Jalan utama dipadati oleh biawak---reptilia karnivora berukuran lebih kecil dari komodo dan termasuk kadal berukuran sedang yang berjalan dengan dua kaki belakangnya. Jalanan utama juga dipenuhi oleh unicorn dan burung merpati yang beterbangan kesana-kemari di langit Ibukota.
Tidak sedikit pula, Bidadari atau Bidadara dan ras lain kaum Bangsa Kahyangan yang juga sibuk beterbangan dengan mengepakkan sayap mereka untuk mengerjakan tugas mereka masing-masing.
“Tidak ada yang berubah disini. Suasana pagi hari di Ibukota masih sama seperti dulu, ramai dan sibuk,” tukas Klevance setelah mengamati suasana yang terbentang di hadapan pandangannya.
Setelah melewati jajaran biawak, unicorn dan burung merpati hingga para penduduk Ibukota Irish Bangsa Kahyangan yang sedang beterbangan di langit Ibukota, Klevance melintasi beberapa bangunan kota; berbagai lembaga yang mengatur jalannya kehidupan Bangsa Kahyangan, berbagai toko, penginapan, dan sebuah café sebelum akhirnya mencapai alun-alun pusat kota.
Pagi ini terdapat festival tahunan sehingga alun-alun tampak lebih ramai dari biasanya, sekelompok anak hingga orang dewasa berkerumun di pusat alun-alun sambil bersorak-sorai---sepertinya asyik menyaksikan semua.
Tidak ada yang menyadari kehadiran Klevance di alun-alun karena Klevance menggunakan jubah hitamnya sesaat sebelum sampai di alun-alun tersebut. Dia ingin merasakan euphoria Ibukota Irish dengan nyaman tanpa dilihat dari statusnya sebagai Putri pewaris takhta kerajaan.
Klevance mendekat, akhirnya bisa melihat apa yang menjadi fokus perhatian mereka di festival tahun ini. Tepat di tengah alun-alun, seorang Nymph menunjukkan banyak sekali hewan hibrida---hewan yang bisa berubah menjadi manusia---tengah beratraksi.
Sebagian melakukan ataraksi seperti hewan-hewan sirkus dan sebagian lagi menarik perhatian para kaum Bangsa Kahyangan dengan kekuatan sihir mereka yang unik. Ada juga yang mendirikan tiang-tiang dengan sihir mereka---yang unik---yang nantinya akan digunakan untuk menggantung rangkaian lampion untuk puncak acara festival tahunan tersebut.
Para hewan hibrida itu juga mempercantik Ibukota untuk menyambut Festival Musim Semi yang akan berlangsung tak lama lagi. Mereka membuatkan sebuah kolam yang sangat indah dan menawan di tengah pelataran tersebut. Tak heran para penduduk Ibukota mulai dari anak-anak hingga orang dewasa berkerumun.
Klevance ingat saat dirinya masih kanak-kanak dia selalu menanti-nantikan pertunjukan ini setiap tahunnya---sebelum akhirnya dikirim ke tempat pengasingan di luar Benua Isthara. Matanya mencari dan menemukan Nymph hybrid yang mengendalikan semua hewan hibrida ini; seorang pria jangkung dengan badan yang cukup kekar dan berisi serta rambut berwarna keperakan. Paman Jerico, begitu Klevance biasa menyapanya.
Sosok Paman Jerico terlihat mencolok di antara kerumunan. Rona kulitnya pucat, posturnya ringkih, dan bola matanya keruh seperti orang yang sedang tidak sehat. Klevance tidak tahu apakah itu pengaruh usia karena sudah ‘tua’ atau memang penampilan Paman Jerico yang memang selalu seperti itu. Padahal dulunya Paman Jerico merupakan bangsawan yang menjabat kekuasaan tinggi di Lembaga Kenegaraan Bangsa Kahyangan.
Dia pernah menjabat menjadi seorang Wali Kota sebelumnya akhirnya di ambil alih oleh Dewi Aegle dan para Healer---entah kenapa Wali Kota Bangsa Kahyangan digantikan oleh Dewi dan ras yang berkemampuan medis, tapi harus diakui Paman Jerico juga tidak memiliki kemampuan di bidang hukum dan strategi, malahan seperti yang kita ketahui dia merupakan seorang Nymph pengendali hewan hibrida.
