Bab 7 "Halo, Bik. Saya masih repot di luar rumah. Ada apa ya?" tanya Alana menyapa. "Nyonya, ada situasi genting di rumah. Tuan Muda Milan mengamuk dan menghancurkan perabotan di ruang tamu," jelas sang asisten rumah tangga yang tengah menelepon Alana tersebut. "A-ada apa, Bik? Kenapa putraku melakukan itu?" tanya Alana seketika menjadi panik. "Tuan Muda Milan su-sudah tahu bahwa Tuan Ronald meninggal, Nyonya," jawab sang asisten rumah tangga terbata-bata. Alana melirik Rahman yang nampak kikuk berada di sampingnya. Pria itu seperti menunggu perintah dari sang Nyonya untuk bergerak. "Ya sudah, coba tenangkan Milan. Saya akan segera pulang," ujar Alana yang kemudian menutup telepon. "A-ada apa, Nyonya? Apa ada masalah?" tanya Rahman seolah bisa membaca gurat kekhawatiran di wajah Alana. Alana menghela napas berat sebelum memerintah Rahman untuk bertindak. Wanita itu terlihat lelah namun tak punya waktu untuk beristirahat. "Jalan, Man. Kita pulang ke rumah. Milan sudah tahu ba
"Lana sepertinya kau harus segera berangkat ke rumah sakit sekarang. Ada beberapa hal yang harus kau setujui sebelum jenazah Ronald bisa di bawa pulang," ujar Om Prasodjo sangat baik hati. "Oh ... apakah harus sekarang, Om? Saya masih akan menemani Milan makan siang dulu. Kebetulan ini Lana ada di rumah," sahut Alana meminta sedikit penundaan. "Baiklah kalau begitu. Tapi jika kau terlambat itu tandanya kau tak bisa melihat wajah suamimu untuk yang terakhir kali loh," jelas Om Prasodjo pada Alana. Alana jadi berpikir ulang untuk menunda-nunda lagi. "Baiklah, Om Pras. Lana segera berangkat ke sana saja. Bilang petugasnya untuk menunggu Lana dulu sebelum mengambil tindakan selanjutnya," ujar Alana sambil segera bersiap. "Mami mau ke mana? Katanya mau makan siang dengan Milan," protes Milan saat melihat Alana sudah akan pergi."Ada urusan yang sangat penting di rumah sakit, Milan. Mami harus segera ke sana untuk memberi persetujuan. Maafkan Mami tidak bisa menemanimu makan siang. Tap
"Om Pras, saya tahu Om adalah orang yang paling dekat dengan Mas Roanld. Mas Ronald juga banyak cerita tentang Om Pras. Jadi aku mohon jangan kejam padaku, Om," rengek Maria mencoba mencari simpati.Wanita itu lalu mulai menangis sesenggukan dengan bersimpuh di kaki Om Prasodjo. Om Prasodjo yang diperlakukan begitu oleh Maria jadi tak tega. Pria itu lalu mengangkat tubuh Maria. "Sudah, diamlah dulu. Urusanmu nanti akan aku pikirkan. Tapi untuk saat ini jangan mengacau, jangan mencari perhatian dengan dramamu dan jangan dulu muncul selama proses pemakaman Ronald," pinta Om Prasodjo pada Maria. "Om, saya ini istrinya. Bagaimana bisa Om berbuat demikian pada saya? Apa kalian memang bersekongkol untuk tidak mengakui saya sebagai istri kedua almarhum Mas Ronald?" protes Maria sambil beruraian air mata. "Wanita ini sepertinya memang sengaja tampil di saat kekacuan ini terjadi, Om. Kita suruh saja Rahman mengusirnya!" tegas Alana tak sabar. Wanita itu segera berdiri di antara Maria dan O
Tuan, mobil yang dikemudikan Rahman diikuti dari belakang. Sepertinya ada yang menjaga wanita yang dibawa Rahman tersebut] Om Prasodjo membagikan pesan yang dikirim orangnya pada Alana. Membuat wanita itu seketika menegang duduk di samping Om Prasodjo. "Bagaimana, Om? Apa Rahman akan baik-baik saja?" tanya Alana khawatir pada sopir suaminya itu. "Semoga, Lana. Kita tak bisa menghubungi Rahman. Rahman sedang bersama Maria. Berbahaya kalau kita berbicara dengannya," ujar Om Prasodjo sepertinya juga sedang berpikir bagaimana memberi instruksi pada Rahman. Dalam kondisi masih tegang tiba-tiba saja ponsel Alana yang berdering. Mereka saling berpandangan sejenak sebelum Alana akhirnya memilih mengangkat telepon di handphone miliknya. "Halo, Bik. Ada apa lagi" tanya Alana yang tahu siapa peneleponnya dari nama kontak di handphonenya. "Nyonya, ada tamu dari ibu-ibu kompleks. Mereka ingin melayat karena mendapat informasi jenazah Tuan Ronald tiba dari rumah sakit hari ini," jelas asisten
