Baru saja Arbia menghenyakkan tubuhnya di kursi kerjanya, ponselnya bergetar.
"Arbi!" Sang editor di jaringan telpon.
"Iya, Pak!" jawabnya tegas. Semenjak kejadian kemarin yang di hotel Buana Arbia merasa canggung dan tidak nyaman dekat dengan bosnya.
"Deadline, siaran langsung di Jl. Cempaka, pusat perbelanjaan mall, terjadi penyanderaan oleh teroris. Kamu cepat kesini, bawa camera perekam!"
Secepat kilat Arbia menyambar cameranya. Tanpa menghiraukan pertanyaan teman-temannya.
Tugas dari bosnya langsung merupakan tantangan tersendiri buat Arbia. Apalagi kalau sudah menyangkut perampokkan dan teroris itu adalah tantangan buat adrenalinnya.
Tidak sampai 15 menit, Arbia sudah memarkirkan motor kebesarannya. Dengan tergesa dia berlari ke arah keramaian. Yang ternyata sudah banyak banget pihak polisi dan wartawan di sana.
Matanya mengerjap nggak percaya melihat siapa yang ditodongkan pistol di pelipisnya.
"Kapte
Harap votenya ya gaes
Dari peristiwa itu, kapten Axelle menyempatkan diri, menjenguk Arka Abianta. Kali ini, dia bukan untuk menangkap seorang pimpinan mafia atau sejenisnya, tapi dia akan menjenguk karena sifat manusiawinya masih berjalan normal. Setidaknya, seandainya, waktu itu tidak ada Arka, mungkin dirinya sudah tak bisa bertemu dengan orang yang baru beberapa hari dipacarinya. Saat ini, Arbia Squilla, sedang memandangi wajah tirus yang mulai pias itu. Sudah hampir setengah jam dia duduk di sisi pembaringan rumah sakit itu. Tapi si empunya tempat tidur, belum juga sadar dari tidur panjangnya. Ada perasaan sedih yang tiba-tiba menyeruak ke hati gadis muda ini. Dicobanya, mengingat kenangan masa kecilnya, yang benar-benar hilang dari memorinya. Padahal, sebagian masa lalunya waktu Sekolah Menengah Pertama, masih jelas terbayang dibenaknya. Ketika pertama kalinya, dia merasa suka pada kakak kelasnya, dan dari semenjak itu, Arbia tidak pernah ingin merasakan pacaran itu se
Pelukan itu seketika terlepas, tatkala terlihat seseorang itu berada tepat di depan pintu ruang rawat Arka Abianta. Baik Arka dan Arbi sama-sama terkejut mengetahui ada orang yang sudah berdiri diujung pintu. Dengan gugup, Arbi beranjak berdiri menyambut kedatangan orang yang sudah sangat dikenalnya itu. Sedangkan Arka sudah kembali bersikap normal setelah beberapa saat menguasai dirinya. Kapten Axelle, berjalan tegap ke arah Arka Abianta, pandangannya lurus ke depan tanpa menghiraukan keberadaan sang kekasih. Wajahnya terlihat begitu angkuh dan dingin. Arbia menelan salivanya, menyadari perubahan sikap sang kekasih. Dia yakin perubahan sikap Axelle dipicu rasa cemburu melihat dirinya berpelukan dengan Arka sang mafia. Tepat di depan pembaringan Arka, sang kapten berhenti, menatap wajah yang terlihat pias itu. Dengan masih bergeming, laki-laki bertubuh six-pack itu mengamati setiap pergerakkan yang dilakukan oleh sang mafia. Seorang mafia yang masih b
"Arbi! Tolong, Headline nya, Please ...! Suara itu terdengar dijaringan line telpon yang tersambung di meja kerja Arbia Siquilla. Suara yang terdengar menyentak dengan nada marah mutlak. Arbia hanya menarik nafas kesal. Bukannya dia nggak mau mengerjakan Headline itu dengan cepat, tapi dia sengaja mengulur waktu untuk mengumpulkan bukti-bukti yang akurat, setelahnya baru dia akan meluncurkan Headline itu ke seluruh media surat kabar lengkap dengan bukti beserta orang-orang yang tersandung di dalamnya. "Dikejar deadline ya,Kak?" sapa OB yang sudah berada di sampingnya, menaruh segelas minuman dingin dan sekotak kecil dissert pesanannya. "Eh, Virza, makasih ya," sambil tangannya merogoh kantung sakunya dan menyelipkan selembar uang kertas berwarna merah ke tangan anak muda itu. Pemuda itu terkesiap dengan muka terkejut, tapi akhirnya tersenyum kalem. "Makasih ya, Kak." balasnya. Arbia hanya tersenyum tanpa menoleh, matanya fokus ke layar laptop yang ada
