Share

3. Orang Tua Rendra

Angin senja menerbangkan rambut hitam Felysia yang sepanjang bahu. Rabu yang melihat perempuan itu berulang-kali menyugar rambut ke belakang, akhirnya menyarankan untuk pindah duduk di lantai satu café.

“Nggak usah. Aku suka di sini,” tolak Felysia. Perempuan itu menikmati semburat jingga yang baru muncul pada langit Jogja sore ini.

“Oke,” jawab Rabu.

Sebetulnya, sejak tadi Rabu menyesal mengiyakan ajakan Felysia untuk masuk ke café ini. Pertemuan dengan perempuan itu saja sudah membuatnya kehilangan keseimbangan dalam hati, apalagi berbicara dalam kurun waktu lebih dari tiga puluh menit.

Rabu pikir setelah perpisahan beberapa waktu silam, dia akan mudah menjauhi Felysia. Namun ternyata, dia terlalu percaya diri.

Ini bukan kali pertama Rabu bertemu Felysia secara tidak sengaja. Mungkin sudah terhitung tiga kali—termasuk hari ini—selama hubungan mereka kandas dengan cara yang kurang baik. Dan dalam tiga pertemuan itu, tak sekali pun dia berhasil menolak ajakan Felysia. Lebih tepatnya, tak pernah menolak meski sepanjang pertemuan dia meratapi keputusannya.

Pertemuan kali ini cukup jadi sedikit drama bagi Rabu. Tubuhnya ditabrak keras oleh Felysia. Perempuan itu katanya sedang dikejar sang sepupu yang memaksa dibawa ke Jakarta. Sebab itu pula, dia diajak untuk segera memasuki café yang tak jauh dari trotoar tempat mereka bertemu.

“Kamu masih di Jakarta, kan?” tanya Felysia.

“Masih. Kamu masih bolak-balik Jakarta-Singapura?”

Rabu sebisa mungkin menjaga nada suaranya agar terdengar biasa saja. Walau sekarang, hati dan pikirannya terus ditarik ke masa lalu tiap kali memikirkan atau tanpa sengaja bertemu Felysia.

Felysia menggeleng. Lantas, Rabu merasa mata Felysia menatap lurus pada miliknya. Maka demi menghindari luapan emosi yang sedikit meletup-letup, dia memalingkan muka ke arah mug berisi cokelat hangat.

“Pulang ke Jakarta?” tanya Rabu lagi, sebab tak ada jawaban selain geleng kepala dari perempuan itu.

“Iya. Sudah enam bulan. Aku lagi buka bisnis kuliner,” terang Felysia.

Rabu mengernyit mendengar jawaban perempuan itu. Seingatnya, dulu Felysia sangat bercita-cita menjadi seorang dosen. Di pertemuan terakhir mereka dua tahun lalu pun, perempuan itu mengatakan bahwa dia mengajar di salah satu sekolah dasar di Singapura sebagai permulaan.

Tiba-tiba suara tawa Felysia memecahkan kerutan di dahi Rabu. “Aku udah berhenti ngajar. Bukan kamu saja yang bisa ganti profesi, Prab. Aku juga.”

Ah, panggilan itu, batin Rabu. Nama tengahnya memang sudah jarang sekali dipakai. Bahkan orang tua yang sewaktu kecil memanggilnya Prabu, ikut mengganti panggilannya menjadi Rabu.

Penggantian nama panggilan itu disebabkan oleh Katha. Perempuan itu mengaku geli jika harus memanggilnya dengan nama Prabu.

“Kayak gue bawahan yang lagi manggil raja aja, Bu. Najis banget,” ujar Katha kala itu.

Maka muncullah panggilan Rabu, yang meski mulanya aneh, kini menjadi panggilan bagi semua orang yang mengenalnya.

“Kenapa? Bukannya kamu dari dulu suka mengajar?” Rabu meraih gagang mugnya.

“Sekarang masih suka, tapi hobi memasakku ternyata kali ini mengalahkan mimpi utama.” Felysia terkekeh pelan.

Rabu mencermati jawaban Felysia sambil meneguk minumannya hingga separuh. Hawa panas cokelatnya sudah menjadi hangat akibat angin kencang yang bertiup.