Maria melirik Alana dengan senyum licik tersungging di bibirnya. Sayangnya wanita itu begitu pandai menyembunyikan senyuman dibalik tangisnya yang dibuat-buat itu. Sepertinya kali ini Maria memang sengaja memancing keributan. Entah apa motif wanita yang mengaku istri kedua Ronald tersebut. "Kak Lana, salahkah aku melihat jenazah suamiku untuk terakhir kalinya?" isak Maria sungguh tak tahu malu. Ya wanita itu memang sungguh ingin menarik perhatian semua orang hingga membuat Alana geram. Sikapnya seperti ingin membuat Alana semakin menderita. "Siapa dia, Bu Ronald? Apakah masih saudara Pak Ronald?" "Sepertinya bukan, aku tidak pernah melihatnya muncul di rumah ini." "Sepertinya bukan model wanita berkelas. Lihat saja tingkahnya begitu memalukan!" "Suami, dia bilang suami terhadap Pak Ronald. Apa mungkin dia adalah ...!" Orang- orang mulai berbisik sumbang. Para pelayat telah mempertanyakan keberadaan Maria. Siapa dia dan untuk apa wanita itu berada di sana? "Suruh saja dia masuk
Alana lalu undur diri dari kerumunan ibu-ibu. Wanita itu memisahkan diri agar bisa mengangkat telepon dengan tenang. Suara-suara gaduh para pelayat juga pastinya membuat alamat tidak bisa mendengarnya dengan jelas obrolan si penelepon. "Halo, selamat sore," sapa Alana ketika ia pertama kali mengangkat telepon. Tidak ada nama tertera di layar handphonenya. Hanya sebuah nomor baru yang entah siapa pemiliknya. "Dengan Ibu Alana? Apa benar ibu pemilik mobil dengan nomor polisi B xxx LS?" tanya seseorang di seberang sana. "Iya, betul. Itu mobil saya, Pak," jawab Alana yang hafal nomor polisi mobilnya. "Kami dari kepolisian, Bu," ujar si penelepon. Deg! Detak jantung Alana serasa mencelos saat mendengar yang menghubunginya adalah dari petugas kepolisian. Tidak mungkin tidak ada masalah jika petugas kepolisian meneleponnya. "I-iya, Pak. Ada apa?" tanya Alana terbata-bata. "Ibu kenal dengan saudara Rahman Aditya?" tanya suara di sana. "Itu sopir saya, Pak. Ada apa ya?" tanya Alana mul
Susah payah tiga orang itu membuat Maria akhirnya mau menunggu dalam mobil saja. Dua orang body guard Om Prasodjo yang tersisa nampak berjaga di sekitar mobil sementara asisten rumah tangga Alana duduk di samping Maria untuk menenangkan dan menahan perempuan itu agar tidak mengacau. "Kalian ini, begitu kejam terhadapku! Apa kalian tidak tahu aku ini siapa?" bentak Maria dengan mata berlinang tangis duka palsu untuk Ronald. "Nona, jangan bertindak berlebihan. Nyonya Alana sudah sangat berbaik hati dengan mau menerima Nyonya di rumah kami," nasihat sang asisten rumah tangga Alana pada Maria.Maria memandang wanita paruh baya itu tidak suka. Ada sesuatu dalam diri Maria yang mengatakan bahwa wanita itu adalah penghlang untuk menjalankan rencananya."Nona tahu siapa Nyonya Alana? Nyonya adalah putri salah satu jendral TNI bintang dua di negara ini. Jadi Nona sebaiknya berhati-hati. Nyonya Alana itu memang terlihat tenang dan tidak banyak bicara. Tet
Kemarin saat mendapatkan laporan dari sang asisten rumah tangga, Alana merasa apa yang diceritakan Maria pada sang asisten rumah tangganya tersebut adalah sebuah rekayasa. Maria seperti bukan model perempuan kaya dengan harta melimpah dan status sosial yang hebat. Cerita Maria pada sang asisten rumah tangga bahkan menunjukkan bahwa wanita itu tidak terdidik dengan baik dan hidup dari belas kasihan pria-pria kaya.Jadi Alana semakin merasa penasaran saat melihat Maria memasuki mobil sedan hitam keluaran terbaru dengan dijemput sopir tersebut. Din! Suara klakson mobil terdengar. Seorang beratribut taksi online sebuah aplikasi itu segera menyapanya. "Bu Alana? Saya pengemudi taksi online yang Ibu pesan. Silahkan," jelas pria itu membukakan kunci mobilnya.Alana segera masuk ke dalam mobil dan mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu. "Pak saya minta tolong untuk mengikuti mobil hitam di depan tersebut. Saya bayar Bapak de