Agina melepaskan helm dari kepalanya dan menggusar rambutnya sampai teruntai bergelombang di pinggangnya. Kemudian turun dari motor baru yang langsung tersedia dengan hanya mengucapkan beberapa kata. Bahkan pakaian kini yang tadinya kotor kini berganti.
“Apa ini sikap yang harus diikuti oleh para bawahan, yaitu datang ke perusahaan saat sudah waktunya makan siang.”
Agina memutar bola matanya jengah dan berbalik, menatap orang yang sedang menaikkan sebelah alisnya dengan senyum kemenangan yang terukir. “Sejak kapan Anda peduli dengan waktu saya, tuan Agra Pratama.”
Agra menghendikkan bahunya dan tersenyum miring.
Alis Agina menukik, entah dari mana firasat aneh muncul dalam dirinya. Dia bersidikap dan memandang lelaki itu curiga. “Apa Anda merencanakan sesuatu?”
“Apa maksudmu?” Agra tertawa pelan menutupi kegugupannya. Sial, kenapa reaksinya seperti telah tertangkap basah. Kalau begini, rencananya tidak akan berjalan.
Jawaban yang tidak diharapkan itu sama sekali tidak menyurutkan rasa curiganya. “Aneh saja tiba-tiba Anda mengkritik yang saya lakukan, karena sebelumnya kita sendiri-sendiri, tidak mencampuri urusan satu sama lain.”
“Apa yang aneh dari itu, bukankah sudah sepatutnya kita akrab agar bisa bekerja sama dengan baik?”
Logis. Penjelasan itu sangat masuk akal. Namun Agina merasa ada yang janggal, terlebih dengan Agra yang tiba-tiba bersikap lebih hangat terhadapnya. Seolah-olah mereka memang sudah seperti ini sebelumnya. “Hum, terserah Anda saja.” Memutar bola matanya. Tapi, tunggu! Bekerja sama dengan baik? Agina membelalakkan matanya. “Apa maksud Anda dengan bekerja sama dengan baik?” Menatap tajam.
“Tidak ada yang salah ‘kan? Kita sama-sama pemimpin Pratama Group, akan lebih bagus kalau kita bisa bekerja sama tanpa adanya pendapat yang bertentangan. Perusahaan pasti akan lebih berjaya, dan sepertinya kita memiliki jalan pikir yang sama terbukti dari rapat kemarin,” jelasnya.
Rapat kemarin, rapat kemarin, ya... Rapat kemarin. Agina menyeringai saat sebuah pemikiran menjurus pada kepalanya. Ia mendekat pada lelaki itu, dapat dilihat kalau dia terkesiap akan tindakannya. Kini tubuh keduanya hanya berjarak sejengkal. Agina menengadahkan kepalanya, menatap sepasang mata biru yang juga ikut menatapnya. Agina tersenyum remeh. “Apapun rencana dalam kepala Anda, saya tidak akan menghalanginya. Namun saya ingatkan, semuanya akan sia-sia.”
Agra tersentak yang mana malah membuat Agina semakin yakin dengan pemikirannya.
“Agina!”
Keduanya menoleh dan mendapati laki-laki yang berjalan terburu-buru. Tangan Agina ditarik dan membawa menjauh dari Agra. “Kau tidak papa?” Saraf akan kekhawatiran begitu kentara. Lelaki itu bahkan membolak-balik tubuh Agina untuk memastikan keadaannya.
Agina memegang tangan yang bersiap membalikkan tubuhnya lagi. “Aku baik-baik saja, kak. Hanya ada luka kecil di tubuhku.” Menyibak pony rambut yang menutupi plester di keningnya.
“Nah ‘kan! Udah beberapa kali aku bilang, kau itu dalam bahaya. Harusnya ada sepuluh pengawal di sekitarmu, tapi kau malah nolak. Keras kepala banget gak sesuai sama ukuran badan....” omelnya panjang lebar.
Agina justru menanggapi dengan menguap yang langsung dihadiahi jitakan di kepalanya. “Gak sopan, orang lagi ngomong malah nguap. Gak ngehargain banget sih.” Cemberut.
Agina mengusap kepalanya. “Ya ‘kan, kak Steven ngomongnya panjang banget.”
Steven menghela napas. Percuma mengomeli Agina yang dari dulu keras kepalanya tingkat tinggi.
Ekhem...
Atensi keduanya beralih pada lelaki yang sedari tadi diabaikan. Matanya memandang tajam pada laki-laki yang berani menyentuh Agina.
“Oh, maaf telah melupakan keberadaan Anda, tuan Agra Pratama,” ucap Steven datar.
