Part 7
Bujukan dan juga rayuan dari Barana akhirnya meluluhkan hati Alice, untuk meminjamkan uang tabungannya bagi pengobatan Janis.
Bukannya berterima kasih, Bram dan juga istrinya, Anisa malah berkata jika sebenarnya uang pinjaman tersebut jauh dari kata cukup.
Alice hanya terdiam, saat ia mendengar ucapan kedua kakak iparnya. Dalam hati ada penyesalan karena telah membantu keduanya. Tetapi saat ia melihat kondisi Janis, rasa sesal itu mendadak menguap begitu saja.
"Lice … bisa tambahin tidak uang pinjamannya? Nanti Mas ganti setelah penjualan tanah di daerah S laku." Bram mencoba membujuk Alice, sambil menghitung uang yang baru saja di serahkan oleh adik iparnya tersebut.
Belum sempat Alice menjawab, tiba-tiba terdengar ponsel Bram berbunyi, ternyata sebuah pesan masuk dari Mariam.
[Bram, jangan lupa yang lima juta untuk Ibu. Kamu titip Anisa nanti ya!]
[Iya Bu … nanti aku titipkan ke Anisa. Sekarang masih ada Alice di sini.] Bram segera membalas pesan dari Mariam.
Annisa menoleh ke arah suaminya dan bertanya, "Dari siapa, Mas?"
"Ibu."
"Ooh."
Alice memalingkan wajahnya kembali ke arah keduanya. Mengingat jam besuk sudah habis, ia pun pamit pulang kepada Bram dan Anisa.
"Mau kuantar, Lice?" tanya Bram menawarkan diri.
"Tidak usah Mas, terima kasih." Alice menolak dengan halus tawaran Bram.
"Aku serius. Ada yang ingin aku bicarakan lagi denganmu dan Barana." Bram berdiri dan berhadapan dengan Alice yang telah bersiap untuk pulang.
"Aku bawa motor, Mas. Jika Mas Bram ingin bertemu dengan mas Bara, coba hubungi dia dulu. Khawatir dia belum tiba di rumah." Alice tersenyum, lalu menoleh ke arah Janis yang mulai tertidur pulas.
"Lice, apa kamu tidak bisa tambahkan lagi uang pinjaman untuk kami? Kami sangat memohon bantuanmu, Lice." Anisa tiba-tiba ikut bicara.
"Maaf Mbak Anis, uang tabunganku sudah tidak ada lagi. Itupun sebenarnya uang tabungan untuk mengikuti program hamil." Alice menjelaskan dengan sedikit berbohong.
Sebenarnya ia masih memiliki tabungan, tapi entah mengapa hati kecilnya menolak untuk kembali membantu kedua kakak iparnya tersebut.
"Tabungan untuk program hamil? Gak usah buang uang, Lice. Sekali mandul ya tetap saja mandul!" cetus Anisa kesal, karena permintaannya tidak dituruti oleh Alice.
"Iya Lice … untuk apa kamu bersusah payah nabung demi melakukan hal yang tidak pasti. Coba bayangkan, sudah membuang banyak uang tapi tidak juga hamil, apa tidak menyesal kamu?" Bram ikut menambahkan ucapan istrinya.
Alice hanya tersenyum samar. Hatinya kembali sakit, manakala mendengar ucapan kedua kakak iparnya barusan.
"Tolong ya, Lice … bantu kami untuk mencari kekurangannya." Anisa terus membujuk Alice.
Akan tetapi Alice dengan tegas kembali menolak dan segera berlalu dari dalam ruangan kamar inap Janis.
"Dasar pelit! Malah langsung pulang begitu saja, bukannya mendengarkan ucapanku sampai selesai." Anisa mencebikkan bibirnya ke arah pintu.
"Udah Mah … uang segini juga sudah cukup banget loh! Nih, kamu kasih Ibu lima juta. Buat kamu dua juta aja ya." Bram memberikan uang sebesar tujuh juta dan memasukkannya ke dalam amplop.
"Gak mau! Aku mau sama kaya Ibu. Enak saja, Ibu dikasih lima juta, istrimu sendiri hanya dua juta." Anisa terduduk di sofa dengan perasaan kesal.
"Ya sudah nih, kamu lima juta juga. Sudah sana, kamu pulang. Ibu sudah nungguin uangnya." Bram segera memasukkan sisa uang di tangan ke dalam amplop, dan memasukkan ke dalam sakunya.
Tanpa mereka sadari, sebenarnya Alice masih berada di balik pintu kamar dan mendengar percakapan mereka semua.
'Jadi uang yang diperlukan untuk biaya pengobatan Janis tidak sebesar itu?'
