Share

Chapt 3 : Kedahsyatan Kekuatan Tersembunyi

“Apa yang kau lakukan di sini, Aslan?”

Ternyata Damian yang membuka pintu ruangan itu. Pria itu menunjukkan raut wajah bingung ketika tiga pria yang tak dikenalnya hilang dalam sekejap mata saat ia membuka pintu dan bersuara. Aslan berdehem, ia kemudian turun dari sana dan berjalan di karpet merah seperti yang dilakukannya tadi. Ia berjalan mendekati Damian.

“Siapa pria tadi Aslan? Apa dia penyusup? Lalu... “ Damian memicingkan matanya, menatap selidik ke arah Aslan.

“Aku tidak tahu siapa mereka. Namun, mereka tadi ingin mengambil pedang Artois milik Duke terdahulu,” ujar Aslan sebelum Damian melanjutkan ucapannya.

Damian membuka mulutnya karena terkejut. Bola matanya pun sedikit melebar setelah mendengar penuturan Aslan. “L-lalu... Apa kamu yang sudah menghalangi mereka? Apa kamu yang sudah menyelamatkan pedang Artois ini?”

Aslan hanya diam tak menjawab. Diamnya Aslan itu dapat Damian mengerti. Damian tahu, Aslan memang bukan pria yang dapat diremehkan. Meskipun banyak sekali kalangan bangsawan, bahkan hampir semua bangsawan meremehkannya, namun Damian tentu tidak bisa menyangkal bahwa ia sangat tertarik dengan Aslan.

“Entah kekuatan apa yang kamu miliki Aslan. Tapi aku percaya, bahwa keberadaan mu di sini sudah membuat aku yakin kalau Wingston, Ayah dari Albert tidak mungkin mengijinkan mu tinggal di Kerajaan ini tanpa alasan jelas.”

Aslan tertegun mendengarnya. “Bagaimana kamu tahu kalau Wingston yang mengijinkan ku untuk tetap tinggal di sini?” tanya Aslan.

“Tentu saja aku tahu. Seluruh Kerajaan sudah tahu, Aslan. Wingston sendiri yang mengumumkannya tempo hari. Apakah kamu belum tahu? Seluruh bangsawan membicarakan mu,” ucap Damian yang lagi-lagi membuat Aslan terkejut.

“Maaf. Aku harus segera pergi, Duke,” pamit Aslan tiba-tiba dan segera keluar dari ruangan itu.

Damian menatap punggung tegap Aslan yang mulai menghilang dari penglihatannya. Punggung tegap yang penuh dengan kemisteriusan.

***

Aslan berjalan melewati lorong demi lorong kerajaan. Tak banyak para bangsawan berlalu lalang, hanya ada beberapa Ksatria yang tengah berbincang-bincang di sepanjang jalanan yang dikelilingi lorong itu.

Tiba di sebuah ruangan yang cukup besar, Aslan pun hendak mengetuk pintu ruangan itu sebelum memasukinya. Namun, belum Aslan mengetuknya, tetapi pintu itu sudah terbuka dan menampilkan sosok pria berambut pirang lurus dan panjang tengah menikmati beberapa jamuan makanan di hadapannya. Aslan membungkukkan badannya dengan sopan, lalu ia melangkahkan kaki untuk mendekati pria yang tampan itu.

“Aslan? Kebetulan sekali aku mau menemui mu. Pantas saja pintuku terbuka otomatis, ternyata kamu yang datang,” ucapnya diselingi senyum tipis. “Mau minum teh denganku?” lanjutnya seraya mengangkat sebuah cangkir warna putih dan ditunjukkannya pada Aslan.

“Terimakasih, Duke. Aku hanya ingin memastikan, apakah benar kamu memberitahu semua orang bahwa aku diijinkan tinggal sini atas ijin darimu sendiri?” tanya Aslan.

Wingston menaruh secangkir teh warna merahnya lalu menganggukkan kepalanya, “Hem... Bukankah itu benar? Memang aku bukan yang mengijinkanmu untuk tinggal di sini?”

“Lalu, mengapa kamu mengumumkannya, Duke?”

“Aku hanya ingin keberadaanmu dianggap, Aslan. Kamu tahu, kamu bahkan jauh lebih hebat dari putraku, Albert. Itu salah satu alasan aku memberikanmu ijin untuk tetap tinggal di sini. Ya, meskipun aku tau, tanpa ijinku pun kamu akan tetap tinggal di sini,” jelasnya panjang lebar.

Aslan terdiam sejenak ketika mendengar penuturan panjang lebar dari Wingston. Ada sedikit pertanyaan yang terngiang di kepalanya, namun ia enggan untuk menanyakannya.

“Jika itu kehendakmu, maka aku tidak bisa menolaknya. Namun aku lebih berharap diperlakukan seperti biasanya saja. Aku tidak ingin bangsawan lain mencari masalah karena berita ini,” ujar Aslan.

