“Ngapain kok lama buka? Nggak sopan sama orang tua!” Belum apa-apa sudah marah. Sama saja dengan Ibu.
“Paman.” Aku mendekat meraih punggung tangannya.
Kakak Ibu ini datang rombongan, yang mau masuk ada tiga orang. Lelaki tua yang mengedipkan mata waktu itu terlihat jelalatan menatapku. Ihh, jadi merinding!
“Kamu ini mau-maunya tinggal di tempat begini.” Melihat ruangan sempit tempatku tinggal, wajah Paman cemberut. Bisa kuingat, saat kejadian buruk menimpaku Paman termasuk lantang ikut menyalahkan, dan menyebutku anak salah didik.
Aku tersenyum pahit. “Nggak apa, Paman. Silakan duduk.” Aku mengangguk sopan pada yang lain, menunjuk kursi plastik tiga di depan mereka.
“Kami ke sini bukan mau bertamu. Cuma mau sampaikan pesan dari ibumu. Paman ini sudah diserahkan jadi wali kamu ….”
Kudengarkan apa yang disampaikan lelaki paruh baya ini. Katanya Ibu mendapat laporan aku ganggu anak tetangga, yang tak lain adalah Yandi. Mamanya sampai mengirim orang untuk mengabarkan itu pada Ibu, lengakp dengan bukti aku bersama Yandi. Entah bukti yang mana.
“Ibumu tambah sakit hati dengan perbuatanmu ini, Sekar. Tambah kecewa kamu itu tidak bisa jaga sikap.”
Tercabik lagi hati ini mendengarnya. Aku tertunduk diam.
“Ini Rudini, orang yang mau terima kamu lahir batin. Pilihan ibumu!” Aku langsung mendongak, melihat lelaki keriput, kurus, tersenyum-senyum padaku.
“Asal kamu tau, ibumu serahkan pada paman untuk urus pernikahan kalian.”
“Nikah?!” Rasanya aku nyaris pingsan. Ujung meja kupegang untuk seimbangkan badan berdiri.
“Siapa mau nikah, Paman? Sekar nggak mau!“
“Jangan melawan apa yang orang tua atur buat kebaikanmu! Kamu meragukan Rudini ini tidak pantas, hah?!” Mataku kembali dipaksa melihat lelaki yang usianya mungkin 40 atau 50-an ... wajahnya legam dan menua.
Aku nggak mauuuu!
“Dia duda anak dua, umurnya 42, tapi sudah mapan. Punya toko jam di pasar. Hidupmu akan lebih baik, daripada ganggu anak orang yang jelas-jelas ibunya tidak suka sama kamu.”
“Sekar belum mau nikah, Paman!”
“Tidak sopan! Kamu ini memang anak tidak bisa dididik. Tidak punya sopan santun. Apa kamu tidak hargai kedatangan paman ini? Kedatangan kami?! Coba nilai diri kamu itu, Sekar. Masih syukur ada yang mau-“
“Paman! Sekar tahu sudah memalukan keluarga. Sekar tahu semua sudah kecewa. Ibu, Kakak, semua sudah nilai Sekar rendah! Makanya biarkan Sekar tinggal sendiri. Sekar nggak mau merepotkan.”
Aku mundur, menangkupkan dua telapak tangan di dada. “Biarkan Sekar sendiri, paman. Sekar belum mau nikah.”
“Sekar! Kami ini malu mengaku keluargamu!”
“Jadi niat baik kami mau kamu tolak?” Paman melihat wajah kecewa si Rudini, lalu kembali memelototiku. Bola matanya memerah.
Aku mundur saat paman mendekat. Dicengkeramnya lenganku.
“Hargai tamu, hargai mereka!” desis garang di depan muka, sampai cipratan air liurnya terasa menitik di wajahku.
Aku meringis kesakitan, tenaga Paman terasa menggenggam tulang lenganku.
“… tolong bilang Ibu, Paman … Sekar memang nggak mau nikah. Sekar nggak mau ….” Aku membungkuk memohon.
“Sudah! Ini sudah keterlaluan, Komar! Kami batal saja!!”
Lelaki lebih tua memakai peci hitam bicara. Rupanya Paman menjanjikan aku pasti terima lelaki yang ternyata saudaranya itu sebagai suami.