Keduanya menatap tajam menciptakan atmosfer yang mencekam. Ditambah aura dingin atau ketidakpedulian Agina semakin memperkeruh. Untunglah di sana sepi jadi tidak ada media yang akan meliput.
“Bertahun-tahun tidak bertemu kau tidak berubah ‘ya, Steven William. Bagaimana keadaan adikmu selama dibenci olehku?” Agra berkata dingin.
“Jauh lebih baik, bahkan dia menjadi sosok yang tangguh dan dikagumi oleh banyak orang.” Tersenyum mengingat orang yang dibicarakan, meski sebenarnya berada di sampingnya sedang menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir.
Raut Agra semakin datar. Dia memasukkan kedua tangannya dalam saku. “Ngomong-ngomong, beberapa tahun ini sepertinya kalian menghilang bagai ditelan bumi. Apa ada sesuatu yang terjadi?”
Steven mengelus pucuk kepala Agina yang secara reflek memejamkan mata menikmati sentuhan. Agra melirik tangan itu. “Apa pedulimu? Adikku saja kau sakiti, tapi untunglah adikku bukan tipe pendendam kalau tidak kau pasti sudah mati sekarang.”
Ck! Agra tetap dengan tatapan sinisnya.
“Kakak, sudah makan?” tanya Agina tiba-tiba.
Sontak Agra menatap Agina dan Steven secara bergantian. “Apa hubungannya kalian?”
“Adik-kakak,” jawab Agina datar, menggenggam tangan Steven.
Seketika Agra tertawa. Kedua kakak-beradik memutar bola mata jengah, seolah tahu apa yang ada di pikiran lelaki itu. “Sebenarnya ada berapa sih adikku, Stev? Setiap ada orang dekat denganmu, kau selalu bilang itu adikku. Orang tuamu kuat banget produksi anak.”
Dug!
Agra meringis akibat tendangan di perutnya. Steven menutup mulutnya menahan tawa. Kalau seperti ini, Agina sudah tidak bisa lagi diajak kompromi. Lihatlah, gadis itu bahkan langsung menarik tangannya menjauh tanpa memperdulikan lelaki yang sedang memegang perutnya kesakitan. Namun masih untung karena Agina tidak menendang pada titik vitalnya.
“Kau itu. Kalau kelakuanmu seperti tadi, itu tidak mencerminkan kau mencintainya,” tutur Steven begitu sampai di tempat motor Agina.
Agina menghendikkan bahunya. Ia berjinjit dan memasangkan helm pada kepala Steven. “Dia menghina keluargaku.” Jika orang lain melihatnya pasti mengira mereka sepasang kekasih, namun nyatanya itu adalah bentuk dari kasih sayang satu sama lain. Perhatian kecil seperti ini yang membuat mereka terjalin sampai sekarang.
Steven tersenyum dan menaiki motor sport itu begitu pun dengan Agina. Gadis itu memegang kedua pundak Steven. “Siap?”
“Siap!” Menjawab dengan semangat.
Steven tertawa kecil, sebelum akhirnya men-star melajukan motornya.
Agra masih memegangi perutnya dengan sesekali merasa ngilu. Sialan, tidak menyangka gadis mungil seperti Agina bisa menendang dengan begitu kuatnya. Bahkan dirinya merasa ingin memuntahkan darah.
Agra berjalan tertatih-tatih ke dalam perusahaan. “Tunggu saja Agina, akan kubuat kau terjerat denganku sampai-sampai kau tidak ingin jauh dariku walau hanya sedetik.” Bibirnya menyeringai, mengingat segala rencana yang tersusun rapi dalam pikirannya. Hingga waktunya tiba, gadis itu tidak bisa lepas darinya.
“Perasaan apa ini?” Agina meremat baju di bagian d*ada.
“Ada apa?” tanya Steven karena tidak lagi mendengar suara teriakan adiknya.
Agina tidak menjawab. Dia malah menekan pundak Steven dan secara perlahan menaikkan kakinya berdiri di atas motor. Tangannya ke atas dan... “Aaa...!” teriaknya. Dirinya menjadi pusat perhatian yang menatap tak percaya ke arahnya.
“Dasar.” Menggerutu, namun tersenyum. Menurunkan kecepatan motor agar lebih aman, meskipun mereka pernah melakukan hal ini puluhan kali. Keahlian mengendara Steven dan keseimbangan Agina.