Wingston lagi-lagi tersenyum, “Tenang saja, Aslan. Kau ini seperti Ayahmu saja yang kaku. Dari pada kamu berdiri di situ saja, lebih baik kamu duduk di sini dan temani aku minum teh.”

Aslan pun menghela napasnya lalu mengangguk. Tak ada setipis senyuman apapun yang menghiasi wajah tampannya. Selalu datar, dan selalu dingin. Ya, itulah dirinya.

“Ekspresi mu yang seperti itu selalu menakutiku, Aslan. Bisa tidak kamu tersenyum sedikit saja? Aku sampai takut kalau kamu tidak bisa tersenyum,” tutur Wingston diselingi gurauannya.

“Apakah tidak bisa tersenyum lagi merupakan sebuah kutukan?”

Wingston tertawa renyah mendengar pertanyaan yang lolos dari bibir Aslan, “Kau ini, selalu saja tidak bisa diajak becanda. Mana ada kutukan yang seperti itu. Kau ini, dasar.”

***

Suara dentingan gelas yang saling bersentuhan memenuhi lorong aula kerajaan Wealton. Semua para bangsawan berkumpul dan memeriahkan acara yang digelar Duke atas kemenangan melawan kerajaan Jovanka.

Aslan hanya menatap betapa riuhnya aula besar itu dari jendela yang terbuka. Ia sama sekali tidak berminat untuk ikut merayakan hal semacam itu. Kini, Aslan memutar tubuhnya dan berjalan seorang diri entah akan kemana. Pria yang misterius itu sangat sulit untuk ditebak jalan pikirannya.

Ternyata, Aslan hendak kembali ke kamarnya yang letaknya jauh dari aula kerajaan. Ya, mengingat kedudukannya di kerajaan itu membuat Aslan harus menerima semua keputusan Duke, termasuk yang meletakkan kamarnya berada di belakang kamar para Ksatria.

Saat hendak membuka pintu kamarnya, ia dikejutkan oleh seseorang yang menepuk bahu kirinya. Aslan langsung menolehkan kepalanya ke belakang dan menemukan Duchess tengah tersenyum ke arahnya. Ia mengurungkan niatnya untuk masuk ke kamarnya.

“Duchess Mariana,” ucap Aslan dengan pelan.

Mariana tersenyum simpul, “Sudah lama kau tak memanggil dengan namaku, Aslan.”

Aslan tak merespon lagi ucapan Mariana.

“Jangan salah paham. Aku tadi berkeliaran di sini karena merasa bosan di aula kerajaan. Tapi, ternyata kamu juga ada di sini,” ucap Mariana menjelaskan.

“Lantas?”

“Oh, ayolah, Aslan. Maukah kamu menemaniku berkeliling? Aku sangat bosan.”

Aslan menatap Duchess yang memasang wajah memelas padanya. Akhirnya ia menghela napasnya dan mengangguk. Jika bukan karena Duchess yang memintanya, Aslan pasti sudah menolaknya mentah-mentah. Sebab, menurut Aslan seorang Duke ataupun Duchess patut dihormatinya.

Duchess itu tersenyum senang, “Kalau begitu, ayo kita ke taman kerajaan. Aku sangat ingin ke sana di malam hari, tapi Albert selalu melarang ku dengan alasan takut kalau terjadi apa-apa denganku.”

Wanita yang berumur sedikit lebih tua darinya itu berjalan mendahuluinya. Aslan hanya mengikuti wanita itu dari belakang tanpa banyak bicara. Setelah sampai di sebuah taman yang berada sedikit jauh dari kerajaan, Aslan memperhatikan Mariana yang tersenyum senang dengan manik mata yang berbinar-binar.

“Wah, ternyata benar kata Baroness kalau pemandangan malam di sini sangat indah. Aku sangat menyayangkan baru ke sini sekali seumur hidupku saat malam hari,” ujarnya seorang diri. Aslan masih berdiri lima langkah lebih jauh di belakang Mariana.

“Kemarilah, Aslan. Bintang-bintang di langit malam sungguh indah. Terimakasih sudah menemaniku datang ke sini,” ucapnya dengan tulus.

Pertama kalinya Aslan melihat Mariana dengan versi yang berbeda. Mariana selalunya menjadi seorang Duchess yang terbilang bermulut pedas, bermata tajam, dan kejam. Terutama dengan caranya berpakaian yang terbilang sangat terbuka.

Aslan pun hendak melangkahkan kaki lebih dekat dengan Mariana. Namun, sebuah kilatan warna putih membuat Aslan otomatis langsung memundurkan tubuhnya. Mariana membulatkan matanya setelah melihat bagaimana kilat putih itu hampir saja menyambar dan mengenai tubuh Aslan.

“Aslan? Apa kau tidak apa-apa?” tanya Mariana dengan khawatir.

Aslan menggelengkan kepalanya, “Aku tidak apa-apa. Sepertinya ada yang memperhatikan kita. Lebih baik kita segera pergi sekarang,” ucap Aslan dan diangguki persetujuan oleh Mariana.

To be continue~

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status