Tapi, bisa mengendalikan hewan hibrida adalah kelebihan Paman Jerico. Bahkan di Benua Isthara sekalipun, tidak banyak Nymph yang dapat mengendalikan hewan hibrida. Jadi kalian tidak perlu heran jika Wali Kota di dunia Klevance tidak sesuai dengan kemampuan mereka sebagai Wali Kota sebagaimananya.
Paman Jerico melambaikan tangan dan tersenyum saat menyadari perempuan yang memakai jubah adalah Klevance. Dia menyadari kehadiran Klevance diantara banyaknya penonton saat angin menyingkap sedikit jubah yang dipakainya dan memperlihatkan wajah Klevance walau sesaat.
“Sial! Kenapa Pak Tua itu masih bisa mengenaliku?!” gerutunya.
Klevance berusaha membalas sapaannya dengan tersenyum dan membungkukkan sedikit badannya sebagai tanda hormat dirinya kepada Paman Jerico yang sudah lama tidak dia lihat. Kemudian Klevance meneruskan perjalanan, meninggalkan Paman Jerico.
Dia berjalan melewati kantor Wali Kota. “Huh! Wali Kota, ya?”
Kening Klevance mengernyit setiap kali mendengar istilah itu. Dia merasa sangat konyol dengan kaum Bangsa Kahyangan yang membuat peraturan sebagaimana dunia Manusia yang sangat amat mereka benci dan selalu mereka rendahkan. Klevance bahkan malu menjadi salah satu bagian dari Bangsa yang merendahkan Bangsa lain.
Para kaum Bangsa Kahyangan mulai membuat sistem hukum, kenegaraan, ekonomi dan perdangangan, politik, dan lainnya saat Bangsa Manusia datang ke Benua Isthara. Bangsa Kahyangan dulunya sangat terbelakang dan hanya memanfaatkan kekuatan sihirnya saja tanpa mengembangkan kepintaran dan kecerdasan mereka. Hingga mereka melihat bagaimana cara Bangsa Manusia yang lebih rendah---menurut mereka---dapat menjalani kehidupan mereka secara terstruktur dan terorganisasi. Lalu Bangsa Kahyangan mulai menerapkan sistem yang Bangsa Manusia gunakan sejak saat itu.
Ironis bukan? Manusia yang mereka anggap rendahan, secara tidak langsung malah menyumbang sebuah perubahan dan peradaban besar yang membuat Bangsa Kahyangan semakin maju dan berkuasa. Tetapi karena ego dan gengsi mereka yang terlampau tinggi, sampai kapanpun mereka tidak akan mau untuk mengakui semua perubahan dan peradaban itu berasal dari Bangsa Manusia.
Mereka akan terus mengklaim semua perubahan dan peradaban adalah hasil evolusi para Bangsa Kahyangan dan akan terus menganggap Manusia sebagai bangsa rendahan. Padahal di dunia ini terdiri dari banyak makhluk hidup yang tersebar dan mereka semua memiliki keragaman dengan keunikannya sendiri. Tapi mengapa ada saja bangsa yang menganggap golongan mereka lebih baik dan derajatnya lebih tinggi? Padahal, semua makhluk hidup saling melengkapi dalam keberlangsungan hidup mereka sehari-hari.
Apakah keabadian yang diberkahi oleh para Dewa dan Dewi kepada mereka dan juga kekuatan sihir yang mereka kuasai yang membuat Bangsa Manusia terlihat lebih rendah di hadapan mereka?
“Sungguh tidak tahu malu! Bagaimana mereka bisa hidup nyaman dan tenang dengan muka tebal seperti itu?!” decaknya tak terima.
Klevance tak habis pikir dengan semua ini. Bagaimana bisa mereka tumbuh dan hidup dengan pemikiran Bangsa-Bangsa atau golongan mereka lah yang paling bagus dan paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan bangsa lain.