Dulu, kedekatannya dengan Felysia disebabkan oleh impian yang sama. Rabu ingin sekali menjadi seorang guru, sedangkan Felysia ingin menjadi dosen. Sayangnya, baru dua tahun menjadi guru, Rabu memutuskan berhenti dan menggeluti bisnis. Tentu saja itu semua bisa dia lakukan atas bantuan Katha yang seorang lulusan manajemen bisnis.

Sedangkan untuk Felysia, Rabu pikir perempuan itu akan mengabdikan dirinya sebagai pengajar sampai tua. Rupanya tidak. Dia tiba-tiba jadi penasaran dengan alasan perempuan itu. Hobi memasak yang dijadikan alasan tadi terdengar seolah-olah kebohongan di telinga Rabu.

“Apa hanya itu alasannya?” tanya Rabu. Namun, belum ada tiga detik, dia sudah menyesali pertanyaannya. Hal itu memberi kesan seolah dia masih peduli dengan kehidupan Felysia.

Benar saja, Felysia langsung tersenyum lebar. Perempuan itu melipat lengan di atas meja.

“Kamu memang yang paling tahu aku, Prab,” jawabnya melenceng dari pertanyaan.

Bagi Rabu sendiri, sahutan Felysia itu mendakan bahwa kecurigaannya benar dan gadis itu sedang memancing perhatian lain dari dirinya lagi. Maka Rabu langsung menekan rem pada mulutnya.

“Ah, ya, ngomong-ngomong ini sudah ketiga kalinya kita ketemu setelah hari itu, ya?” Felysia kembali menghidupkan meja yang tadinya sempat sunyi.

Rabu menganggukkan kepala. Dia mengingat jelas pertemuan-pertemuan tak sengaja mereka.

“Lucu, ya, Prab. Seperti sebuah takdir,” kekeh Felysia.

Tidak. Rabu tidak tertawa. Dia tak bisa. Perkataan itu terdengar seolah mengejek dirinya di masa lalu hingga sekarang.

***

Pagar rumah keluarga Agung Syahputra langsung terbuka kala Katha turun dari taksi online sambil memainkan sling bag-nya di depan dada. Hadi—satpam rumah—tersenyum dan menyapa anak perempuan atasannya itu.

“Sore juga, Pak Hadi,” sapa Katha balik. Perempuan itu berhenti melangkah, lalu merogoh tas. Dari sana dia keluarkan sebungkus cokelat yang masih utuh.

“Asik, cokelat!” seru Hadi.

Katha memang sering membawa cokelat di tasnya karena Rabu salah satu penggemar makanan manis itu. Jadi, seperti sebuah kebiasaan, tiap melihat cokelat, Katha akan membeli dan menyimpannya di tas. Dia sendiri tak begitu suka cokelat, meski bisa memakannya satu-dua potong.

Dalam beberapa kesempatan, kalau sedang tak bersama Rabu, cokelat dalam tasnya akan berpindah tangan ke Hadi, seperti hari ini. Cokelat itu pun sudah ada di tasnya lebih dari tiga hari, karena Rabu sedang berada di Jogja.

“Sama-sama, Pak.” Katha mengacungkan jempolnya dan mulai masuk melewati celah gerbang yang sudah dibuka.

“Mas Rabu belum pulang, ya, Mbak?” tanya Hadi.

Gelengan kepala cukup mewakilkan jawaban Katha. Gadis itu melanjutkan langkah, namun matanya menemukan sebuah mobil asing di depan teras rumah.

“Pak, ada tamu, ya?” tanya Katha.

“Iya, Mbak.”

“Siapa?”

Hadi menggeleng. “Belum pernah ke sini, Mbak. Mungkin teman bisnis Pak Agung.”

“Oh, ya, sudah. Saya masuk dulu, Pak,” pamit Katha. Perempuan itu melanjutkan langkahnya menuju rumah. Samar-samar didengarnya suara tawa dan percakapan, karena pintu utama memang dibiarkan terbuka.