Hai ini jadwal Headline yang Arbia kerjakan akan diluncurkan. Gadis itu sudah bersiap dari pagi untuk menerbitkan Headlinenya. 5 menit yang lalu, dia mendapat telpon langsung dari sang kekasih, tidak bisa mengantar karena ada tugas mendadak di luar kota. Agak nyesek juga mendengar sang kapten meninggalkannya ke luar kota, meski nanti malam pun kalau tugasnya selesai juga bisa pulang ke rumah. Kapten Axelle, hari ini bertugas menangkap peneror disalah satu rumah petinggi negara yang masih berkaitan dengan kepemilikan senjata tajam dan kasus uang negara. Peneror itu anak dari pejabat itu adalah anak dibawah umur yang masih berusia 8 tahun, dan peristiwa ini sama persis yang dialami Arbia tatkala dia berumur segitu. "Drtttt ..." "Arbi! Apa kamu siap menerbitkan Headline kita hari ini?" "Siap, Pak! Tapi mungkin, Saya sedikit terlambat berhubung kendaraan Saya ada masalah!" seru Arbi menjawab telpon dari bosnya. Dia meliha
"Mama!" Teriak Arka sambil berlari menubruk wanita yang dia panggil mama itu. Pria muda itu mengguncang badan wanita separuh baya yang sedang berbaring di tempat tidur. Ada dokter dan perawat di sekelilingnya. Ada juga asisten rumah tangga yang sudah mengabdi lama di rumahnya. "Bi ...! Mama, kenapa? Kenapa Mama ada di tempat ini?" tanyanya pada asisten rumah tangga mamanya dengan panik. "Iya Den, nyonya sakit. Biar pak dokter saja yang menjelaskannya." jawab wanita yang sudah berumur sekita 50 tahunan itu. "Dok, ada apa dengan Mama, Saya?" Masih dengan kepanikan maksimal, Arka bertanya sama dokter yang entah kapan datangnya di situ, di rumah lamanya. "Nyonya Syailla, mengalami syok ringan, beliau pingsan. Tapi, jangan khawatir untuk sementara kita tunggu kesadaran." jelas dokter itu. "Syok ringan, Dok? Tapi mama, Saya dalam keadaan tidak sadar diri, bahkan kondisinya begitu lemah. Apa iya, cuma syok ringan?" Arka semakin garang melihat sikap d
Ternyata untuk sampai ke tempat di mana, ditemukan titik GPS ponsel Arbia Siquilla, tidaklah mudah. Kapten Axelle harus menempuh waktu yang panjang untuk mencari alamat tempat terpencil itu. Suasana malam yang sudah hampir larut semakin mempersulit pencarian alamatnya. Beberapa kali dia sempat salah jalan dan memutar arah lagi untuk kembali ke tempat semula. Jalan menuju alamat yang dituju harus melewati jalan yang berkelok-kelok seperti jalan kampung yang di penuhi batu terjal. Alangkah jauhnya penculik itu membawa kekasihnya. Apakah ini bertujuan untuk menghilangkan semua bukti yang sudah dikumpulkan Arbia. Hari inipun Headline yang bertajuk Pembunuhan Berantai 15 Tahun Silam, itu batal diterbitkan. Seolah semua sudah direncanakan. Kasus 15 tahun silam ini, sengaja diulas kembali untuk mencari tahu siapa anak dari korban pembunuhan itu. Apakah ini ada hubungannya dengan pekerjaan Arbia? Tidak ada satupun yang tahu bahwa Arbia adalah anak dari korban p
"Kapten-!! Teriakan itu melengking dari mulu Gerald Kailland, tangan kanan kepercayaan kapten Axelle. Bersamaan dengan menggelincirnya mobil sang kapten bersama kekasihnya. Semua anak buah sang kapten berteriak histerus di iringi dengan anak buah geng mafia yang langsung mencoba kabur dari tempat itu. Namun dengan sigap pasukan polisi itu menangkap sisa anak buah Zakaria Lawalata. Di malam yang hanya di sinari cahaya bulan itu, sang kapten bersama kekasihnya Arbia Siquilla terperosok ke dalam jurang yang dalam sekali. Suasana malam yang begitu pekat, tidak bisa memastukan apakah ke dua orang itu masih hidup. Komandan Li bersama pasukan tim inti segera bergerak meminta bantuan untuk melacak keberadaan mobil kapten Axelle yang terperosok di jurang dengan ke dalaman yang tidak bisa di ukur lagi. Malam semakin larut namun usaha untuk mencari mobil beserta yang jatuh ke jurang belum juga mendapatkan hasil. Komandan Li mengerahkan semua pasuka
Di luar ruang unit gawat darurat, baik dari komandan Li dan anak buah kapten Axelle, juga ada keluarga besar dari keluarga kapten Axelle. Mereka menunggu operasi ke dua korban. Mirisnya, tak ada satupun keluarga dari Arbia Siquilla hadir. Entah, gadis muda itu punya keluarga atau tidak. Di dalam ruang operasi itu sudah hampir 2 jam dokter beserta timnya bekerja. Tapi belum ada tanda-tanda kalau pintu ruang operasi akan segera di buka. Sesaat terdengar suara sepatu mendekati ruangan itu. Beberapa anak buah kapten Axelle bergerak cepat di pintu depan. Komanda Li, selaku pimpinan memerintahkan kepada anak buahnya, untuk memperketat penjagaan untuk ke dua korban. Siapapun yang datang menjenguk kapten Axelle dan Arbia harus diperiksa terlebih dahulu. Suara sepatu itu berhenti tepat di depan penjaga. Di periksa sebentar lalu di perbolehkan masuk. Dua orang yang masuk itu adalah Arka dan Praditia. Dia berbicara sebentar dengan Kom