“Kau sudah menyelidiki identitas orang yang mengirim mereka.” Agina menatap serius lelaki yang sedang mengotak-atik laptopnya. Menyandarkan tubuhnya di sofa serta mengambil bantal sofa yang langsung didekapnya. “Pengendara motor yang tadi pagi ‘kan?” Agina mengangguk. “Johan pelakunya. Dia menyewa orang untuk membunuhmu,” ucapnya seraya memasukkan cemilan ke mulutnya. Agina menghela napas. Dia ikut mengemil dengan raut serius. “Nathan. Apa sudah waktunya memberi pelajaran pada orang itu?” tanyanya pada lelaki yang memerhatikannya. Nathan menghendikkan bahunya. “Seharusnya dari dulu kau melakukannya agar si tua bangka itu sadar, tapi ya... Aku tau kau takut Johan mempergunakan jasa tubuh Olivia seperti boneka ‘kan?” Lagi-lagi gadis berumur 23 tahun itu menghela napas kasar. “Dia sudah cukup menderita selama ini. Jika aku menarik semua aset keluarga Dreandara, maka tidak akan kata cahaya lagi di hidupnya.” Agina tersenyum pedih. Maafkan ak
“Begitu ‘ya. Baiklah, aku keluar. Di mana kau sekarang?” Agina mengangguk setelah mendapat jawaban dan mematikan ponsel. Meletakkan ponselnya di meja dan bangkit dari kursi kebesarannya. Ia menyampirkan blazer berwarna mocca di kedua pundaknya dan memasukkan ponselnya ke dalam saku blazer. Melangkahkan kakinya menuju pintu keluar ruangan. Namun belum sempat menekan sandi, pintu itu lebih dulu terbuka. “Sean,” ucapnya. “Ah, Nona. Saya ingin memberitahukan kalau orang itu mengorupsi lagi, namun kali ini dengan jumlah lebih besar yaitu sekian. Apa yang harus saya lakukan?” Menyampaikan dengan intonasi cepat. Lelaki bersurai pirang itu menghembuskan napasnya agar kembali tenang. Agina mendekap dadanya dengan lengan kiri, sedangkan siku lengan kanan bertopang serta jari telunjuk yang berada di dagu. Khas gaya berpikirnya. “Kalau begitu, aku ingin kau melakukan sesuatu untukku.” “Pasti akan saya lakukan, Nona,” tegas Sean. Agina balas tersenyum.
“Seberapa banyak yang kau dapatkan?” tanya Agra. Ia menegapkan tubuhnya pada sofa saat sekretarisnya menyerahkan berkas padanya. “Informasinya tetap sama seperti sebelumnya,” jawab Ezwar. “Sama? Berarti sebelumnya kau sudah pernah menyelidiki tentang Agina ya.” Agra membacanya. Hembusan napas panjang menandakan ketidakpuasan dari apa yang dibacanya. “Sesedikit ini. Bahkan foto masa kecil serta nama panti asuhannya pun tidak ada.” Nama: Agina Pratama Umur: 23 tahun Pekerjaan: Ceo Makanan kesukaannya pun tidak ada, batinnya. “Pertama kali bertemu Agina, aura kepemimpinan begitu kentara menguar dari dirinya. Agina bahkan mampu mengerjakan tugas dengan sempurna. Jadi tidak ada alasan bagi saya membantah saat Ayah mengatakan dia sebagai Ceo Pratama Group,” terang Ezwar. Sedikit menunjukkan reaksi mendengar orang itu juga dibawa-bawa sekretarisnya. “Paman Ilham juga termasuk rupanya. Entah kenapa aku merasa kita berdua dikhia
Ezwar menyalip diantara kendaraan lainnya dengan hati-hati serta menjaga jarak aman dari Agina agar dia tidak curiga. Sial. Apa Agina seorang pembalap profesional juga? Bagaimana bisa dia menyalip kendaraan semulus itu padahal membawa motor dengan cepat. Merepotkan, gerutu Ezwar dalam hati. Begitulah, Ezwar. Selain mengikuti Agina, dia juga tidak berhenti ngedumel dalam hati. Bertanya-tanya anak siapa sampai bisa sehebat ini. Tempat yang didatangi Agina langsung menghasilkan kenyitan di dahinya. Ezwar memarkirkan motornya tidak jauh dari sana dan berjalan mengendap-endap. Melihat rumah besar yang dimasuki Agina. “Anggara Material Art” nama itu yang tertulis di papan atas. “Anggara? Marga itu terdengar gak asing.” Mengetuk-ngetuk kepalanya dengan telunjuk, mencoba mengingat-ingat kata itu kembali namun nihil. “Bagus, Agina tidak menutup pintunya,” ucapnya, melihat Agina yang membuka pintu lebar-lebar tapi lupa menutupnya. Dengan berjinjit-jinji
Suara ketukan pintu menghentikan kegiatan Agina yang sedang mengecek dokumen. Ia menekan tombol remote untuk membuka pintu. Memperlihatkan seorang pria gagap yang berjalan ke arahnya dengan sebuah kardus besar di tangannya. “Apa itu?” tanya Agina. Ia menyingkirkan beberapa berkas ke pinggiran meja, membiarkan kardus besar itu diletakkan di sana. “Kiriman dari orang yang tak diketahui, Nona,” ucapnya. Agina menelisik wajah pria itu yang disangka bawahannya. “Orang baru?” Pria itu membungkuk sedikit. “Ya, Nona. Saya baru diterima dua hari yang lalu.” Tubuhnya ia tegakkan kembali. Sontak matanya melotot melihat pistol yang ditodongkan padanya. Agina langsung menembak tepat mengenai perut. Pria itu terduduk sesaat sebelum akhirnya badannya jatuh tengkurap. Bibirnya tersenyum miring. “Maaf ya, tapi anggota Seven Devil’s punya sesuatu simbol yang tidak dimiliki anggota organisasi lain.” Memasukkan kembali pistol ke dalam saku celana lainnya.