“Katamu calon menantu ibuku baik. Eh, lihat begini mana mau kami. Bisa-bisa mati berdiri Mamakku punya orang macam ini di rumah kami!” Lelaki itu langsung keluar sambil menggerutu, diikuti satu orang di sebelahnya.
“Bang, tunggu dulu. Aku mau sama Sekar. Lihat, dia cantik, muda, Udin langsung suka.” Si Rudini itu mengikuti dua saudaranya keluar.
“Sudah, Din! Cari yang lain saja!”
Perdebatan mereka di luar itu membuatku merinding. Ada yang tetap mendukung maju ada yang memintanya berhenti. Akan kubuat ribut saja skalian kalau mereka maksa!
“Kamu ini memang anak kurang didikan!”
“Paman! Cukup! Jangan ulangi lagi kata yang sama! Aku ini memang anak kurang didikan, jadi jangan urus aku kalau nggak suka. Bukannya kalian malu mengakui? Ya sudah, anggap aja nggak kenal-“
Plak!
Keras terasa telapak tangan itu memukul pipi. Pandangan terasa bergoyang, pipi dan mataku langsung panas.
Aku sempoyongan mencari tempat berpegangan, sampai punggung menempel di dinding.
Allah … hati ini mendidih.
Inikah wajah yang punya aliran darah denganku … tapi bersikap seperti penjajah. Mereka ingin mengatur hidupku sesukanya.
Apa yang salah denganku?
Sejak awal hidup bersama Ibu aku menyadari diriku berbeda. Bukan berbeda secara fisik, tapi perbedaan cara mereka memperlakukanku ….
Terduduk, memeluk lutut, gemetar jari menyentuh pipi yang pedih. Terdengar paman menelepon Ibu dengan speaker agar jelas kudengar.
Aduan Paman membuat Ibu marah. Ya, memang selalu marah, apalagi jika aku benar salah, itu menjadi bahan bakar terbesar memantik api sumpah serapah dari mulut Ibu. Selalu begitu.
Aku sampai tak terpikir merindukan pemilik suara itu.
“Sekar! Dengar kamu! Mel itu ngamuk dengan kelakuanmu, kamu mau rusak Yandi juga, hah?! Sudah ganggu Jordi kamu ganggu yang lain!”
Kututup telinga, tak mau mendengar apa-apa.
“Pokoknya menikahlah sama Rudini, baru ibu mau maafkan kamu!”
Kusumpal kuat kelingking ke lubang telinga, sampai hanya ada tersisa mendengung. Bagus, suara Ibu tak terdengar.
Usai menutup telepon Paman berdiri di depanku.
“Begitu kelakuanmu kalau orang tua bicara?!”
Paman kemudian bilang kalau Ibu akan menyerahkan penuh aku sama si Rudini itu.
Orangnya masih di luar sana, dan sepertinya Ibu sedang telepon calon menantu pilihannya itu, terdengar suaranya memohon-mohon si duda tidak keren menerima dan mau mendidikku.
Oh, Ibu tahukah hati ini meradang ....
“Kami akan siapkan semua, secepatnya di rumah. Kamu beres-beres, nanti dijemput pikap. Tinggal sementara di rumah sampai Rudini sah jadi suamimu.”
Kutahan sekuat mungkin air mata yang akan jatuh. Dada ini menyesak walaupun mereka sudah pergi. Terdiam di tempat, aku memikirkan keras harus apa.
Getaran ponsel di atas kain yang kukerjakan tadi terdengar. Gegas aku bangun menggapainya, lalu duduk di bangku.
Ragu dan gemetar jari menerima kembali panggilan Yandi.
Gara-gara dia ke sini waktu itu mamanya melaporkan semua sama Ibu … apa aku harus menghindari Yandi lagi …?
“Sekar. Sekar?” Tak kunjung kusahuti Yandi terus memanggil dengan nada khawatir.
“Yan …” isak kutahan sebisa mungkin. “Tolong bawa aku pergii,” ucapku kemudian. Tidak ada pilihan. Aku tidak punya tempat meminta tolong selain padanya. Mau ganggu Bu Fris, guruku itu sudah sibuk dengan persiapan acaranya.
“Ada apa, Sekar? Tadi siapa?”
Kujelaskan semua dalam isak, tentang keinginan Ibu juga Paman yang nanti akan menjemputku.
