Pov SerenaSetelah menurunkan Zena di sekolahnya, segera aku menuju ke kafe milik Mas Gibran. Ketika aku sampai di parkiran, Kafe masih baru di buka. Tulisan open baru saja di balikkan okeh karyawan."The Gis's Cafe," gumam ku lirih membaca tulisan pada pintu kafe yang terbuat dari kaca itu. Tanpa sadar aku tersenyum mengingat asal usul dari nama kafe itu. GIS adalah singkatan nama kami bertiga, Gibran, Indira dan Serena. Kami tiga bersaudara. Setelah Ayah dan Bunda berpisah kami memilih untuk ikut Bunda. Waktu itu aku masih kelas satu SMA ketika Ayah berselingkuh lalu menikahi selingkuhannya yang sedang hamil, karena Bunda tidak bersedia di madu, Bunda memutuskan untuk bercerai. Sejak itu hubungan kami dengan Ayah menjadi renggang. Kami tidak pernah lagi berkunjung ke rumah yang dulu kami yang dulu setelah Ayah membawa pulang selingkuhannya itu. Namun lambat laun kami akhirnya mengikhlaskan semua. Setiap hari raya kami akan berkunjung untuk bersilaturahmi meski tidak sampai satu jam
Pov Serena. Sudah satu bulan aku bekerja di kafe Mas Gibran, selama itu juga aku dan Mas Dirga masih saling diam. Mas Dirga selalu pulang malam namun aku tidak pernah bertanya atau mengirim pesan padanya untuk menanyakan kapan dia akan pulang? Setiap hari aku berusaha belajar tentang cara menghandle sebuah kafe. Namun sesibuk apapun, aku tidak pernah lupa tugasku sebagai seorang ibu untuk Zena. Setiap kali di rumah aku menghabiskan waktuku untuk Zena. Baru setelah Zena tidur aku mengerjakan tugas yang aku bawa pulang. sore ini aku sedang bercanda dengan Zena ketika Mas Dirga pulang. Entah apa yang membuatnya pulang lebih awal hari ini jika biasanya dia akan pulang pukul 8 malam berbeda hari ini laki-laki itu sudah terlihat memasuki rumah pada pukul 5 sore dia. Seperti biasa dia pulang membawa tas kerja dan tumpukan Map di tangannya. Zena langsung turun dari sofa dan berjalan menuju kamarnya tepat ketika Mas Dirga bejalan masuk menuju kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Zena. Ma
Pov Serena. Seperti biasa setiap pagi aku mengantar Zena ke sekolah dan langsung menuju kafe. Ini sudah menjadi rutinitasku hampir dua bulan ini. Aku sangat bersyukur karena aku sudah terbiasa dengan semua pekerjaanku di kafe. Itu tidak lepas dari bantuan Mas Gibran dan Mbak Lina tentunya. Setiap pagi aku akan memastikan semua bahan di dapur lengkap lalu memastikan kafe di buka dalam keadaan rapi dan bersih. Sesekali aku memeriksa ke dapur untuk melihat makanan yang di pesan pelanggan kafe lalu kembali ke meja kerjaku untuk memeriksa laporan. Sekitar pukul 9 pagi aku kembali ke meja kerjaku untuk memeriksa laporan belanja bulanan. Baru setengah jam aku berkutat dengan kertas-ketas itu sebuah panggilan masuk ke ponselku. panggilan dari Dewa, teman sekolahku yang bekerja di kota Bali. 📞[Hallo,] sapaku begitu aku menerima panggilannya. [Hallo Rena,] sahutnya. [Iya, apa kabar kamu?]tanyaku basa basi. [Alhamdulillah sehat, kamu bagaimana?] tanya Dewa balik. [Sehat. Alhamduliilah.
