Besoknya, pagi-pagi sekali aku mengajak Dita berbelanja ke warung sayuran Buk Leli yang letaknya di belakang kontrakan Babeh Sabeni. Biasanya Aku berbelanja di Mang Dodo, tukang sayur yang berkeliling menggunakan motor dan berjualan sampai sore hari.Aku tidak biasa memasak pagi, karena biasanya menunggu uang pemberian dari Mas Dito sepulangnya mengojek. Sementara di warung Buk Leli, biasanya hampir seluruh dagangannya habis terjual hanya dalam waktu beberapa jam saja.Aku berbelanja menggunakan uang pemberian Mas Dito yang mendapatkan rezeqi lebih saat mengojek kemarin. Rencananya hari ini aku ingin membuat ayam bakar yang pernah dijanjikan pada Dani.Sesampainya di warung, bukan hanya ramai oleh para pembeli dari kalangan Ibu-ibu saja tetapi mereka seperti sedang membicarakan sesuatu."Mungkin itu karma buat mereka, karena selalu merendahkan orang lain. Salah satu doa yang mustajab adalah doa orang yang teraniaya, benar enggak Ibu-ibu?" tanya Bu Desi pada Ibu-ibu lainnya.Sementara
"Saya juga minta maaf, karena sudah keterlaluan mengerjai Mbak Beti. Tetapi demi Allah, bukan saya yang melaporkan ke suami Mbak Beti tentang copy darat kita. Itu ide Ismi sendiri, tanpa melibatkan saya!" ucapku berhati-hati.Aku berusaha menjelaskan kejadian yang sebenarnya kepada Mbak Beti, karena sebenarnya aku pun tidak menyetujui idenya Ismi yang berakibat fatal."Rezeqi, maut, jodoh sudah menjadi takdir Allah Mbak, Din. Tidak akan ada yang bisa mempercepat atau sebaliknya. Saya hanya bisa pasrah menerima takdir. Mungkin ini adalah karma atas semua perbuatan yang saya perbuat selama ini!" ucap Mbak Beti, dia kembali terisak.Aku memandang Mbak Beti dengan tatapan takjub. Bagaimana bisa Mbak Beti berubah 180° dalam waktu satu malam saja? Aku yakin, perubahan Mbak Beti karena adanya campur tangan Allah yang Maha membolak-balikkan hati manusia. "Oh ya, uang Mbak Beti masih utuh, tidak saya pakai. Mau ditransfer atau terima cash Mbak?" tanyaku berusaha menghibur Mbak Beti.Uang deng
Keesokan harinya, Mas Dito berpamitan untuk berangkat bekerja. Sepertinya dia hanya masuk angin biasa, karena setelah minum obat yang aku belikan semalam, dia merasakan tubuhnya lebih baik.Aku dan anak-anak seperti biasa mengantarkannya sampai ke halaman depan rumah, mencium punggung tangannya dan melambaikan tangan seraya menatap kepergiannya hingga hilang dari pandangan kami."Buk, Dani mau main ya ke rumah Kevin," ucap Dani seraya menatapku dengan tatapan memohon."Kamu jangan terlalu banyak main, Dani. Kamu harus banyak belajar untuk persiapan masuk SD nanti," ucapku memperingatkan Dani."Belajar apa lagi Buk? Dani kan sudah lancar membaca. Berhitung juga Dani sudah bisa. Hafalan surat pendek juz 30 juga Dani sudah banyak yang hafal. Boleh ya Bu main ke rumah Kevin, sebentar saja. Disana juga Dani belajar kok, tentunya sambil bermain juga. Kevin mempunyai perpustakaan kecil di rumahnya, Buk!!" Dani masih mencoba membujukku.Akhirnya aku menyerah dan mengizinkannya main ke rumah K
Aku berjalan keluar dari rumah untuk sekedar menyapa Babeh Sabeni yang sudah lama tidak berkunjung ke kontrakannya. Mobil Babeh Sabeni terparkir tepat di depan kontrakan Ismi. Dari kejauhan terlihat pintu kontrakan Ismi terbuka. Kenapa Babeh Sabeni berani masuk ke dalam kontrakan yang penghuninya tidak ada?Aku memberanikan diri untuk menghampiri Babeh Sabeni yang berada di dalam kontrakan Ismi. Betapa terkejutnya aku, ketika tiba di depan pintu kontrakan Ismi. Aku mengucek kedua mata, untuk memastikan tidak ada kesalahan dengan indera penglihatanku.Tetapi penglihatanku memang benar. Kontrakan Ismi terlihat kosong melompong. Tidak terlihat barang Ismi yang berharga mahal dan sering dibanggakannya seperti sofa, lemari hias, televisi layar datar puluhan inci yang biasanya tertempel di dindingnya. Kemana perginya barang-barang itu? Jantungku seakan berpacu lebih cepat dari biasanya.Babeh Sabeni tidak datang sendirian, dia datang bersama sepasang suami istri yang mungkin usianya tidak b