Entah mengapa, suara-suara dari dalam rumahnya itu membuat perasaan Katha kurang nyaman. Kakinya ragu-ragu menapaki teras. Sampai akhirnya firasat itu terbukti. Perasaan sesal mulai menjalari kepalanya kala mengingat Kandara yang menyuruhnya pulang setelah rapat selesai. Andai dia mengikuti perkataan kakaknya itu, dia tak akan bertemu dua tamu yang membuat pikirannya kian semrawut.

“Ah, itu Katha sudah pulang!” seru Agung.

Katha tersenyum canggung. Di sofa ruang tamu, duduk dua orang tamu yang dia kenal dari pesta perusahaan enam bulan lalu. Meski sudah tak pernah bertemu lagi, dia masih mengingat jelas wajah mereka.

Mereka adalah Alan dan Rena, orang tua Rendra—menantu yang diharapkan papanya. Maka ketika menyadari kehadiran mereka, Katha merasa tubuhnya langsung lemas. Dia mulai menebak tujuan kedatangan mereka.

“Sini, Katha! Duduk sini!” panggil Rena. Dia tersenyum lebar sembari menepuk-nepuk sofa sebelah kanannya yang kosong.

Katha cepat-cepat menguasai dirinya kembali. Dia tak boleh kelihatan kalah di depan Agung.

“Halo Tante, Om. Lama nggak ketemu, ya,” sapa Katha.

“Halo Katha,” balas Alan.

“Kamu, sih, nggak pernah ikut main ke rumah sama orang tuamu. Jadi nggak pernah ketemu kita,” ujar Rena.

Katha hanya tersenyum, lalu berjalan masuk dan duduk di sebelah Rena. Saat melewati Agung tadi, dia sempat memicingkan mata ke arah papanya itu. Namun, Agung malah sengaja tersenyum mengejak.

Menahan kesal, Katha meremas tali tasnya. Dia baru kembali memasang senyum saat Rena menyentuh lengannya. Perempuan paruh baya itu kelihatan cantik dengan rambut sebahu yang digerai.

“Kamu sama Kandara sibuk banget, ya?” tanya Rena.

Katha mengangguk, karena mereka baru merampungkan satu produksi film. Di masa-masa promosi seperti ini, memang cukup banyak pekerjaan. Namun, Katha penganut kerja tanpa lembur kecuali sedang mood. Maka dari itu, dia memilih untuk bekerja sebagai sekretaris Kandara agar bisa berlaku seenaknya.

“Sayang sekali,” keluh Rena.

“Kapan-kapan kalau ada waktu, aku sama Kakak main ke rumah Tante,” dusta Katha. Dia sama sekali tak berniat ke rumah teman orang tuanya itu. Sebab, selain karena baru dua kali bertemu, dia menghindari pertemuan dengan Rendra.

Mata Rena langsung berbinar. “Sering-sering, ya,” pintanya.

Katha tak punya pilihan selain mengangguk. Dia sudah terlanjur menebar janji manis palsu.

“Eh, Katha udah pernah ketemu Rendra belum?” tanya Rena lagi.

Seketika otot-otot tubuh Katha menegang. Nama itu akhirnya terucap. Diam-diam Katha melirik Agung yang sedang tersenyum penuh kemenangan.

“Belum, Tante,” jawab Katha. Dia memang belum pernah sama sekali bertemu Rendra, meski sudah sejak lama mendengar namanya dan melihatnya sekilas di pesta enam bulan lalu.

Tiba-tiba suara dering gawai meramaikan ruang tamu. Itu gawai Reni. Perempuan paruh baya itu langsung menggeser layar, lalu didekatkannya benda itu di telinga kanan.

Melihat itu Katha berusaha melarikan diri. Dia menyentuh lengan Reni yang sedang mendengarkan seseorang di seberang telepon.

“Aku ke atas dulu, ya, Tan,” bisiknya.

Reni mengangguk, namun sedetik kemudian lengan Katha ditarik. “Eh, Rendra mau nyusul ke sini katanya, Tha. Nanti kamu kenalan, ya, sama dia,” ujarnya ceria.

Mata Katha otomatis melotot ke arah Agung. Di saat bersamaan papanya itu malah menjulurkan lidah. Sial! Papa melanggar perjanjian, batinnya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nama Pena
Pingin ikut nyakar ayahnya Katha 😭
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status