“Sekar, sekarang cepat keluar dari rumah!” Seperti terkejut Yandi segera menyuruhku pergi dengan nada meninggi.
“Aku … aku ke mana, Yan?”
“Keluar aja dulu, pokoknya cepat pergi.”
“I-iya, aku siap-siap dulu.”
“Bawa barang yang penting saja. Nanti bilang kamu di mana, ya.”
Segera menutup telepon. Kusambar pakaian mengisi ransel ukuran sedang, ijazah dan berkas selalu ada di dalamnya.
Selesai.
Gegas aku akan keluar, tapi saat bersamaan sebuah pikap terlihat parkir di depan barak.
Paman?
Rupanya dia bisa menebak, sampai langsung datang lagi begini.
Tanpa bicara Paman berkacak pinggang, menyuruh dua orang mengangkat mesin jahit.
Aku berpura akan menuruti, tertunduk seolah tak berdaya.
Dari berdiri di dekat Paman, makin bergeser, pura-pura mengelus body pikap. Kulirik lelaki mirip Ibu itu tengah menunjuk, menyuruh mereka bawa bangku. Dia lengah. Dan, tanpa ancang-ancang segera kuayunkan langkah seribu.
“Hei! Sekar! Ke mana kamu?!”
Terus lari, aku tak mau menoleh ke belakang.
Aku ini manusia.
Aku punya pilihan atas hidupku.
“Kejar keponakanku itu!” Paman teriak, seperti minta tolong pada orang lain.
Terus lari aku ke arah ke masjid, letaknya di sisi jalan raya, dekat kompleks sekolah TK dan MI. Di sana kutahu ada penjaganya yang bisa aku mintai tolong.
“Berhenti, Sekar!!”
Ayo lawan aku, Paman! Aku ini biasa gerak kaki kayuh sepeda, anggap saja itu latihanku buat lari siang ini.
“Pak ... tolong, Pak. Tolong ....” Napasku megap-megap terasa mau putus begitu sampai di dalam masjid. Tentu itu kuucap setelah beri salam.
Aku langsung ambil posisi di belakang lelaki berjenggot. Akan menjadikannya tameng melawan Paman.
Dua lelaki masuk, lalu Paman dengan napas juga ngos-ngosan.
“Ada apa ini?”
“Saya dipaksa menikah, Pak. Saya nggak mau,” ujarku melapor, dengan suara sedikit gemetar.
Paman dengan tenang duduk di depan bapak yang dipanggilnya Pak Haji. Langsung menjelaskan panjang lebar, mulai dari awal kasusku, sampai keinginan Ibu tadi. Lengkap. Namun, bukan dengan apa adanya. Di semua kalimat ditekankan kalau aku bagai anak paling nakal sedunia. Anak durhaka pada Ibu.
“Mamanya itu janda, berjuang hidup dari nol, eh, saat semua sudah nyaman terpaksa harus dijual gara-gara anak ini!” Mukaku ditunjuknya.
Usai Paman bicara, Pak Haji ini kemudian menegurku halus.
“Nak, orang tua menginginkan yang terbaik buat anaknya, selama tidak melanggar agama ikuti kata ibumu. Doanya akan membuatmu lebih baik.”
“Pak, saya nggak mau nikah. Saya masih mau kerja, Pak. Tolooong … saya nggak mau dipaksa ….” Meratap, aku sujud memohon.
“Anaknya memang begitu, Pak Haji. Tidak bisa dipercaya. Sama orang tua tidak ada sopannya! Pintar bohong! Dia itu sampai disumpah-sumpah ibunya saking marah, tetap saja makin degil! Kepala batu!!”
“Kalau Paman paksa biar aku mati saja!” Berdiri tergesa, aku mundur ke tempat imam biasa memimpin salat, mendekati colokan listrik yang ada dua kabel tersambung.
Pak Haji langsung berdiri, mengucapkan banyak kalimat istigfar dan memintaku mengikuti ucapannya.
Paman juga terlihat menegang, mulut sedikit menganga, ikut berdiri melihatku.
“Lihat saja, kalau berani maksa aku pilih mati!” ujarku meninggi. Ada rasa senang lihat Paman takut pada ancamanku.