Aku tertegun mendengarkan ucapan si pramuniaga yang terputus."Emasnya kenapa, Mbak?" tanyaku dengan wajah cemas."Emasnya palsu, Bu!" jawab si pramuniaga tegas."A-ap-a, e-masnya palsu, Mbak?" tanyaku gugup karena merasa tidak percaya dengan ucapan si pramuniaga."Emas yang Ibu bawa itu palsu, tadi sudah kami cek menggunakan alat khusus untuk mengetahui keaslian emasnya!" tegas si pramuniaga dengan wajah dingin."Ti-dak mungkin emasnya palsu, bisa tolong cek sekali lagi, Mbak? ucapku memohon pada si pamuniaga dengan wajah panik."Maaf Bu, alat yang kami punya sudah terbukti keakuratannya jadi tidak mungkin kalau sampai salah!" jawab si pramuniaga ketus.Aku sangat terkejut ketika mengetahui emas yang diberikan Ismi sebagai jaminan adalah emas palsu. Lututku tiba-tiba terasa lemas, dan mata kembali berkunang-kunang. "Jangan sampai aku pingsan dan mencelakai Dita yang berada dalam gendongan" batinku dalam hati. Aku berusaha membuat diri tenang dengan mengambil nafas dalam-dalam dan me
Aku mencoba mengingat-ngingat kembali aplikasi pinjol tersebut. Walaupun setiap pengajuan pinjol yang digunakan oleh Ismi, tetapi aku tahu semua nama aplikasi pinjolnya. Ketiga aplikasi yang di ajukan oleh Ismi tersimpan dimemori ponselku, tetapi aplikasi pinjol tersebut tidak ada. Walaupun nominalnya hanya lima ratus ribu, tetapi aku tidak pernah merasa mengajukannya.Akhirnya aku mengurungkan niat untuk menjual ponsel. Aku masih penasaran dengan tagihan pinjol yang tidak dikenal. Aku akan menunggu hingga beberapa hari, biasanya ada pemberitahuan kembali tentang data pada saat awal pengajuan. Aku ingin melihat photo yang di gunakan pada saat awal pengajuan.Saat ini, kepalaku rasanya mau pecah. Disaat ke tiga pinjolku belum terbayarkan, ada lagi tagihan pinjol yang tidak aku ketahui. Apakah ini juga ulahnya Ismi? Tetapi bagaimana caranya?Tiga hari berlalu, sesuai dugaanku pihak aplikasi pinjol kembali mengirimkan data pada saat awal pengajuan. Jantung kembali berdebar, karena aku a
Aku menelan salivaku, karena berkata sok bijak padahal dalam hati menutupi semua masalah dari suami sendiri. Mas Dito menatap lekat, seolah dia sedang menguliti semua kebohonganku. Aku memalingkan wajah, berpura-pura memijit kakiku yang tidak terasa pegal.Malam ini adalah malam kedua aku tidak dapat memejamkan mata hingga menjelang pagi. Keesokan harinya aku merasa lemas, suhu tubuhku pun cukup tinggi. Sepertinya aku demam. Namun tetapi tetap memaksakan diri untuk bangkit dari pembaringan, tetapi kepalaku terasa sakit dan pandangan berkunang-kunang. Akhirnya aku memutuskan untuk berbaring kembali. Mencoba berusaha memejamkan mataku, agar bisa beristirahat meskipun hanya beberapa menit. Tetapi tetap tidak bisa. Beban fikiran tentang hutang pinjolku yang membuat seperti ini. Aku sangat tersiksa dengan masalah yang dibuat oleh Ismi, si Ratu pinjol yang sebenarnya.Samar-samar aku melihat Mas Dito masuk ke dalam kamar, sepertinya dia baru selesai mandi. Mas Dito pasti heran melihatku ma
"Ismi ada di sebuah kontrakan yang ada di pinggiran Kota!" jawab Mbak Sherli."Mbak Sherli dapat informasi darimana? Bagaimana kalau informasinya salah?" tanyaku berusaha meyakinkan kebenaran kabar yang dibawa Mbak Sherli."Dari orang-orang yang jadi korban penipuannya, Mbak Din. Mereka mencari tahu keberadaan Ismi dan memberikan informasinya kepada saya, karena termasuk korbannya Ismi!" sahut Mbak Sherli."Mbak Sherli jadi korban Ismi juga?" tanyaku dengan wajah terkejut."Iya. Ismi adalah ketua arisan online yang cukup dikenal dikalangan pengguna media sosial. Saya juga mengenalnya lewat sosial media berlogo biru. Biaya arisan yang saya ikuti adalah satu juta perbulan. Akan tetapi ketika seharusnya saya mendapat giliran menarik arisan, dia menghilang tanpa kabar." Beber Mbak Sherli menceritakan kejadian yang juga menimpanya.Aku cukup terkejut mendengar pengakuannya. Pantas saja tempo hari Mbak Sherli pernah mengingatkanku agar berhati-hati kepada Ismi. Hanya mengingatkan, tetapi t