Klevance sudah sangat muak dengan segala diskriminasi dan senioritas yang terjadi. Dia sudah sangat murka dan tidak tahan atas segala penindasan yang dilakukan kepada Bangsa Manusia dan para Half-Angel hanya karena mereka memiliki gen Bangsa Manusia.
Baiklah jika mereka segitu membenci Bangsa Manusia dan merendahkannya, tapi mereka tidak harus serta-merta berperilaku seperti itu kepada para Half-Angel. Bagaimanapun juga, mengalir gen dan darah dari Bangsa Kahyangan di dalam tubuh mereka itu, bukan? Setidaknya mereka tidak perlu memperlakukan kaum tersebut sebagai kaum hasil dari perbuatan ‘dosa’ dan memandang jijik mereka semua.
Semua makhluk hidup mempunyai perasaan. Kita tidak boleh berlaku semena-mena kepada makhluk hidup apapun. Apalagi sampai membetulkan perbuatan buruk yang kita lakukan kepada mereka yang lebih rendah dengan mengatasnamakan kekuasaan.
Percayalah semua perbuatan yang kita lakukan akan mendapat balasannya nanti. Jika baik, tentu kita juga akan mendapatkan ganjaran yang sangat nikmat, baik di dunia maupun di alam kematian. Dan jika buruk, tentu ganjarannya pun juga akan sengsara, baik berupa karma di dunia maupun karma di alam kematian yang menunggu kita.
Maka dari itu, sudah seharusnya kita hidup dengan penuh kebaikan dan pemikiran yang lebih terbuka agar tidak lagi tersesat dan terkurung dengan pemikiran kolot yang menyebabkan kita mendapatkan ganjaran kesengsaraan nantinya.
“Karma itu ada dan nyata, tolong jangan membuat orang yang tidak bersalah ikut terkena imbasnya,” gumam Klevance frustrasi.
-Bersambung-
*Note* Halo semuanya! Apa kabar? Aku harap kalian baik-baik saja dan semoga hari kalian menyenangkan. Aku ingin meminta tolong kepada kalian jika menyukai ceritaku tolong memberikan ulasan terhadap karyaku ini ya dan tambahkan juga ke koleksi kalian agar tidak ketinggalan update!^^ Feel free untuk memberikan saran dan komentar kalian juga^^ Dan jangan lupa untuk menshare cerita ini jika menurut kalian cerita ini menarik^^ Mohon maaf sebelumnya, jika karyaku ini masih banyak kesalahan ataupun alur ceritanya yang tidak sesuai ekspetasi kalian. Namun, sekali lagi, jika kalian mempunyai saran dan kritikan untukku ataupun karyaku jangan sungkan ya untuk memberitahuku di kolom komentar. Aku akan sangat berterimakasih kepada kalian^^ Aku juga ingin mengucapkan terimakasihku dengan setulus tulusnya kepada para pembaca yang setia membaca karyaku sampai di chapter 4 ini. Kuharap kalian tidak bosan dan menemaniku hingga akhir cerita ini^^ Aku akan berusaha semaksimalku untuk karya ini^^ Salam hangat Chasalla16
Klevance tidak repot - repot berhenti untuk memeriksa apa Dewi Aegle dan para Healer sudah di kantor, sepagi ini kantor Wali Kota pasti masih kosong. “Aku berani bertaruh mereka pasti masih mendengkur di istana mereka,” ujar Klevance sambil tersenyum miring. Wali Kota memiliki istana sendiri dan terpisah dengan Istana Lismore, istana utama. Setiap tahun, kesibukan persiapan Festival Musim Semi selalu memengaruhi para Dewa-Dewi dan penduduk Ibukota, tidak terkecuali dengan Dewi Aegle dan para Healer. Dan saat tertekan, mereka selalu bekerja di cafe sampai larut malam, sambil minum-minum tentunya. Untunglah sejauh ini tidak ada staf yang mengeluh dengan cara kerja Dewi Aegle dan para Healer. Sisi buruknya, hampir selalu dipastikan Dewi Aegle dan para Healer pulang dalam keadaan tumbang. “Hawa nafsu dan hasrat benar-benar musuh terberat dan ternyata setiap makhluk hidup!” tukasnya sambil menggelengkan kepalany
