Share

Masa Kecil : Sang Pemilik Datang

“Perkenalkan ini Teh Nining, dia yang akan menjaga kalian selama ibu dan ayah bekerja. Jangan pada nakal, ya?!”

Perempuan itu tersenyum manis pada kami. Ia terlihat masih muda, umurnya sekitar dua puluh sampai dua puluh tiga tahunan. Ia mengenakan kaos polos dan celana kain, dengan rambut panjang setengah punggung yang diikat kepang.

Kami mengobrol banyak dengan teh Nining. Sejauh ini, ia terlihat baik dan ramah. Kalau dilihat dari raut wajahnya, untuk kesan pertama melihat kondisi kami dan keadaan rumah ini, ia cukup nyaman tanpa ada ekspresi ketidaksukaan.

“Ning, kamar kamu di sini, ya. Kamu tidak harus memasak, kamu hanya fokus untuk menjaga anak-anak saja dan boleh juga kalau kamu mau sedikit membersihkan rumah,” perintah ibu.

“Muhun, Bu.”

Ibu menempatkan teh Nining di kamar paviliun yang bersebelahan dengan ruangan sumur Sebenarnya, itu bukanlah kamar. Hanya saja, ruanganya cukup luas dan bisa untuk difungsikan sebagai kamar tidur.

“Hmm, Bu. Boleh tidak kalau nanti Dara tidur di kamarnya Teh Nining saja biar ada teman?”

“Boleh saja, Nak.”

Malam itu malam pertama kami ditemani teh Nining. Itu terasa sangat menyenangkan karena ia selalu menghibur kami dan mengajak kami bermain. Kami berkumpul di kamarnya dan bersenda gurau tanpa pergi ke ruangan mana pun lagi kecuali sedang ingin ke kamar mandi.

Saat sedang asik bermain, tiba-tiba terdengar suara sesuatu yang jatuh dari ruang tengah.

Brukk ….

“Kayaknya, ada mangga jatuh ke atap rumah ya, jadi terdengar bunyinya,” ucap teh Nining polos.

Mengingat, ia sama sekali tidak tau tentang apapun di rumah ini karena ini hari pertamanya bekerja, dan memang di depan rumah terdapat dua pohon mangga yang cukup rindang dan besar yang sedang berbuah banyak.

Ssshhhhh ….

Tak lama terdengar suara desisan dan lagi-lagi sumbernya dari ruang tengah.

Karena di balik lemari baju teh Nining ada celah untuk melihat ke ruang tengah, kami bertiga memutuskan untuk mengintip lewat celah itu. Sementara, Robi sudah tertidur pulas saat itu.

Betapa terkejutnya kami melihat seekor ular yang tidak terlalu besar namun tak juga kecil, sedang dalam posisi setengah berdiri di atas alas bantal yang tergeletak di lantai. Warnanya hitam legam dan memposisikan diri ke ruang tamu alias tempat di mana aku menemukan kulit ular beberapa hari yang lalu.

“Teh…. Teh …. Teh… ular, Teh!” ucapku ketakutan.

“Sstttt …. Jangan berisik, jangan panik, kita keluar lewat pintu garasi dan meminta pertolongan pada siapapun yang ada di luar rumah.”

Teh Nining menenangkan kami dengan wajah pucat dan keringatan. Aku tau dia pun panik namun berusaha menenangkan kami.

Baru saja kami mau keluar, tiba-tiba ular itu membelokan kepalanya dan menatap langsung ke arah kami!

Aku yang terkejut langsung memalingkan wajah dan segera mengikuti teh Nining. Saat itu kami hanya mengintip, tapi, mengapa ular itu seperti tau kalau kami di sini?!

Teh Nining bergegas menggendong Robi yang tertidur pulas, kami buru-buru keluar rumah mencari pertolongan. Untung saja ruangan paviliun ini langsung terhubung dengan pintu belakang, jadi kami bisa segera menyelamatkan diri keluar.

Aku tak tau ular itu mengikuti kami atau tidak.

Saat keluar rumah, untung saja ada seorang pria yang sedang duduk sambil merokok di depan rumah pak Darman saat itu dan kami langsung meminta pertolongan nya.

“Kang, tolong kami! To-tolong! Ada ular di dalam rumah.”

“Ya Allah! Antosan sakedap, Neng. Biar saya yang cari ke dalam!!”

 Ternyata, pria itu adalah pekerja bangunan di rumah pak Darman, ia cepat-cepat memanggil temannya dan masuk ke rumahku sambil membawa batu besar di tangannya.

