Share

DIA BERPURA-PURA

"Abisnya kamu ngomong seperti itu. Kesannya kamu kayak enggak percaya sama suamimu sendiri! Lagian malam ini tumben kamu belum tidur, terus banyak tanya-tanya kayak wartawan. Aku seharian kerja, capek. Di rumah masih kamu todong dengan pertanyaan-pertanyaan enggak bermutu seperti ini. Huh, buang-buang waktu tau, enggak!" papar Mas Bima kesal.

"Kamu kenapa jadi baper gitu, sih, Mas? Biasanya juga aku tanya-tanya, kamu biasa, aja. Lagian apa salahnya kalau aku nunggu kamu sampe pulang lembur? Waktu lemburmu juga makin enggak wajar. Kamu, kan di kantor ada asisten juga, apa gunanya bayar sekretaris kalau semuanya masih kamu kerjakan sendiri?"

"Dek, walaupun ada sekretaris beberapa pekerjaan harus aku yang kerjakan sendiri, enggak bisa diwakili orang lain. Jadi aku dan Fina masing-masing udah ada tugas, kami sama-sama sibuk ngurus kerjaan masing-masing. Aku bayar Fina untuk membantu meringankan tugas. Kamu sendiri, kan pernah kerja di kantor. Taulah, bagaimana kondisi kami!"

Aku melipat tangan di depan dada. Seandainya tadi pagi tidak menemukan video itu mungkin aku akan langsung percaya pada ucapan Mas Bima, seperti biasanya. Namun, kali ini sedikit pun aku tidak ingin percaya.

"Tolonglah mengerti--"

"Aku kurang megerti bagaimana, Mas?"

"Jangan menuduh yang bukan-bukan padaku."

"Kamu sendiri yang membuat aku seperti ini, Mas! Waktu lemburmu yang makin enggak wajar, video por*o dari sekretarismu, dan panggilan mesra itu! Siapa yang tidak curiga. Kalau kamu di posisiku pasti kamu juga akan menuduh seperti yang aku lakukan!"

"Meswa! Aku lembur seperti ini untuk siapa? Untuk kamu, untuk kita! Apa kamu enggak senang kalau aku naik jabatan? Dan video itu, kan sudah jelas Fina salah kirim, jadi jangan di bahas lagi!"

"Kalau kamu naik jabatan, tentu aku senang, Mas! Tapi demi jabatan bukan berarti kamu lantas mengabaikan aku!"

"Abai gimana, sih maksud kamu? Aku masih seperti dulu, hanya sedikit sibuk."

Mas Bima kembali memelankan bicaranya. Begitulah, setiap kali kami berdebat Mas Bima tidak segan mengalah untuk meredam amarahku. Sikapnya yang demikian selalu berhasil membuatku luluh. Dia pandai mencari cela dan mencari jalan penyelesaian masalah dengan kepala dingin. Dia menjadi air saat aku berapi-api.

"Oke. Kalau kamu memang merasa diabaikan Mas minta maaf! Enggak ada sedikit pun niat Mas untuk tidak memperhatikan kamu, hanya situasi dan kondisi yang enggak memungkinkan. Mas ingin membahagiakan kamu dan anak-anak, itu sebabnya Mas sangat berusaha memperjuangkan kenaikan jabatan ini, Dek. Maafkan Mas, ya Dek," paparnya pelan dan lembut. Kalau dia sudah mengalah seperti ini, aku tidak kuasa melawan lagi. Namun, haruskah aku percaya dengan Mas Bima?

"Kamu mau, kan memaafkan Mas, Dek?"

Berat sekali untuk memberi satu kata maaf padanya. Rasanya aku masih belum percaya kalau Mas Bima tidak ada hubungan apa-apa dengan Fina.

"Kamu tahu, kan Mas aku paling enggak suka dibohongi dan kamu juga tahu yang namanya bangkai serapat apapun di simpan pasti akan tercium baunya!"

"Siapa yang bohong? Mas sudah bilang apa adanya. Kamu kenapa jadi keras kepala gini, Dek? Mas juga udah minta maaf, lho."

Karena aku tahu kamu belum jujur, Mas, batinku. Mungkin mulut Mas Bima bisa mengatakan sudah jujur tetapi matanya tidak bisa dibohongi. Dari manik hitamnya aku melihat masih ada sesuatu yang disembunyikan oleh Mas Bima. Ya, kebohongan itu yang akan aku ungkap.

"Udahlah, Dek! Aku ini capek, suami pulang bukannya disiapkan air hangat atau teh manis, malah banyak pertanyaan dan ngajak ribut!" lanjutnya seraya melangkah ke kamar, meninggalkan aku begitu saja.

"Mas tunggu!" Panggilanku dihiraukan seolah dia tidak mendengar suaraku.

Aku mengikuti Mas Bima ke kamar. Walaupun sebenarnya aku sudah ingin meledak dan membongkar kedustaanya, tetapi sebisa mungkin malam ini kutahan dulu. Aku harus menyelidiki dan memastikan ada hubungan apa Mas Bima dan Fina. Aku tidak mau asal menuduh yang akhirnya malah akan membuat malu diri sendiri. Walaupun firasat ini sudah menjurus ke arah sana, tetapi aku butuh bukti. Lihat saja, dengan video dan panggilan mesra tadi masih bisa disangkal degan mudah oleh Mas Bima. Itu artinya aku butuh bukti yang lebih kuat.

Aku sudah menyusun rencana untuk memulai penyelidikan. Kalau benar kedua orang yang selama ini sama-sama kuberi kepercayaan itu bermain api di belakangku, aku sudah siapkan cara cantik untuk membongkar kebusukan mereka. Mereka akan segera tahu sedang berhadapan dengan siapa. Jangan sebut aku Welas Prameswari Putri Santoso kalau tidak bisa membuat mereka bertekuk lutut memohon ampun.

Kamu bisa berpura-pura, Mas. Baiklah aku juga akan bersandiwara. Kita sama-sama memainkan peran, biar sementara ini peranmu pandai dan cerdik, sedangkan peranku menjadi istri bodoh yang penurut dan bisa bebas kamu bohongi. Nanti pada saatnya aku akan memutar balik peran kita. Istri bodoh yang membongkar perselingkuhan suaminya.

"Mas, aku minta maaf."

Aku hampiri Mas Bima yang duduk di tepi ranjang. Kemeja kerjanya sudah dibuka menyisakan kaus singlet berwarna putih, handuk tersampir pada pundaknya yang kokoh. Aku duduk di dekatnya, meminta maaf. Bukankah ini adegan yang sangat bodoh, tadi saja aku menolak memberi maaf, tetapi sekarang justru aku yang meminta sebuah maaf. Cih, kalau bukan karena rencana yang sudah kususun, mana sudi aku melakukan ini.

"Tadi maksudku bukan ingin menuduhmu. Aku cuma khawatir kalau kamu pulang terlalu larut. Aku juga tidak tenang setelah berkali-kali menghubungi ponselmu, tapi enggak terhubung. Apalagi kamu enggak mau pakai sopir, aku takut kalau di jalan ada apa-apa sama kamu. Maafkan aku, ya, Mas."

Aku melembutkan nada bicara, seolah tidak sedang menaruh curiga padanya. Ah, betapa jahatnya panggung sandiwara. Sudah sakit hati dan marah dipaksa harus bersikap manis dan baik-baik saja.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status