Perut Klevance mendadak terasa dingin, dia sudah membawa pulang seorang Lucifer dari Bangsa Kegelapan dan yang lebih parahnya Lucifer itu mempunyai senjata pusaka Bangsa Kegelapan yang sudah lama hilang dan tidak diketahui keberadaannya oleh siapa pun. Klevance menggeleng pelan untuk menenangkan pikirannya. Perhatiannya kemudian teralih lagi ke senjata pusaka yang dibawa oleh Lucifer itu. “Aegle, apa sekarang kau bisa memberitahuku mengenai senjata pusaka Bangsa Kegelapan yang kau katakan tadi?” Dewi Aegle mendengus kesal mendengar ucapan Klevance yang tidak sabaran. “Hei, Klevance! Perhatianmu memang sangat mudah teralihkan ya! Tapi syukurlah tidak ada yang berubah dari dirimu selama ini.” Dewi Aegle mengembuskan napasnya dan mulai melepas perban yang dililitkan Klevance ditubuh Lucifer itu, memperlihatkan luka-luka yang tersembunyi di baliknya. “Lihat! Lucifer ini terluka sangat parah dan juga sedang sekarat. Jika kau punya hati nurani, bersabarlah menunggu
Klevance kebingungan dalam mencerna semua perkataan Dewi Aegle. “Oh, ayolah Aegle yang benar saja kau! Lalu bagaimana caranya agar Lucifer ini bisa selamat?! Akan sia-sia usahaku menyelamatkan dan membawa dirinya dari Hutan Aurora! Apa kau tahu? Aku sampai harus meninggalkan pedangku demi menyelamatkan Lucifer ini. Jadi tolonglah kau pikirkan cara lain untuk menyelamatkannya!” Dewi Aegle tersentak mendengar ucapan Klevance yang meninggalkan pedangnya di Hutan Aurora. Pedang yang biasa Klevance bawa juga benda pusaka---lebih tepatnya, senjata pusaka pertama yang berhasil diciptakan oleh Ratu Bangsa Kahyangan, ibunya, dan Raja Bangsa Kegelapan, ayahnya sebagai hadiah kelahiran Klevance. “Kau benar-benar sudah gila ya, Klevance? Bagaimana bisa kau meninggalkan pedang yang juga merupakan senjata pusaka di tengah hutan begitu saja? Bagaimana jika pedang itu ditemukan oleh orang asing dan digunakan untuk tujuan yang salah?!” Dewi Aegle mendesis kesal. “Tidak akan a
Baru saja Klevance ingin mencari udara segar di luar gudang tersebut, datanglah segerombol Healer dan Nymph yang ada di Istana Orava menghampirinya. “Ada Baginda Ratu Larissa di ruang tamu utama Istana Orava, Tuan Putri. Beliau menunggu Anda disana dan ingin segera menemui Anda, Tuan Putri Klevance,” ujar mereka serentak dan meminta Klevance agar segera datang ke ruang tamu utama Istana Orava milik Dewi Aegle untuk menemui Baginda Ratu Larissa. Betapa terkejutnya Klevance mengetahui bahwa ibunya sudah berada di kediaman Dewi Aegle untuk menemuinya. “Ah, sial! Aku pasti terlalu lama berada di Istana Orava hingga ibu sendiri yang datang menemuiku disini. Bagaimana kalau dia curiga? Apa yang harus kukatakan padanya?” Klevance bertanya-tanya sendiri di dalam benaknya. Namun dia segera memalingkan kepanikannya dan berusaha tetap tenang di hadapan para Healer dan Nymph yang ada di hadapannya. Tidak boleh ada satupun dari mereka y
