Share

3. Penyelamatan

Nalan berusaha mencari sela-sela di dinding rumah itu, lalu meraih dinding dan perlahan bergeser. Tak ia pedulikan lagi rasa sakit.

Namun, dinding yang reot itu mulai mengeluarkan suara bertanda akan segera rubuh, Nalan panik tapi terus menggeser tubuh. Darah telah menempel di cat putih. Berusaha meraih kursi, tapi tetap tak sampai, berkali-kali mencoba tetap gagal.

"Bos, turunlah. Dinding itu akan segera roboh," titah Hans ketika melihat keberanian Nalan. Namun, tak dipedulikannya. Sekarang dipikiran hanya menyelamatkan Zena.

Hans yang kebingungan ingin meminta tolong, tapi tak ada satupun warga di desa. Akhirnya, ia turun ke bawah mencari sesuatu yang bisa menyelamatkan Nalan.

"Zena, pegang Uncle! Jangan takut sayang," ucapnya sambil mengulurkan tangan. Si tangan mungil itu terus berusaha tapi tak mudah di raih.

"Oh, iya lebih baik aku cari sesuatu yang empuk, jangan sampai bos memilih akan jatuh," ucap Hans sambil terus berlari memasuki setiap rumah tak berpenghuni. Mengecek satu per satu.

"Tak ada waktu lagi, bos pasti tidak bisa bertahan lebih lama."

Pada akhirnya, rumah paling belakang yang sedikit jauh dari tempat Nalan. Hans mendapatkan kasur usang, ia segera mengangkat walau dipenuhi debu.

"Aaaahhh, paman!?" teriak Zena seraya mengangkat tangan ke atas. Api yang semakin melalap tali perlahan menurun dan tali terputus bersama Nalan yang semakin pucat, tak mampu menahan sakit.

"Zena," jerit Nalan memanggil nama keponakannya.

Hans kembali ke rumah itu dan mendengar suara tangisan kencang dari Zena. Segera masuk dan mendapati bosnya lompat menangkap gadis itu, lalu mereka jatuh bersama diatas kasur yang telah disiapkan sang asisten.

Zena yang berada di atas tubuh kekar pamannya merasa bahagia, Nalan bernafas lega mendapati gadis kecil itu baik-baik saja.

Samar-samar sebelum memejamkan mata, Nalan mendengar jeritan Zena dan Hans yang panik. Luka yang tentu saja belum sembuh kini terbuka lagi hingga membuat lelaki kuat itu kehilangan banyak darah.

Namun, sebelum memastikan keadaan putri kesayangannya, ia pun dalam keadaan kritis saat dibawah ke rumah sakit.

Hans yang panik, segera membawa ke rumah sakit. Zena yang memahami kondisi sang paman darah dari baju, terus menangis.

"Dok, tolong bos saya," ucap Hans panik kala melihat dokter.

"Baik, tuan tenang saja."

"Zena, pulang ya," titah Hans lembut sambil berjongkok menyamainya. Di baju gadis mungil itu terdapat darah Nalan.

"Ngga mau," tolaknya bersih keras, "Zena, mau lihat uncle."

Benar-benar membuat Hans kebingungan saat ini, sangat sulit baginya membujuk anak kecil. Ingin sekali menghubungi Nami, tapi untuk menjelaskan apa yang terjadi, tak tahu harus bicara apa!

"Aku harus bagaimana sekarang?" tanyanya seorang diri penuh kepanikam Hans pun merogoh ponsel, setelah tersambung ia menceritakan pada Nami. Namun, rahasia Nalan seorang mafia tidak diceritakan.

Sementara itu, di dalam UGD dokter menangani Nalan berusaha menyelamatkan nyawanya dengan alat pemacu jantung.

"Dok, kondisi pasien kian melemah," imbuh suster.

Mendengar hal itu, dokter terus berusaha hingga layar tidak lagi lurus, meski melewati masa kritis Nalan masih belum sadar, untunglah stok darah yang cocok dengannya tersedia.

"Dok, pasien berhasil melewatinya," ujar suster gembira. Dokterpun lega. Mereka keluar dan mengabarkan kabar baik.

Setelah dokter berhasil menyelamatkan nyawa Nalan, ia pun dipindahkan ke kamar pasien VVIP.

Nami datang bersama Atras suaminya, disusul oleh Mayra. Mereka secara bersamaan menghampiri Hans yang duduk di kursi.

"Mami, Papi," panggil Zena berhambur kearah orang tuanya. Atras menggendong putri tunggalnya sambil mengecek tubuh, tapi tak ada luka satupun hanya ada noda darah di baju.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Nami cemas.

"Sudah melewati masa kritis nyonya."

"Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Nalan bisa mendapatkan luka tembak? Apa karena bisnis?" tanya Nami beruntun.