[Aku tahu kamu sudah menikah dan memiliki keluarga, jika perlu aku akan menemui suami kamu dan meminta izin langsung darinya.] Suara Aira memohon karena Serena tidak juga menjawab permintaannya. [Apa kamu yakin jika aku menjenguknya, Kaisar akan sadar?] tanya Serena dengan suara yang di usahakan setenang mungkin. [Iya. Aku sangat yakin jika kamu mau datang dan berbicara dengannya InsyaAllah dia akan sadar,] jawab Aira penuh keyakinan. [Kenapa kamu begitu yakin?] kembali Serena mempertanyakan keputusan Aira menghubungi mantan kekasih suaminya. Apa hatinya tidak terluka? pikir Serena. [Karena dia menunggumu. Tolonglah!] [Kamu yakin?] tanya Serena sekali lagi untuk memastikan. Serena tidak ingin kehadirannya menjadi bumerang untuk rumah tangga Aira dan Kaisar. [Iya aku yakin. Percayalah tidak akan ada yang mempermasalahkan kedatangan kamu menemui Kaisar] jawab Aira mengerti kekhawatiran yang dirasakan Serena. [Baiklah besok aku akan datang,] putus Serena. [Aku akan mengirim pesan
"Aku tidak setuju, jika Zena harus di titipkan di rumah orang lain ketika kamu bekerja," tolak Dirga. "Kita tidak tahu kondisi ke amanan tempat tinggal teman kamu itu," Dirga mengutarakan alasannya. "Lalu, mau bagaimana?" tantang Serena menatap Dirga sinis. "Kita panggil pengasuh saja, untuk mengasuh Zena di rumah," kata Dirga memutuskan. Sontak Serena melebarkan matanya menatap penuh amarah pada Dirga, "Maksudmu, kamu ingin memanggil Ratna, janda yang membuatmu membentakku dan bahkan bersedia meminta maaf padanya padahal dalam mimpi pun kamu tidak pernah meminta maaf padaku," ucapnya tidak terima. Ada rasa marah bercampur dendam jika mengingat Ratna yang setelah kehadiran wanita itu rumah tangganya tidak lagi harmonis. Dirga menggigit bibir bawahnya, menyadari jika dirinya sudah salah bicara dengan mengungkit hal yang seharusnya tidak pernah mereka bahas lagi. "Silahkan bawa dia kembali kesini untuk me nga suh mu." Serena menekankan pada kata di akhir kalimatnya, "Dengan senang h
Untuk makan malam Serena hanya menggoreng nugget untuk dirinya dan Zena saja, ia sama sekali tidak berniat untuk mengajak Dirga makan malam bersama. Dirga keluar dari kamar lalu ikut bergabung di meja makan. Serena hanya melirik sebentar namun tak berniat berbicara. "Tunggulah sebentar aku sudah memesan ayam goreng, kasihan Zena hanya makan pakai nagget saja," tutur Dirga ketika melihat Serena menyuapi Zena makan hanya dengan lauk kotak di lapisi tepung panir itu Serena bergeming, ia sama sekali tidak menyahut dan melanjutkan kegiatannya menyuapi Zena dan sesekali menyuapi dirinya sendiri. Saat ayam goreng pesanan Dirga datang Serena dan Zena sudah menyelesaikan makan malamnya. Tanpa menghiraukan Dirga, Serena membereskan bekas makannya dan Zena. Dirga sempat menawari Zena untuk memakan ayam goreng yang di pesannya tapi gadis kecil itu menolak dengan alasan kenyang. Zena hanya duduk diam diatas kursi meja makan seperti biasanya menunggu Serena selesai mencuci piring bekas makan mere
Kalimat demi kalimat yang keluar dari mulutnya seperti sebuah silet yang menggores hatiku berkali-kali. Dia selalu mengatakan aku lebay jika aku mengeluh padanya. "Ya aku lebay. Untuk orang yang hidupnya sempurna seperti kamu. Ya aku memang lebay bagi orang yang tidak pernah merasa di bully dan di ejek sejak kecil," kataku pelan dengan rasa kecewa yang menyesak di dada membuat mataku tak lagi bisa menahan laju air mata yang sudah mulai membasahi kedua pipiku. "Aku memutuskan kembali bekerja juga karena Ibumu yang terus-menerus MEMBERI NASEHAT supaya aku bekerja untuk membantu keuangan keluarga," Aku sengaja menekankan pada dua kata 'Memberi nasehat' karena dia selalu membela ibunya dengan mengatakan, 'Ibu hanya memberi nasehat bukan menyuruhmu' ketika aku mengeluh ibunya terus menerus menyuruhku untuk kembali bekerja setelah Zena lahir. "Kamu selalu seperti itu, menyalahkan orang lain," cibir Mas Dirga lalu berjalan ke taman belakang rumah.Hatiku sakit, sakit sekali. Mengapa Mas D
Pov Serena. Setibanya di rumah, nampak Bunda sudah menunggu di teras. Beliau bergegas menyambut kedatangan kami dengan wajah sedih dan mata yang sudah berkaca-kaca. Tanpa berkata apapun wanita paruh baya itu langsung mengambil Zena dari gendonganku dan membawanya masuk. Selama dua tahun pernikahan, aku sama sekali tidak pernah mengeluh sedikitpun soal Mas Dirga kepada Bunda. Mungkin karena itulah Bunda terlihat sangat sedih karena beliau mengira rumah tanggaku dan Mas Dirga sangat harmonis seperti yang terlihat selama ini.Hanya kepada Mas Gibran saja aku mau bercerita itu pun ketika sudah tidak bisa menahan rasa kesalku lagi. Bagi Ibu, Mas Dirga itu sosok suaminya yang baik dan tidak banyak menuntut. Bunda selalu berpesan agar aku selalu menjadi istri yang baik dan penurut agar rumah tanggaku tidak berakhir seperti rumah tangga Mbak Indira yang pertama. Ya. Rumah tangga pertama kakak keduaku itu memang berakhir dengan perceraian. Karena itu Bunda mewanti-wanti agar aku menjadi istr