Tiba-tiba pintu kamar terbuka lebar. Alice maupun Anisa yang membuka pintu kamar, sama-sama terkejut.
"Loh ngapain kamu masih di sini, Lice? Kamu menguping pembicaraan kami, ya?" selidik Anisa khawatir.
"Menguping? Untuk apa aku menguping pembicaraan kalian? Memangnya ada hal penting apa, sampai aku harus menguping segala." Alice terlihat tenang saat mengatakan hal tersebut.
"Terus kamu ngapain berdiri di depan pintu gitu?"
"Kunci motor tertinggal di ranjang Janis. Makanya aku kembali lagi ke sini. Permisi." Alice pun masuk kembali ke dalam kamar dan berpura-pura mencari kunci motornya.
Bram dan Anisa hanya terdiam dan saling berpandangan. Keduanya khawatir jika Alice mendengar percakapan mereka.
"Ahaa, akhirnya ketemu juga!" seru Alice berpura-pura, sambil mengacungkan kunci yang di maksud.
"Ssst … jangan keras-keras! Suaramu nyaris membangunkan Janis dari tidurnya!" protes Anisa pada Alice.
"Uups … maaf!" Alice segera menghampiri sofa tempat keduanya duduk.
"Sudah sana pulang, Lice. Nanti Barana khawatir loh." Bram tersenyum sambil membujuk Alice untuk segera pulang.
"Mas Bram lembur."
"Ooh, ya sudah pulanglah, agar kamu bisa beristirahat." Anisa menimpali ucapan suaminya.
"Ok Mbak. Oh iya setelah kupikir-pikir, sepertinya uang 50 juta itu biar aku saja yang setorkan ke rumah sakit deh. Mana uangnya sini, biar kusetorkan." Tangan Alice menengadah ke arah Bram, untuk meminta uangnya kembali.
"Eeh .. gak bisa gitu Lice! Kamu gak tahu urusannya. Lagi pula, kamu itukan bukan orang tua dari pasien, nanti ditanya macam-macam malah bingung jawabnya loh!" tolak Anisa tegas seraya memandang ke arah Bram.
"Loh emang harus orang tua pasien yang bisa membayarkan uang pengobatan? Semua juga bisa loh, Mbak. Mana uangnya, sini biar aku saja yang setorkan." Alice tetap memaksa meminta uangnya kembali.
Anisa dan Bram yang sudah buntu, akhirnya duduk terdiam. Tiba-tiba Bram ada ide. Ia pun segera berkata, "Baiklah jika itu maumu. Sebentar ya, akan kuhubungi Barana dulu."
"Silahkan saja. Aku akan tetap menunggunya."
"Bram segera menghubungi Barana dan menjelaskan semuanya, saat sambungan telepon sudah tersambung.
"Mana Alice?"
Bram segera memberikan ponselnya kepada Alice. Senyum liciknya mengembang, manakala melihat wajah Alice berubah.
"Iya Mas … baiklah." Alice pun mengakhiri sambungan teleponnya dan memberikan kembali kepada Bram.
"Bagaimana Lice?" tanya Bram berpura-pura khawatir.
“Mas Bara yang akan membayarnya.” Alice menjawab dengan lirih. Hatinya mulai emosi, karena ternyata suaminya juga bersekongkol dengan kakaknya.
"Baiklah, kalau begitu aku pulang saja." Alice pun segera berlalu dari hadapan keduanya.
Saat perjalanan pulang, ponsel Alice terus berdering. Saya tak ambil pusing, karena tahu pasti yang menghubunginya adalah Barana.
'Tega kamu, Mas! Sudah membohongi aku perihal semua ini. Uang itu adalah satu-satunya harapanku, untuk dapat memiliki anak. Tapi kau hancurkan semuanya dengan seketika!'
Tangis Alice pecah, suaranya tenggelam bersama deru kendaraan yang berpacu di jalan raya.
Setibanya dia di rumah, ternyata Barana sudah tiba terlebih dahulu. Dengan muka masam, suaminya menatap tajam ke arah Alice.
"Kamu punya pikiran nggak sih?! Kalau tidak mau meminjamkan uang tersebut, bilang dari awal. Bukannya malah mau meminta uangmu kembali seperti itu. Bikin malu saja!" hardik Barana penuh emosi.