“Bapak-bapak. Tolong biarkan anak ini tenang dulu. Nanti akan saya tegur baik-baik, biar dia sukarela pulang sendiri.”
Berhasil!
Tak sampai setengah jam mereka bubar.
Alhamdulillah.
Kesulitan demi kesulitan membuatku tak ingin lagi menangis lama. Meratap dan mengasihani diri, buat apa?
Biarlah Ibu, biarlah semua menjauhiku. Alam bawah sadar ini sepertinya sudah bebal dicerca, dihina, dibuang. Tekanan mereka tak akan lagi mempan.
Aku, Sekar.
Aku ingin jadi manusia merdeka.
Bisa berdaya di atas kaki sendiri.
Bukan terpuruk lemah, hidup dalam jajahan mereka yang mengatasnamakan diri keluarga.
“Makanlah. Habiskan.” Nasi bungkus diberikan Pak Haji, diambil dari sisa jualan istrinya yang baru pulang berjualan keliling. “Terima kasih, Pak.” Mata masih terasa menyipit bekas menangis tadi. Kaki pegal sisa capai lari kencang dikejar Paman, tapi hati sudah melega. Setelah Paman pergi aku menerima telepon Yandi yang khawatir panggilannya tak kunjung diangkat, dia langsung bisa kuandalkan dengan solusinya. “Sama-sama. Kamu itu bapak nilai anak sopan juga cerdas. Tidak seperti yang pamanmu bilang.” Sedikit menunduk, aku tersenyum kecil sambil mengunyah suapan pertama. Ternyata ini nasi gurih, meski lauk sederhana lengkap dengan sambal teri, rasanya sangat enak. “Memang tidak ada anak nakal, Pak. Yang ada anak yang belum diberitahu baik-baik, belum paham. Lihat tadi, Sekar mau bantu a
Dua jam kebersamaanku dengan keluarga ini terasa singkat. Aku benar-benar hanyut dengan suasana akrab dengan mereka, padahal kami baru saja mengenal. “Kamu yakin ini akan pulang, menuruti ibu dan pamanmu?” Ragu-ragu, aku mengangguk kecil atas pertanyaan Pak Haji. “Kalau memang mau menikah, tunggu dulu kabar bapakmu, Sekar. Usahakan mencarinya, biar pernikahanmu tidak batil,” nasihatnya lagi. Pak Haji tadi bilang, kalau beliau dengar kabar terakhir Bapak sudah pulang ke Semarang, kebetulan tanah Bapak di desa seberang Mentaya itu dijual pada saudara Pak Haji, karena anak Bapak sakit. Kebetulan Pak Haji yang bantu urus dulu, masih tersimpan fotocopy KTP Bapak, yang akan jadi titik terang aku mencari kampung asalnya. Alhamdulillah, lari ke sini mungkin sudah jadi petunjuk-Nya untukku. “Terima
“Sebentar.” Menyambar ponselnya dengan tangan kiri Yandi lekas ke kamar mandi, menutup pintu. Senyum, sambil lanjutkan makan kuarahkan kuping mendengar Yandi nge-drama. Dia bilang lagi sakit perut. “Nanti aja lagi Mama nelpon, Yandi mulas, Ma ….” Terdengar mengaduh, sudah bisa kubayangkan mukanya dibuat meringis di depan layar. Kasihan. Dusta Yandi bisa selancar itu demi melindungiku. Senang, tapi ada rasa asing lain di dalam dada. Tak sampai semenit dia keluar dari kamar mandi. Kuhitung ada puluhan kalimat kebohongan keluar darinya tadi, membuat selera makan sedikit menguap. Rasa bersalah menyergap saat menatap wajah itu memerah, tapi usaha senyum-senyum padaku. “Gitu tuh tampangnya kalau habis bo’ong,” ujarku seraya menyudahi makan. Bangun, cuci tangan di kamar mandi.
Tidak sulit mencari. Setelah mampir sarapan soto, dan mengabarkan Yandi tadi langkah sudah membawaku di depan ruko berpintu kaca lebar. Menarik napas panjang diiringi doa aku mendorong pintu kaca. Wajah langsung disergap angin dingin, kuatur napas, adaptasi sejenak dengan hawa baru sebelum menutup pintu. “Pagiii, ada yang bisa dibantu, Mbak?” Salam super ramah dari seorang wanita cantik, yang berdiri dari balik meja panjang. Sedikit tergeragap kuanggukkan kepala. “Pa-pagi, Mbak.” Tadi kukira langsung dihadapkan pada peralatan jahit, baju-baju pajangan, bukan diterima secara resmi begini. Ini seperti ruang kantoran, dinding kaca lebar itu dihiasi tirai lipat mewah warna putih. Aduhh, mendadak badan terasa mengambang tak jelas. Degup jantung mulai tak beraturan.
