Share

BAB 6

"Billy.... " panggil Selena pada suaminya.

Billy menoleh menghentikan langkahnya. "Ada apa?"

"Aku ingin berbelanja." Selena menengadahkan tangan.

Billy yang langsung merespon mengangkat alisnya, wajahnya tersenyum lebih ke arah meremehkan. "Ini." dia meletakkan sebuah black card di atas tangan Selena, "belanja lah sepuasnya, beli apapun yang kau mau." setelahnya pria berstelan jas itu kembali membalikkan tubuhnya melangkah pergi.

Selena membalas senyum tak kalah menyeramkan, biar saja pria itu berpikir semaunya. Tentang seorang wanita pada umumnya menghamburkan uang dengan berbelanja.

Sedetik kemudian mobil hitam milik suaminya meninggalkan pekarangan. Selena bergegas turun, mendapatkan mobil di garasi rumah mewah itu tidaklah sulit. Bahkan garasi yang bisa dikatakan lebih mirip showroom itu lebih memiliki kelas.

Wanita berambut hitam panjang itu memilih kendaraan classic era 80 an, membelah jalanan kota.

Setelah berpikir panjang, Selena menghubungi pria bernama Mike semalam untuk mengembalikan amplop coklat itu kepadanya.

Selena menepikan kendaraannya di depan sebuah pusat perbelanjaan alias mall. Sebuah pakaian karya designer terkenal yang dipajang pada manequin cukup menarik perhatian. Namun, Selena memutar langkah ke tempat lain, di mana tidak sedikit pengunjung mall bersantai menikmati secangkir kopi.

Selena mendaratkan punggung di kursi yang masih kosong, secangkir kopi hangat pesanannya baru saja tiba.

Tak lama pria bertubuh atletis mengenakan pakaian nyentrik cukup mengalihkan perhatian orang, "Apa kau sudah lama menunggu?" tanya pria itu sembari menarik kursi di seberang meja.

"Tidak, aku juga baru datang." ucap Selena tenang, dia mengeluarkan barang yang merupakan alasan utama mereka melakukan pertemuan ini. "Anda meninggalkannya waktu itu."

Terlihat Mike tertegun sejenak, "Bukankah-"

Selena mengangkat dua alisnya tinggi menunggu kelanjutan kalimat, "Bukankah, aku telah menyelesaikan pekerjaan dengan sangat baik, saat itu. Benarkan, tuan Lewin? dia melanjutkan kalimat Mike yang sempat menggantung.

Mike terkekeh, "Aku tidak paham apa maksud dari ini?!" pria berpakaian orange mencolok itu beralibi.

"Jangan sok polos," Selena menyandarkan punggung pada kursi dengan kaki menyilang. "Aku mendengar apa yang wanita itu katakan saat meneleponmu."

"Baiklah, lebih baik katakan saja inti dari pertemuan ini, nona." Mike tersenyum lebar dia tidak lagi menutupi. Namun, faktanya dia sendiri belum pernah bertemu dengan wanita bayaran itu karena bawahannya yang mengurus orang itu dengan kata lain Selena merupakan wanita pengganti yang terjebak dalam permainannya.

"Aku ingin kita bekerjasama."

"Wah, apa ini. Kerjasama?" ada nada terkejut yang cukup meragukan disertai kekehan kecil.

"Nona Selena Ginn, kau adalah istrinya. Tepatnya adalah istri kontrak. Apa status itu begitu mengganggu?" Mike menatap lekat pada manik mata Selena.

Tidak sulit bagi Mike mencari tahu siapa wanita cantik di hadapannya, setelah kepulangannya dari santap pagi waktu itu, bawahannya mendadak memberitahu wanita sewaan mereka hilang kontak begitu saja.

"Aku tidak datang untuk kau hina, tuan." Selena tersenyum miring. "Bukankah permainan kotormu itu lebih murahan, sayang sekali."

"Ya, tapi kau juga akan segera masuk ke kotoran itu bersamaku bukan?"

"Ya, kau benar." mengingat kata-kata Billy beberapa jam lalu membuat wanita itu mengepalkan tangannya, tekadnya semakin kuat untuk bekerjasama dengan Mike.

Musuhnya dari musuh adalah teman, setidaknya itu adalah kata pepatah yang tepat untuknya.

"Kau bawalah amplop itu bersamamu." kata Mike setelah memeriksa ponselnya yang bergetar dari balik saku, "kita bisa membicarakan ini di lain waktu, aku pergi dulu." Mike celingukan seperti menghindari seseorang.

"Ck! bayaran, ya. Apakah pantas?" Selena memainkan bungkusan kertas berwarna coklat itu di tangannya.

Demi menutupi pertemuan tersebut Selena melangkah ke outlet barang-barang branded, bersenang-senang dengan kartu pemberian Billy pagi tadi, "Memang ada hidup menyenangkan di balik kesulitan ya." Selena menenteng banyak paper bag di tangannya, rasanya ingin sekali menghabiskan seluruh harta Billy dengan membeli seisi mall melalui black card di genggamannya.

