Selang berapa lama setelah Bintang dan Diara pergi, seseorang mengunjungi Gita. Sepertinya mereka berselisih waktu hingga tak saling bertemu.
“Nona Gita, masih betahkah dirimu di sini?” tanyanya, membuat Gita mengerutkan dahinya. Dia tak mengenal orang ini.
“Siapa Anda?” tanya Gita mencoba bersopan santun.
“Tak perlu kamu tahu siapa aku, di sini kutawarkan sesuatu untukmu. Aku, bisa mengeluarkanmu dari sini, tanpa syarat.” Orang itu tersenyum pada Gita yang kebingungan.
“Tanpa syarat? Untuk kepentingan apa?” selidik Gita tak percaya.
“Bagus. Ternyata sedikit darah Prana Jiwomu masih aktif.” Orang itu terkekeh, semakin membuat Gita penasaran.
“Aku akan mengeluarkanmu, tanpa syarat. Aku menjamin itu. Aku hanya tak ingin melihatmu menderita sendirian dalam kegelapan. Pikirkan. Aku akan kembali untuk beberapa hari lagi,” kata orang itu, kemudian berpamitan pada Gita yang mas
Seseorang sedang menyesap kopinya dalam-dalam. Pertemuannya dengan Gita hari ini sedikit menemui masalah. Gita sedikit sulit untuk diyakinkan.“Apa aku harus terang-terangan mengatakan, bahwa aku adalah adiknya?” Dia menatap lekat pemandangan di depan kafe itu.“Tapi bila aku mengatakannya sekarang, dia mungkin tak menyukaiku,” gumamnya.Dia mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja dengan gelisah. Kepercayaan dirinya sirna. Menguap. Dunia tak semulus yang dibayangkannya.Kemudian dia menghubungi seseorang.“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” Tanyanya begitu sambungan telepon direspons seseorang.“Kita harus merunduk. Jangan tergesa. Lakukan sesuai dengan rencana.” Kata-kata orang di seberang sana membuatnya bertambah gundah.Dia semakin tak tahu harus bagaimana, dendamnya yang membara ingin segera dituntaskan, tapi seseorang malah membuatnya harus menahan diri.Dia bukan orang yang
Diara menerima pesan Glagah untuk langsung ke rumah aman.“Ada apa Di?” tanya Bintang melihat Diara mengernyitkan dahinya.“Ehm ... ini kata Glagah kita mau pindah ke rumah aman lagi.” Diara menunjukkan layar ponselnya.“Itu pasti ulah Laut. Aku juga mau ke sana saja, biar rame.” Bintang kemudian mengingat saat mereka sama-sama menghuni rumah aman.“Mas Bintang kan harus nemenin Pak Hardjo,” sergah Diara.“Papa tidak butuh temen, dia sudah banyak temen di rumah,” kata Bintang.“Kita pulang bareng, besok kita langsung ke lembaga pemasyarakatan,” kata Bintang membuat Diara mengangguk lesu.“Kamu gak suka pulang bareng aku?” goda Bintang.“Ih Mas Bintang, bukan gitu. Memangnya Mas Laut kenapa sih menyuruhku dan Glagah untuk tinggal di rumah aman lagi? Kan kasihan Ayah sama Ibu di rumah sendirian,” omel Diara seraya mengikuti langkah pan
Diara terbangun dan mendapati Glagah tak ada di sampingnya, tapi bau harum makanan yang menguar membuat Diara sadar kalau Glagah sedang memasak. Membuatnya menghela nafas lega. Pikiran buruknya kadang membuatnya berpikir yang aneh-aneh. Mengingat hari ini dia harus menemani Bintang ke lembaga pemasyarakatan, membuatnya bangkit dan ke kamar mandi dengan segera.Sementara Glagah sibuk menyiapkan sarapan. Anton membantunya, walau lebih banyak merepotkan sebenarnya.Nasi goreng ikan jambal tersedia pagi itu untuk sarapan. Laut dan Bintang yang sudah rapi berjajar di meja makan.“Diara mana?” tanya Bintang saat tak melihat Diara.“Mungkin sedang bersiap, Mas,” jawab Glagah seraya membagikan nasi ke goreng ke piring masing-masing.“Aku di sini,” kata Diara dengan tergesa menduduki kursinya.“Cepat di makan, Mas Bintang sepertinya sedang terburu-buru,” bisik Glagah membuat Diara menatap Bintang.