***
Part 8Usai keributan di malam itu, Alice mendiamkan Barana. Bukannya membujuk atau meminta maaf kepada sang istri, pria itu malah tetap bersikukuh dengan pembenarannya. Barana tidak mengetahui jika saat itu Alice telah mengetahui semuanya. Kemarahan Alice kian memuncak, manakala operasi Janis berjalan gagal. Gadis kecil itu kehilangan banyak darah dan meninggal dunia pasca operasi. Bram dan juga Anisa malah menyalahkan Alice, karena tidak membantu meminjamkan uang kembali kepada mereka. Sehingga tidak dapat memberirkan pengobatan yang layak untuk Janis.Ingin rasanya Alice berteriak dan mengeluarkan semua yang ia ketahui selama ini. Namun karena masih suasana duka, Alice pun menahan diri untuk tidak berkomentar apapun.Saat pemakaman, Alice tidak diperbolehkan mendekati area pemakaman. Ia memilih melihat dari kejauhan dengan hati menahan perih dan juga rasa sakit hati.Air matanya tiada henti menetes. Membasahi pipinya yang halus dan lembut, serta sedikit tirus. Ya, sejak ia selalu
Part 9Usai kejadian malam itu, Barana semakin perhatian kepada Alice. Ia tidak ingin kejadian dimana Alice mencoba bunuh diri menggunakan pecahan gelas, kembali terjadi.Meski berulang kali sang ibu mengatakan bahwa itu hanyalah akal-akalan Alice, namun ia tetap mengkhawatirkan hal itu."Kita ke dokter ya?" Barana bertanya sekaligus meminta kepada Alice dengan sangat.Alice menggelengkan kepalanya perlahan, menolak permintaan Barana barusan. Baginya semakin hari, dirinya semakin tidak bersemangat menjalani hidup. Hal itu dikarenakan rasa penyesalan atas kematian Janis, keponakan Barana. Meski akal sehatnya terkadang mengingatkan akan sikap dan perlakuan kedua orang tua Janis, namun tetap saja rasa penyesalan itu selalu menghantui dirinya.Barana membelai pucuk kepala Alice dengan lembut. Kemudian pria itu berkata, "Apa yang kamu pikirkan?"Alice kembali menggelengkan kepalanya. Ia menatap ke arah jendela kamar, berusaha sekuat tenaga untuk tidak melihat ke arah sang suami."Alice …
Part 10Keberadaan Atun di rumah Alice cukup membantu. Tidak jarang gadis itu suka meminta para tamu yang datang menjenguk Alice untuk tidak berlama-lama berada di rumah itu. Atun juga mengatakan bahwa majikan perempuannya itu masih membutuhkan waktu untuk beristirahat agar cepat pulih dari sakitnya.Setelah berada di rumah hampir dua minggu lamanya, kesehatan Alice pun kembali pulih seperti sedia kala.Hari ini adalah hari pertama Alice masuk kantor. Selama di rumah dia juga sempat menolak kedatangan Kania dan juga beberapa rekan kerja lainnya yang datang menjenguk.Saat itu yang ia butuhkan hanyalah ketenangan dan juga beristirahat dengan nyaman, tanpa ada yang mengganggunya sama sekali. Kedatangan Bram dan Anisa ke rumahnya juga sempat ia tolak beberapa kali. Sehingga memicu pertengkaran kembali di antara mereka bertiga.Akan tetapi Alice mengacuhkan hal tersebut. Baginya, dukungan dari Barana adalah yang paling utama dan ia butuhkan.**"Tun, kami berangkat kerja dulu. Kalau ada
Part 11Suasana di restoran itu mendadak menjadi hening. Alice yang shock mendengar ucapan Sarah, berusaha mengendalikan dirinya untuk tetap bisa tersenyum.Barana yang melihat sikap Alice, segera menggenggam tangannya kemudian berkata, "Aku akan tetap mendampinginya untuk menjadi seorang wanita yang sempurna."Alice menoleh ke arah Barana. Sentuhan hangat dari tangan suaminya itu membuat ia menjadi lebih baik dan mengendalikan hatinya yang sempat down.Sarah tersenyum mengejek. Pandangannya terus mengarah ke Alice, memindai setiap inchi bagian tubuh perempuan yang ada di hadapannya saat ini.Alice mengulurkan tangannya, mengajak Sarah untuk berjabat tangan. Namun tangannya diraih oleh Barana, sehingga membuat ia batal bersalaman.Alice menoleh, lalu Barana menggelengkan kepalanya. Senyum mengejek di bibir Sarah tak lepas sedetik pun. Matanya menatap tajam ke arah Alice lalu beralih ke Barana.Mereka bertiga diam sejenak, begitu pula dengan orang-orang di sekeliling mereka. Hingga sua