"Tenanglah sayang," tutur Atras lembut.

Entah bagaimana caranya menjawab pertanyaan Nami yang perlahan curiga, apalagi tatapan ibu beranak satu itu sangat tajam pada Hans.

"Aku harus jawab apa?" gumam Hans bingung, posisinya saat ini sangat tertekan.

Atras melihat tampang pria muda itu langsung menyela istrinya, "Sayang, sudahlah. Saat ini Nalan lebih penting kita pikirkan ketimbang rasa penasaranmu."

"Tapi, Pi-" Nami yang ingin melanjutkan ucapannya, dipotong oleh suaminya.

"Sudah sayang."

Akhirnya, Nami diam sambil menghela nafas kasar. Andaikan bukan karena suaminya yang menyuruh untuk bungkam, pertanyaan bertubi-tubi akan terus ia layangkan sampai mendapat jawaban.

"Huh! Syukurlah," batin Hans bernafas lega.

"Kamu jangan senang dulu, kalau Nalan belum sadar dalam 2 hari, kamu harus menjelaskan semuanya," tegur Nami dengan wajah sinis. Hans hanya menunduk tak berani menatap wajahnya

.

"Bos, maafkan aku," batin Hans sesal, ia pun teringat akan pesan Nalan setahun lalu.

"Hans, apapun yang terjadi padaku kelak, kamu jangan pernah mengungkapkan 1 kata pada keluargaku. Meski dengan nyawamu atau apapun kau tak boleh berbicara, dipaksa bagaimanapun kamu harus diam," terang Nalan panjang kali lebar.

"Iya, bos aku tidak akan berbicara apapun," imbuh Hans penuh keyakinan.

Teringat akan pesan itu, Hans bersikukuh tak akan melanggar janjinya pada Nalan. Ia sudah mengabdikan diri menjadi orang kepercayaan.

"Tidak, aku tidak boleh berkata apapun, aku sudah janji pada bos," batin lagi Hans bersihkuku.

"Bos, kumohon cepatlah sadar."

Nalan yang masih belum sadarkan diri, terbenam oleh mimpi yang mengantarkannya pada Kinan. ia melihat wanita itu sedang berdiri di depannya dengan senyuman khas yang selalu membuat lelaki itu jatuh cinta. Kini berada disebuah taman dipenuhi bunga-bunga indah dan banyak kupu-kupu bersayap cantik terbang.

"Kinan, kamu disini?"

"Iya," jawabnya mengangguk.

"Aku sangat merindukanmu," ujar Nalan dengan mata berkaca-kaca.

"Sadarlah dan lupakan aku," pesannya.

"Apa aku sedang bermimpi atau ini nyata?"

"Mimpi atau nyata, kau harus membuka mata dan pikiranmu."

"Aku sangat merindukanmu, maaf! atas kejadian waktu itu. Sungguh aku menyesalinya," ucap Nalan terisak.

"Tak ada gunanya, lanjutkanlah hidupmu, aku sudah tenang."

"Aku tak bisa," jerit Nalan menahan rasa sesak.

"Bangunlah, tempatmu bukan disini," ucap Kinan.

"Kinan, semenjak kepergianmu aku menemukan lagi cintaku. Namun, ia memilih pergi menikahi lelaki lain."

"Dia bukan untukmu, hargai yang sekarang."

"Maksudmu?" tanya Nalan bingung.

"Hargai orang yang mencintaimu dengan tulus, aku dan Serra tidak di takdirkan untukmu."

"Aku tidak mau, aku hanya menginginkan salah satu dari kalian," isaknya.

"Nalan, waktu tak dapat kita rubah. Sebelum terlambat lebih baik kau menghargainya, suatu saat kau pasti bisa mencintainya."

Setelah menyampaikan semuanya, Kinan pergi meninggalkan Nalan. Meski terus memanggil nama, tak digubris. Ia tetap berjalan ke depan hingga kilauan putih menyilaukan mata muncul, menghilang dibalik cahaya.

"Kinan!?" teriak Nalan memanggil namanya hingga sadar. Mereka yang berada diruangan sangat terkejut dan senang karena ia telah sadar.

Mayra yang mendengar hal itu dadanya bergemuru, ia berusaha menahan air matanya. Tak disangka, saat bangun orang yang pertama dipanggil adalah nama "Kinan."

"Siapa Kinan?" tanya Mayra dalam hati.

Bukannya bahagia melihat orang dicintainya sadar, malah hatinya menjadi panas. Sungguh, Nalan benar-benar membuatnya sakit hati.

Mayra hanya diam berdiri bak patung, rasa cemburunya teramat besar.

Siapa sebenarnya Kinan dalam hidup Nalan?

To Be Continue...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status