Begitu sampai di rumah, Laut bahkan meninggalkannya dan masuk.Glagah dengan tergesa menutup pintu dan mengikuti Laut.“Ada apa Le?” tanya Darma melihat Laut begitu tak sabar.“Apakah, Paman tahu lingkaran pertemanan atau sosialisasi dari Wi--, eh Ibu,” kata Laut tak jadi menyebut Wita karena tatapan tajam Sari.“Kenapa?” tanya Darma penasaran.“Ada seorang perempuan, lebih muda dari Gita, memiliki mata khas bulat, dan dia menjamin kebebasan Gita tanpa penjelasan apa-apa. Aku curiga dia ada hubungannya dengan penusukan Nenek,” papar Laut.“Aku tak pernah lagi berhubungan dengan Wita setelah kejadian dia meninggalkan ayahmu. Dia seolah menghilang ditelan bumi. Apalagi waktu itu Ayah dan Ibu sepakat untuk mengumumkan kematiannya,” kata Darma.“Dia tak mempunyai banyak teman. Bahkan bisa di bilang, Nawang adalah satu-satunya teman dekatnya,” lanjut Darma.&ldq
Gita, meremas kertas itu. Hatinya bergemuruh. Wita, bahkan meninggalkan jejak. Apa dia seorang manusia?Kembali di selnya, yang gelap, Gita membayangkan hari-hari penebusan dosanya untuk keluarga Sriwedari.Sementara perempuan itu menelepon seseorang.“Gita setuju. Lakukan tugasmu. Aku tunggu kabar baikmu,” katanya di saluran telepon.Dia menghela napasnya, semoga ini bisa menjadi jalannya untuk membalas dendam. Kepada semua keturunan Prana Jiwo dan Sriwedari.Dia melangkah keluar dari area Lapas, memasuki mobilnya. Kembali ke tempat persembunyiannya.Laut menerima pesan dari orang yang di suruhnya mengawasi lapas.“Dia pergi sendirian. Harus aku ikuti?” tanya Dani.“Ikuti, kabari aku, di mana dia tinggal,” kata Laut mengakhiri sambungan.Laut berjalan hilir mudik di kantornya. Rencananya berjalan. “Mas, ada telepon dari lapas,” kata Glagah.“Ya. Kirimkan saja lewat paket ki
Sangka sedang berada di kantor. Persiapan untuk berangkat ke Jakarta sudah siap. Mereka harus segera melobi Prawirahardja untuk mendapatkan dana segar. Wira sudah memaksa.“Paman, apakah ini akan berhasil?” tanya Sangka saat Wira masuk ke ruangannya. “Harus berhasil. Kalau tidak, kita harus bagaimana? Maka semua akan berakhir menjadi sia-sia. Kita akan bangkrut,” kata Wira tak kalah cemas.Dia terlalu menuruti seseorang sehingga kini semuanya dia pertaruhkan.Keduanya berangkat menuju bandara dengan sejuta harap. Misi mereka menyelamatkan diri dari kebangkrutan akan semakin berat. Banyak perusahaan menutup pintu kerja sama, terlebih setelah pengumuman Prana Jiwo atas potensi kebangkrutan mereka.Anton masih berkutat dengan pengambilan data di pertanahan. Sementara layar lain menampilkan data yang kemarin diserang oleh Frasa. Belum ada pergerakan sama sekali dari Frasa hari ini. “Gotcha!” teriak Anton mem
Suara ketukan pintu membuat Diara beranjak dari balik meja. Setelah membuka pintu kayu berat itu, sepasang laki-laki dan wanita berdiri di depannya, dengan tatapan mengintimidasi.“Saya Sangka dari PT. Daya Cipta, ini Wira, Paman saya.” Wanita itu mengenalkan dirinya. Diara paham dan mempersilakan keduanya masuk. Mata Wira menyapu ruangan dan tak menemukan baik Laut maupun Bintang. Hanya dua wanita, Diara dan Amira.“Silakan duduk. Perkenalkan, saya Diara, sekretaris Bintang Sriwedari, dia Amira, sekretaris Laut Prawirahardja. Mereka berdua akan datang sebentar lagi,” kata Diara memahami raut wajah sangsi dari Wira.Sangka menghela napasnya berat. Melirik jam tangannya, memang mereka berdua datang lebih cepat dari waktu yang ditentukan. “Apa yang akan kita lakukan dengan mereka?” tanya Bintang menatap Laut yang menyetir dengan tenang.“Kita lihat saja dahulu, apa yang mereka tawarkan dan inginkan. Aku tidak ta
Wira berjalan mondar-mandir, sementara Sangka duduk dengan enggan di kursinya. Kekuatan mereka seperti meluruh.Ponsel Sangka berbunyi, membuyarkan keheningan mereka. Gama. Nama laki-laki itu membuat Sangka mendesah.“Di mana?” tanya Gama tanpa berbasa-basi.“Aku sedang di Jakarta, di Heritage,” jawab Sangka lesu. Sedang tak ingin berbicara panjang lebar.“Tunggu aku sepuluh menit lagi,” jawab Gama membuat Sangka tersentak.“Mau apa?” tanya Sangka seraya menegakkan badannya.“Menyelesaikan masalahmu,” kata Gama menutup saluran. Tinggal Sangka masih bingung memikirkan apa yang akan dilakukan oleh Gama.“Siapa?” tanya Wira.“Gama,” jawab Sangka.“Ada masalah yang lebih besar daripada pacarmu itu!” geram Wira.Kepalanya sudah pusing dengan kenyataan bahwa mereka berada di ambang kebangkrutan.“Dia bilang akan membantu kita,&r