Part 12Setelah malam itu hubungan Barana dengan Alice semakin memburuk. Barana yang tidak menyukai ucapan Alice malam itu, mengacuhkannya selama beberapa hari.Sikap Barana yang mengacuhkan dirinya justru malah semakin membuat Alice yakin untuk berpisah dengan pria itu. Cacian dan juga hinaan keluarga Barana kepadanya, membuat hatinya tidak lagi mentolerir akan perbuatan mereka semua.Terlebih sikap Bram dan Anisa pasca kematian putri mereka, yang terus saja menyalahkan Alice. Seolah semua yang terjadi adalah kesalahannya.Saat ia jatuh sakit beberapa waktu lalu, keluarga Barana tidak ada satupun yang merasa bersalah atau bersedih. Justru mereka menganggap sakitnya itu hanyalah rekayasa, untuk menarik perhatian suaminya."Sampai berapa lama kamu akan bersikap seperti ini?" tanya Barana suatu malam kepada Alice yang tengah berkutat dengan laptopnya.Alice bergeming, matanya tetap mengarah kepada layar laptop dihadapannya. Bahkan ketika mendengar Barana menghela nafas kasar pun, Alice
Part 13Kejadian bulan lalu membuat hubungan antara Barana dengan Mariam semakin memburuk. Alice terus mencoba untuk memperbaiki hubungan dengan sang ibu mertua, namun hasilnya tetap nihil.Mariam terus bersikeras dengan sikapnya, tidak akan menerima Barana selama masih berumah tangga dengan Alice. Dalam hatinya sudah bersumpah, tidak akan mau bertemu dengan keduanya sampai mereka berdua berpisah.Perseteruan yang sudah memakan waktu hingga tiga bulan lamanya, membuat Alice menjadi semakin resah. Berulangkali ia mencoba meminta Barana untuk menceraikannya, namun pria itu pun tetap bersikukuh dengan pendiriannya."Mas … dalam agama pun tetap ibumu yang lebih utama. Pergilah temui Ibu, minta maaflah dan turuti kemauannya." Alice membelai lembut pucuk kepala suaminya.Hatinya luluh lantak akibat pertikaian mereka. Meski dirinya memang sempat ingin berpisah, tetapi itu hanyalah keinginan emosional sesaat.Barana tetap terdiam, matanya menatap langit-langit kamar. Mencoba mencerna semua uc
Part 14 Barana mengusap kasar wajahnya dengan keras. Salah satu tangannya yang lain mengepal, menahan amarah. Sempat ia mendengar suara tawa dari seberang sana, yang membuat giginya bergemeretak karena kesal.Setelah mengatur nafasnya perlahan, Barana kemudian menjawab, "Apa aku harus mencuri, demi menikahi seorang janda, Bu?"Mariam yang mendengar jawaban dari Barana, langsung menghentikan tawanya. Ia pun segera menimpali dengan nada penuh rayuan."Kamu tidak perlu mencuri, Bar. Mintalah kepada Alice, katakan padanya jika kamu meminjam uang tersebut untuk keperluan yang lain. Jangan kau katakan jika uang itu untuk melamar Sarah, bisa habis nanti kau dimaki olehnya." Gelak tawa Mariam kembali terdengar saat mengatakan hal tersebut."Alice sudah tidak lagi memiliki uang, Bu. Tabungannya telah habis untuk dipinjamkan ke mas Bram waktu itu. Hingga saat ini, mas Bram belum sama sekali mengembalikan uang tersebut." Barana tersenyum sinis. Seolah senang karena dapat menyerang kembali kata-
Part 15Kedatangan Alice ke acara pernikahan suaminya mengejutkan banyak orang yang hadir di sana. Terlebih saat Alice memberikan ultimatum, jika keduanya tidak bisa tinggal di rumah yang saat ini ditempati oleh dirinya. Hal itu dikarenakan rumah tersebut adalah murni hasil dari jerih payahnya sendiri sebelum menikah.Ia juga menjelaskan jika pernikahan kedua Barana sudah seizin dirinya. Bahkan saat Mariam meminta mahar sebesar 50 juta pun, dirinya mengetahui dan menolak untuk membantunya.Barana hanya menunduk menahan malu. Ia tahu jika saat ini Alice tengah marah besar dengan semua ini. Penghasilannya yang hanyalah seorang SPV di sebuah perusahaan property, sangat tidak sebanding dengan penghasilan Alice yang merupakan seorang Manajer di sebuah perusahaan kontraktor. Mariam menahan diri untuk tidak emosi, ia tertunduk lesu dan malu. Sesekali dirinya melirik ke arah Indah yang mimik wajahnya dipenuhi dengan rasa terkejut.Wajah Sarah yang sedari tadi sumringah atas pernikahannya, m