Share

PART 8

P.O.V Metta

 Seperti yang disarankan Rima, hari ini aku mengunjungi rumah ibu mertuaku. Sengaja aku tak mengajak mas Bimo karena acaraku hari ini sebenarnya memang bukan ke rumah ibu, melainkan ingin membahas sesuatu dengan salah satu sahabatku yang seorang pengacara. 

 

 Saat sampai di rumah ibu, rupanya mbak Norma, mbak Nani dan anak-anaknya sedang berada di sana.

 

 "Nggak sama Bimo, Met?" tanya mbak Norma menyambut kedatanganku. 

 

 "Enggak, Mbak," aku menggeleng, lalu menyalami mereka satu per satu dan bergabung di ruang tengah itu.

 

 "Bimo kemana memangnya?" giliran mbak Nani yang bertanya. 

 

 "Mau ada acara sebentar tadi katanya. Nggak tau kemana, Mbak," bohongku. Nggak enak juga mengatakan kalau mas Bimo di rumah saja sementara aku di sini.

 

 "Kamu bawa mobil sendiri, Met? Hebat kamu, sudah bisa nyetir?" Ibu yang kemudian berkomentar dengan kemampuanku menyetir.

 

 "Baru sebulan ini aku belajar nyetirnya kok, Bu," kataku.

 

 "Wah hebat dong sudah bisa kemana-mana sendirian sekarang," ucap ibu lagi. Aku hanya tersenyum menanggapi itu. 

 

 Dari dulu mereka memang baik padaku. Di keluarga ini aku selalu merasa beruntung memiliki ibu mertua dan para ipar seperti mereka. Namun sekarang, aku akan menyelidiki semuanya. Apakah mereka benar-benar baik atau hanya sedang mengenakan topeng saja untuk menutupi borok mas Bimo?

 

 "Harusnya kalau mau ke sini nggak usah bawa oleh-oleh begini, Metta. Kayak ke rumah siapa aja lho kamu ini." Ibu kembali memulai pembicaraan lagi.

 

 "Cuma buah-buahan aja kok, Bu," sahutku sekenanya.

 

 Sampai di sini semuanya masih nampak wajar. Sikap mereka masih sama dengan sebelum-sebelumnya, baik dan perhatian padaku. Hingga akhirnya aku putuskan untuk mencari cara untuk memancing pembicaraan tentang Linda dan mas Bimo.

 

 "Rame ya Mbak, coba kalau mas Bimo tadi ikutan," celetukku tiba-tiba memperhatikan anak-anak kami yang berlarian ke sana kemari di ruangan itu.

 

 "Iya, kenapa tadi nggak diajak sekalian?" ujar mbak Norma.

 

 "Kayaknya mau ada acara keluar sih. Nggak tahu mau kemana," kataku sambil mengedikkan bahu. Lalu kulihat mbak Nani dan mbak Norma saling pandang sekilas. Meskipun begitu aku masih sempat melihat ada tatapan aneh diantara keduanya. 

 

 "Coba Seno masih ada ya? Keluarga ini pasti tambah rame kalau kumpul," celetukku lagi. Dan demi Tuhan memang aku sengaja mengatakan itu. 

 

Mendengar nama Seno kusebut, ibu yang duduk di sebelahku langsung bereaksi.

 

 "Kamu benar, Met. Kalau Seno masih ada pasti lebih rame ya?" Aku pun mengangguk setuju. 

 

 "Ngomong-ngomong, Bu, istrinya Seno si Linda itu sekarang kabarnya gimana ya?" tanyaku tiba-tiba yang aku sungguh yakin membuat tiga wanita di sekitarku itu terlihat saling lirik.

 

 "Linda? Dia baik-baik saja  kok, Met. Kadang suka ke sini juga," sahut mbak Nani sepertinya mencoba menyamarkan keterkejutan mereka. 

 

 "Oya? Apa belum menikah lagi sampai sekarang, Mbak?" tanyaku.

 

 "Kalau itu aku ... nggak tahu, Met." Mbak Nani bilang tidak tahu tapi wajahnya tak bisa dibohongi bahwa dia mengetahui sesuatu.

 

 "Sepertinya sih belum ya, Bu? Iya kan, mbak?" Mbak Nani menoleh bergantian ke arah ibu dan mbak Norma seolah dia takut menjadi tersangka yang salah ucap sendirian. 

 

 "I-ya sepertinya belum sih. Kalau sudah kita pasti diundang," kata mbak Norma membenarkan, tapi dengan kalimat yang sedikit terbata. Sementara ibu nampak hanya mengangguk saja.

 

 "Oiya, tadi ibu sudah masak opor kesukaanmu lho, Met. Ayo kita makan dulu aja yuk," ajak ibu kemudian. Sepertinya dia tak ingin pembicaraan soal Linda menjadi semakin panjang. Aku menduga itu karena saat ini masih lumayan jauh dari jam makan siang. 

 

 "Iya yuk, Met," timpal mbak Norma. Lalu semuanya pun bersiap menuju ruang makan. 