Kami menunggu di luar rumah dan tetangga lain pun bermunculan karena keheranan melihat kami berada di luar rumah malam-malam.

Beberapa saat kemudian, terlihat pria tadi keluar rumahku dengan menggenggam ular di bagian kepalanya. Di depan kami, ia membunuh ular tersebut dengan batu yang ia pukul berkali-kali di kepala ular itu yang membuatnya mati seketika.

“Ularnya sudah mati. Tos aman, Neng.”

“Hatur nuhun , Kang. Mudah-mudahan tidak ada kejadian seperti ini lagi, punten kalau merepotkan,” jawab teh Nining.

“Kang Duloh! Memangnya, boleh ya membunuh ular dengan cara seperti itu??” tanya salah satu tetangga.

“Tidak tau, yang jelas kalau tidak dibunuh, ular itu akan mengancam nyawa adik-adik ini,” jawab kang Duloh sambil menunjuk ke arah kami.

Akhirnya kami masuk kembali ke rumah dan mencoba untuk beristirahat.

Entah kenapa hatiku tetap tak merasa tenang menjalani hari setelah kejadian kemarin malam. Malah, sekarang terasa lebih buruk. Aku selalu dibayang-bayangi ketakutan setiap pergi ke ruangan mana pun di rumah ini. Padahal, sudah ada teh Nining yang menemani, tapi sama saja. Rasa takut itu tak pernah hilang.

Teh Nining menceritakan kejadian semalam pada ayah dan ibu. Mereka sangat terkejut dan ibu menangis mendengar kejadian mengerikan itu.

Entah mengapa, akhir-akhir ini aku selalu mendengar ayah dan ibu bertengkar, bahkan sesekali mengucapkan kata kasar. Ibu selalu berkata padaku ….

“Sabar ya, Nak. Kalau ada rejeki kita akan pindah dari rumah ini.”

Pindah? Aku sangat menantikannya. Tapi, siapa yang akan nantinya akan merawat rumah ini? Bagaimanpun juga, ini rumah peninggalan kakek dan nenekku tercinta.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Tasya belum juga pulang ke rumah. Dari tadi siang, ia izin untuk bermain di rumah temannya. Ibu sudah mencari keluar rumah untuk menjemput Tasya. Namun, ia bahkan tak ada dirumah temannya. Ibu terlihat sangat khawatir dan mencemaskan Tasya.

“Dar, coba kamu cari di rumah Pak Darman. Barangkali, Tasya bermain disana,” perintah ibu padaku.

Karena rumah pak Darman saat itu masih tahap pembangunan, jadi terkadang sesekali kami bermain disana. Memang, cukup berbahaya, namun itu sangat menyenangkan untuk anak-anak seusia kami.

“Tidak ada di sebelah, Bu. Dara juga sudah tanya ke Kang Duloh, ia tidak melihat Tasya bermain atau berkeliaran di sana.”

“Aduh, kemana ya anak itu? Tidak biasanya jam segini belum pulang, mana mau magrib begini,” ujar ibu cemas.

“Bu, Bu! Ini Neng Tasya sudah ketemu!”

Terdengar teriakan teh Nining dari lantai dua dan ia datang menghampiri kami sambil menggendong Tasya dengan terburu-buru.

“Tadi, saya lagi angkat jemuran diatas, Bu. Saya kaget di atas ada Neng Tasya sedang duduk melamun sendirian!” seru teh Nining dengan nafas yang masih terengah-engah.

“Tas! Tasya, kok kamu bisa diatas, Nak?”

Tasya hanya menatap ibu dengan tatapan kosong. Ia tak bicara sepatah kata pun, kami semakin khawatir karena setahu kami dia tidak pernah berani ke lantai dua sendirian baik siang apalagi malam.

“Ning, tolong ambilkan air putih hangat untuk Tasya, cepat!”

“I-Iya, Bu.”

Ibu terlihat mendoakan air yang di bawakan teh Nining lalu diberikan pada Tasya, seketika ia langsung memeluk ibu dengan spontan dan menangis.

“I- buu, Ibu kemana saja dari tadi, aku panggil-panggil Ibu, Kakak, Teh Nining, semuanya tak ada yang mendengar,” ucap Tasya lirih.

“Kami semua ada di rumah Nak, kami mencarimu sepanjang hari!”

“Aku takut, Bu. Ada pe-perempuan yang mengajakku ke atas, Tasya kira Teh Nining, ternyata setelah sampai di atas, dia orang lain. Tasya takut, Bu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status