Sudah kuduga ini pasti ulah Pama Jerico. Ya… siapa lagi kan? Tidak mungkin Nymph penjaga yang kutemui, bukan? Nymph itu saja tidak punya akses untuk berbicara langsung dengan ibu hingga meminta tolong diriku untuk menyampaikan apa yang ingin dia sampaikan pada ibu. Orang tua satu itu memang ya, tambah bertambah usia tambah tidak bisa diam saja mulutnya. Klevance sedikit geram dengan Paman Jerico. Tahu gitu dia tidak akan menampakkan dirinya di tengah alun-alun Ibukota dan menyapa pria tua itu saat jubahnya tersingkap sekilas. “Lama tak bertemu, Klevance,” sapa seorang pria tua yang muncul dari balik pintu utama Istana Orava. “Memang sudah lama,” jawab Klevance. “Kulihat kau terus bertambah tua hingga tidak bisa membuat mulutmu diam sejenak, Paman Jerico,” ucap Klevance sarkas. “Ya, memang dia semakin tidak bisa mengontrol mulutnya sendiri,” sahut seorang pria lagi yang juga muncul secara tiba-tiba dari balik pintu utama Istana Orava
“Kejadiannya subuh tadi, kan? Tapi kenapa kalian baru menemukannya sekarang? Bahkan kalian tidak bisa menemukan penyebabnya? Apa yang kalian harapkan dari menginterogasiku seperti ini? Percuma saja, kalian hanya membuang waktu dan mungkin saja membuat pelaku yang sebenarnya benar-benar dapat melarikan diri.” Klevance menghujani mereka dengan semua pertanyaan yang menyudutkan Zelus dan Argan. Khususnya Zelus yang sedari tadi juga memojokkannya. “Kalian sedang menyembunyikan sesuatu dariku, ya? Tidak seperti biasanya Ibukota Irish mengutus para elite penjaga Sungai Arthur dengan jumlah sebanyak seperti yang kau sebutkan tadi untuk mengurus sungai dan perbatasan hutan.” Klevance terdiam sebentar, menatap Zelus dalam-dalam. “Mencurigakan sekali. Apa yang sedang kalian semua rencanakan akhir-akhir ini? Dan apa yang sedang mati-matian kalian sembunyikan dariku disini?” Klevance menatap mereka satu persatu. Mereka semua terdiam mendengar Klevance yang sudah sangat
Istana Orava, kediaman Dewi Aegle, Wali Kota sekaligus Dewi yang memberkati kesembuhan dan kesehatan kaum Bangsa Kahyangan. “Apa maksudmu aku juga tidak boleh menetap di istanamu, Aegle?” ucap Klevance meminta penjelasan kepada Aegle. “Bukan tidak boleh Klevance, tapi tidak untuk saat ini. Situasi dan kondisi saat ini sudah cukup runyam karenamu. Kau masih ingat kan mengenai Lucifer yang kau bawa pagi tadi? Setidaknya pikirkan juga nyawa Lucifer itu yang sedang sekarat. Aku tidak bisa mengizinkanmu menetap di tempatku sementara waktu ini demi kebaikan kita bersama. Kumohon mengertilah sedikit.” Klevance mendengus kesal. Dia menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. “Lalu aku akan pergi kemana disaat seperti ini, Aegle?” “Tentu saja ke Istana Lismore, kediaman ibumu,” jawab Dewi Aegle santai. “Sungguh? Setelah semua yang telah kuucapkan dan kuperbuat padanya beberapa saat yang lalu? Aku tidak yakin dia masih menerimaku di temp
Di perjalanan menuju Istana Lismore, kediaman Ratu Larissa, Ratu kaum Bangsa Kahyangan sekaligus ibu Klevance. Klevance mendengus sebal di sepanjang perjalanan Ibukota yang menuju ke tempat kediaman Ratu Larissa. Bukannya apa, wanita berdarah campuran itu harus berjalan kaki ke Istana Lismore yang jaraknya sangat jauh dari Istana Orava---kira-kira sekitar tujuh kilometer jauhnya. Alasan lainnnya yang membuat wanita berdarah campuran satu ini merasa sebal di sepanjang jalan adalah karena dia harus kembali ke Istana Lismore setelah apa yang sudah dia perbuat di Istana Orava sebelumnya---dirinya menyinggung dan menyindir ibunya habis-habisan. Sayap Klevance juga masih dalam tahap pemulihan dan belum bisa digunakan saat ini. "Kenapa aku bisa sesial ini di hari pertamaku kembali?!" desisnya kesal. Klevance mencoba mengepakkan sayapnya untuk memastikan apakah sayapnya sudah dapat berfungsi seperti semula atau belum. Saat dirinya mulai mengepakkan sayapnya