.

.

.

 Aku selalu yakin Tuhan selalu tidak suka saat ada hambanya yang didzolimi oleh sesamanya Maka Dia pun selalu membuat jalan bagaimana semua kebohongan itu lambat laun akan terbongkar. 

 

 Saat kami telah menyelesaikan makan siang yang kepagian itu, tiba-tiba seorang perempuan dengan senyum riangnya memasuki ruang tengah sambil menggandeng tangan mungil seorang bocah perempuan. 

 

 Namun senyum ceria itu seketika lenyap saat pandangan matanya bertumbukan denganku yang juga sedang terkejut menatapnya. 

 

 "Eh, ada mbak Metta," ucapnya gugup. Dan kedatangannya yang tiba-tiba itu rupanya juga membuat suasana tegang luar biasa di ruangan itu. 

 

 "Eh, Linda. Kok ke sini nggak kabar-kabar dulu? Naik apa tadi?" Mbak Norma yang lebih dulu berdiri untuk menyalaminya. Sementara kepalanya celingukan seolah sedang mencari-cari seseorang di belakang Linda. Mungkin dia takut mas Bimo datang bersama wanita itu.

 

 "Iya mbak. Tadi habis diajak jalan-jalan sama teman, lalu pulangnya aku minta diantar mampir ke mari," jelas wanita itu. Kemudian dia mulai berkeliling untuk menyalami kami semua. Namun sepertinya dia semakin salah tingkah karena aku sengaja memandanginya dari ujung rambut sampai ujung kaki dan memperhatikan setiap gerak geriknya. 

 

 "Eh emmm, mbak Metta sendirian ke sini? Nggak sama mas ... Bimo?" tanyanya gugup. 

 

 "Iya sendirian, mas Bimo nggak ikut. Dia di rumah," jawabku singkat. 

 

 "Oh." Lalu dia pun mulai duduk. Namun sepertinya ibu yang kepanasan dengan kedatangan Linda. Karena belum ada beberapa detik wanita itu duduk, ibu sudah mengajaknya bangkit lagi. 

 

 "Makan dulu aja yuk, Linda. Kita semua barusan sudah makan lho. Tinggal kamu yang belum. Ayo, ibu temani di belakang."

 

 Wanita tua itu sampai menggandeng tangan Linda agar dia mau segera berdiri mengikutinya ke dalam. Sungguh pemandangan yang sangat aneh menurutku. Dan tentu saja aku bisa merasakan semua itu. 

 

 Merasa masih ingin terus bermain-main dengan mereka, aku pun mulai mempertanyakan bocah yang bersama Linda tadi. 

 

 "Kata mbak Nani tadi Linda belum menikah lagi setelah Seno meninggal. Tapi kok itu dia sama anak kecil? Anak siapa ya?" tanyaku.

 

 "Oh itu, anak itu anaknya Seno, Met." 

 

 "Anaknya Seno?" Dahiku sontak berkerut. "Maksudnya, Linda mengandung saat Seno meninggal?" tanyaku lagi.

 

 "Iya begitulah. Dia sedang mengandung 2 bulan saat Seno meninggal waktu itu. Tapi dia tidak tahu," jelas mbak Nani. 

 

 "Kasihan ya," gumamku. Tapi soal ini sepertinya mereka tidak berbohong. Wajah anak tadi memang mirip sekali dengan bentuk wajah Seno maupun mas Bimo. Pantas saja kemarin Mas Bimo sempat pucat saat kubercandai wajah anak itu mirip dengannya. 

.

.

.

 Penasaran dengan apa yang dilakukan ibu mertuaku dengan Linda di dalam, aku pun berpamitan untuk berpura-pura ke belakang. Dua kakak iparku nampak sedikit panik saat aku bergegas nyelonong begitu saja ke dalam rumah. Sempat kulihat mereka berdua saling berpandangan mengisyaratkan sesuatu. Aku hanya pura-pura saja tidak melihat.

 

 Saat sampai di ruang makan, ternyata aku tak mendapati seorang pun di sana. Karena semakin penasaran, aku pun berbelok ke ruangan lain untuk mencari ibu dan Linda. Hingga akhirnya kutemukan juga keduanya sedang berdiri mengobrol di serambi dengan berbisik-bisik. 

 

 Perlahan aku segera mendekat mencari posisi terbaik untuk mencuri dengar pembicaraan mereka. 

 

 "Sebaiknya kamu jangan sering ke sini dulu setelah ini, Lin. Ibu khawatir semua rahasia ini akan terbongkar. Kamu harus jaga nama baik Bimo dan keutuhan rumah tangganya dengan Metta." 

 

 Aaaaah, jadi benar kan dugaanku bahwa mereka semua memang telah bersekongkol membohongiku.

 

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Lie Miang
jadi malas baca buku koin mahal
goodnovel comment avatar
tjahyani busono
menarik juga
goodnovel comment avatar
Yulia Alfisyahr
bgus ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status