“Kenapa membawaku ke tempat seperti ini?” tanya gadis yang sedang menumpu kaki dengan jus ungu di tangannya. “Tempat ini berbeda dengan tempat biasanya kita kunjungi yang pasti selalu mewah, di sini suasananya hangat dan penuh kegembiraan. Aku ingin merasakan itu denganmu, Tamaki,” kata Erwin dengan senyum. Gadis itu memalingkan mukanya, tanpa tahu kalau perbuatan itu malah semakin memperlihatkan kemerahan di pipinya. “T-tapi ini ‘kan tempatnya kencan pasangan remaja,” tuturnya. “Kita juga belum tua. Lagi pula dengan pakaian seperti ini, tidak akan ada yang tau kalau sebenarnya kita bukan remaja lagi.” Benar. Dengan Erwin yang memakai kaos oblong hitam ditutupi oleh Jaket kulit hijau dipadukan dengan celana jins biru serta sepatu sneakers navy-putih dan Tamaki memakai crop hoodie tosca dengan rok krim selutut juga sepatu sneakers Putih membuat mereka terlihat seperti remaja. “Pantas saja kau menyuruhku memakai pakaian seperti ini tadi,” ucap T
Air tampak oranye dikarenakan pantulan sinar matahari tepat mengarah pada tengah-tengah air, menciptakan suasana damai bagi siapa pun yang melihatnya. Agina memandang sendu danau di hadapannya. “Kita pasti ke danau ini saat sedih tidak berubah ya.” Agina tersenyum menanggapi suara dengan langkah kaki yang semakin mendekat yang kini berdiri di sampingnya. “Tempat ini penuh kenangan.” “Maaf ya,” ujar Alfin. Menoleh pada Agina yang saat ini matanya menjurus ke air. Agina menggeleng. “Aku yang harusnya minta maaf pada kalian, terutama pada Erwin. Demi keselamatan satu orang, aku sampai mengorbankan nyawa banyak orang,” ucapnya. Alfin bergumam hingga tersenyum simpul. “Soal pikiranmu itu, aku gak tau harus mengatakan apa. Karena hanya kau sendiri yang bisa menghilangkannya. Tapi ingat ‘kan ‘Satu diantara kita yang bermasalah, maka kita akan menanggungnya bersama-sama’. Dari dulu kita telah menghadapi banyak hal bersama, jadi jangan merasa b
Tamaki sontak melepas lingkaran tangannya pada punggung Erwin begitu merasakan ponselnya bergetar dalam saku. Langsung saja perempuan tersebut sedikit menjauh dari kekasihnya melihat nama yang tertera di layar ponsel dan mengangkatnya. Erwin tersenyum miris. “Inilah saatnya,” gumamnya sangat lirih menyiratkan kesedihan mendalam. Wajah muram durja sudah terlihat dari gadis itu mendengar penjelasan dari sang penelepon, dan mata coklat terang itu memandang tajam penuh amarah padanya. “Jadi, ini tujuanmu mengajakku ke sini?” sarkas Tamaki alias Mikaela Anderson, pemimpin era sekarang dari organisasi gelap bernama R.A (Ronald Anderson) Ruthless Meski tatapannya sarat akan kemarahan, namun jika dilihat lebih teliti ada kekecewaan di sana. Bulu mata itu turun hampir menutupi bola matanya. “Tidak, apapun pradugamu sekarang sama sekali tidak benar. Aku memang mengajakmu ke sini untuk menghabiskan waktu bersama mu,” jelas Erwin. Seketika Mikaela bertepuk tangan