Hari pertama di tempat kerja, terasa berat karena kulewati tanpa bisa berbagi cerita dengan Yandi. Dia melarangku mengontak sampai dihubungi lebih dulu. Tak ingin membuat masalah aku dengan orang tuanya kupilih fokus pada pekerjaan. Di sini aku sekarang, ruang jahit, letaknya belakang ruko yang terbagi dua lorong. Belok ke sisi kanan adalah ruang khusus pelanggan dan pajangan jas mewah, dengan sewing room minimalis, tampak mewah. Sebelum ke ruang ini aku diajak melihat di sana. Kata Pak Calvin kalau kerjaku bagus akan ada saatnya aku jadi bagian di ruang itu. Semacam motivasi untukku berjuang dari awal ini. Ya, karena kalimatnya itu aku jadi sangat ingin bergabung di tempat kerja yang persis kantor begitu. Jauh beda dengan di sini, hanya ruang luas tanpa sekat, tempat 20 pekerja yang melewatiku malam tadi. Mereka semua adalah penjahit produk merk Calvin juga, tapi berupa cardigan dan blazer. H
“Sekar masih belum selesai?” Tatapan prihatin teman sebelah, melihatku yang masih tegang di belakang mesin jahit. Aku merasa lamban dibanding mereka. “Belum, Mbak,” jawabku lemah. “Maaf kita nggak bisa nunggu, ya.” “Iya, nggak apa, Mbak.” Aku mendongak sambil tersenyum, lalu kembali menggerakkan jari yang terasa mulai kebas. Mereka satu persatu pulang, aku cuma bisa melirik, menahan perasaan cemas akan tertinggal lagi sendiri. Tugas wajib selesai, kalau tidak mungkin aku gagal, dan siap-siap ditendang keluar oleh si Kulkas. Harus tetap fokus. “Belum selesai juga?” Kuangkat wajah, baru menyadari ada lelaki berkemeja putih berdiri tak jauh dariku. Dia ini yang kusebut Kulkas itu. “Belum, Pak." A
“Yandi kah?” tanyaku lagi. Salma menggeleng. "Nggak kenal." Selain Yandi di sini aku nggak punya teman lain. … jangan-jangan Tante Mel ngikutin aku ke sini?! Lekas kutarik kerudung dari rak bawah lemari, bagian yang sukarela dibagi Salma untuk menyimpan pakaianku. Belum juga aku keluar, pintu sontak terbuka lebar tanpa diketuk, dan siapa yang muncul itu membuat jantungku melompat. Tante Mel, dan di belakangnya ada dua anak kos yang melihatku dengan wajah tegang. “Buat apa kamu masih pakai kerudung? Topeng!” “Tante?” “Tutup mulutmu. Siapa sudi dipanggil Tante dengan mulut busuk itu. Kamu pikir bisa nipu banyak orang lagi, hah?! Pakai pura-pura sok
Terulang lagi, sampai di tengah malam pekerjaanku baru selesai. Terdengar ketukan sepatu berhenti membuat napas sedikit tertahan. “Apa kamu sengaja lambat biar nggak pulang?” “I-ini sebentar lagi selesai, Pak.” Aku tak mengangkat kepala. Namun, tangan ini berhenti bekerja, bermaksud menghargai kehadirannya. “Benarkah? Lalu itu apa?” Terpaksa aku mendongak, melihatnya memandangi ranselku yang gemuk di sisi meja. “M-maaf, Pak. Saya dikeluarkan dari kos. Bu Kos mengira saya liar sampai pulang malam selama kerja di sini.” “Pulang pagi,” ralatnya. Aku meringis, menahan wajah panas. “I-iya, Pak. Pulang pagi, jadi mereka kira saya-” “Siapa yang tanya? Kemarin sudah diberitahu, bukan? Kalau lambat lagi kamu tahu konsekuensinya.”