, kawan?” Aku berubah kesal. Rasanya ingin kutimpuk saja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status