"Ah, sial. Sepertinya tanganku sudah tidak muat lagi." Sebuah couple liontin menginterupsi Selena, "sangat indah, tapi untuk apa aku membelinya? Tidak mungkin akan kuberikan pada pria jahat itu."

Selena berpaling. Namun, langkahnya membawanya kembali pada liontin perak dilengkapi mainan berbentuk hati yang disatukan oleh dua rantai.

Pilihan yang cukup menguras pikiran, Selena terpaksa membelinya saja saat ini tidak tahu kedepannya nanti akan memberikan satu potongan liontin lainnya pada siapa.

"Nona.... " dua orang berpakaian serba hitam mendadak muncul. Keduanya membungkukkan tubuh hormat.

"Tuan mengirim kami untuk membantu nona."

Tidak lama ponsel Selena bergetar, dia mengangkat panggilan. "Aku mengirim mereka agar membantumu membawakan barang."

"Tidak perl-" belum sempat selesai bicara, panggilan sudah berakhir. Selena menyapukan pandangan di setiap sudut keramaian, bagaimana orang itu bisa tahu dia membawa banyak barang.

"Kalau begitu ambil ini." dia menyerahkan semuanya kecuali kotak liontin tadi di masukkan ke dalam tasnya.

*

Cukup melelahkan mengelilingi pusat perbelanjaan seharian, Selena merebahkan tubuhnya ke ranjang. Namun, kesenangan yang dirasakannya seolah hambar. Pernyataan pahit Billy cukup menginterupsinya meninggalkan bekas yang cukup dalam.

"Nyonya Selena...." suara ketukan diiringi panggilan oleh bibi Lisa cukup menarik perhatian Selena.

"Nyonya, tuan memanggil Anda ke bawah." bibi Lisa langsung menyambar saat Selena membuka pintu.

"Baiklah, aku akan menyusul." ucap Selena lalu setelahnya bibi Lisa mengundurkan diri.

Selena bertanya-tanya perihal apa orang itu ingin menemuinya. Dia merapikan diri sejenak di depan cermin.

Langkah demi langkah kaki rampingnya menuruni anak tangga, menyusuri lantai mengarah ke meja makan. Beberapa pelayan setia berdiri di sisi tuannya.

Para pelayan wanita itu tersenyum ramah, bibi Lisa menarik kursi untuk Selena mempersilahkan nyonya baru di rumah mewah itu untuk segera duduk.

"Silahkan nyonya." ucap bibi Lisa sebagai sosok yang ramah sekaligus seorang kepala pelayan.

Selena mengangguk membalas senyuman ramah wanita paruh baya itu, "Terimakasih, bibi Lisa."

Di sisi lain pria berwajah tampan duduk tidak jauh darinya, wajah kaku itu menghadirkan senyum mencurigakan. Satu petikan jari darinya berhasil mengusir semua pelayan di ruangan itu.

"Ada apa sebenarnya ini?" tanya Selena mengerutkan kening.

"Tidak ada, aku hanya ingin makan malam bersamamu."

Selena mengangkat alisnya. "Kau bercanda Billy, leluconmu sangat tidak lucu."

"Aku hanya ingin makan bersamamu, memangnya ada yang salah?"

Selena menganggap semua terjadi tidak terduga, bagaimana bisa pagi tadi pria di hadapannya itu mengatakan hal terburuk sekarang dia ingin makan malam bersama? Lucu sekali, Selena bagaikan badut yang kadang bisa ditertawakan kapan saja.

"Aku tidak lapar." seharusnya melakukan penolakan bukan hal yang salah 'kan? Melihat wajah pria di depannya itu membuatnya kehilangan nafsu makan.

"Apa?!" Billy menghentikan tangannya memotong sepetak daging sapi panggang yang biasa disebut beef steak di piringnya.

Sedetik kemudian, terdengar suara nyaring dari arah Selena. Aktifitas di ruangan mendadak berhenti.

"Kau berbohong." Billy menatap tepat pada perutnya.

Seharian ini Selena berbelanja sampai lupa waktu bahkan lupa hanya sekadar makan. Duh, rasanya ingin sekali dia menghilang sekarang juga dari muka bumi ini.

"Jangan bilang kau terlalu bersemangat sampai lupa makan." ucap Billy di selah kunyahannya.

"Biasa saja." Selena menjawab datar.

"Tuan." tiba-tiba Robin entah datang dari mana sembari membungkuk hormat. "Nona Gisella menunggu Anda di depan."

Mendengar nama seorang wanita disebut spontan Selena melirik ke arah Billy, pria itu tidak memperlihatkan respon apapun.

"Suruh dia masuk."

"Baik tuan." Robin mematuhi perintah bosnya beringsut pergi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status