"Ya, Sum ... abang lelah banget. Ya, sudah abang mandi dulu,"
Aku segera bergegas ke kamar mandi, bayangan wanita berkepala kuda terus menghantui.
"Sum, abang berangkat ... ucapku setelah mandi dan sarapan. Sumi tidak menjawab hanya mengangguk dan menatap dengan pandangan aneh.
Setibanya di perusahaan aku hanya memandang gerbangnya. Baru di sadari ternyata di depannya terdapat juga simbol-simbol yang sama. Aku memandang gelang yang melingkar di pergelangan tangan seraya berpikir bagaimana lepas dari semua ini.
Suara klakson. mengagetkanku, terlihat Mas Gondo mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil.
"Hoi, Di ... ngapain? Buruan masuk!" teriak Mas Gondo.
Mobil bergerak maju meninggalkanku yang masih termanggu hingga beberapa karyawan menyapa dan mengajakku masuk.
Setelah mendapat pengarahan Pak Steven aku menuju parkiran di mana truk-truk berjejer rapih. Truk putih sudah menungguku sebagai pengemudinya.
Semilir angin bera
Aku terkesima, mendengar ucapan wanita itu yang sepertinya tahu apa terjadi pada diriku. Namun, mulut terbungkam tidak bisa berkata. Aku sempat mendengar, Bapak penolong, mengucapkan terimakasih pada wanita tersebut dan mengucap namanya 'Ibu Laras.'Aku mengangguk dan bergegas, tetapi tanganku ditarik seorang pemuda."Biar diantar saya, Mas," ujar pemuda tersebut.Sesaat berpikir, lalu mengiyakannya. Sepeda motor pemuda bernama Koko membawa kami menyusuri jalan menuju rumah sakit. Jantung rasanya mau copot saat melihat truk putih milikku terparkir di jalan."Berhenti, Dek!" Aku segera meloncat dari motor walau kondisi belum stabil. Aku segera mengamati truk milikku, seraya memanggil Sumi,, tetapi tidak terlihat sosoknya. Di belakang kemudi juga kosong yang ada hanya tas berisi pakaian. Aku juga dibingungkan dengan keadaan truk. Bannya tidak ada yang kempes. Akhirnya dengan perasaan tidak menentu, diiringi azan Subuh, aku pulang. Belum semp
Menjelang malam saat aku selesai tugas mengantarkan barang. Melapor pada atasan, absen lalu balik ke rumah. Hari ini aku ingin bermanja-manja dengan Sumi, apalagi kandungannya sudah masuk waktu lahir, pasti akan lama lagi nantinya meminta hakku padanya. Dalam perjalanan, aku tersenyum sambil berdendang membayangkan istriku yangg cantik itu. Sayangnya sesampainya di rumah, setelah membukakan pintu, Sumi aku dapati tertidur pulas di dalam kamar. Aku tidak tega membangunkannya, sehingga kutahan semua rasa yang bergejolak dengan mengguyurkan air dingin ke seluruh tubuh, terutama bagian kepala.Setelah mandi, aku duduk di teras sambil menghisap rokok kesukaan. Hawa terasa dingin sekali, kusesap kopi hitam panas yang tidak terlalu enak karena aku membuatnya sendiri, biasanya Sumi membuatnya. Aku mengedarkan pandangan, suasana sekitar rumah sudah sepi. Tampaknya para tetangga telah menikmati mimpi-mimpi dalam tidurnya.Aku mendengus, sedikit meratapi nasib sambi
Perjalanan ke sana tidak membutuhkan waktu lama, tetapi menunggu bongkar muatanlah yang membuatku bosan, sehingga memutuskan berjalan melihat-lihat ke dalam mall. Aku tertarik saat melintas di sebuah gerai perlengkapan bayi. Kereta dorong hijau muda, segera kubeli agar nanti jika bayiku sudah lahir Sumi tidak terlalu lelah harus menggendongnya terus. Pasti istriku akan senang, aku membelikannya. "Mas, maaf dompetnya jatuh!" Teriakan seorang pria mengagetkanku saat menuruni eskalator. Aku berbalik dan mengucapkan terimakasih padanya sudah diingatkan. Ketika menuju parkiran, aku berpikir seperti pernah melihat pria tersebut, tetapi kutepis semuanya, mungkin hanya perasaanku saja. Sudah hampir masuk Ashar, ketika pembongkaran barang selesai dan aku masih harus ke pelabuhan untuk mengambil barang yang baru turun dari kapal. Untung saja cuma bertugas mengantar bukan bongkar, pasti sangat melelahkan dan menghabiskan waktu jika itu juga kulakukan. Ini saja sudah terlalu lam
Selembar kain hitam dan sebotol air adalah benda yang diberikan Pak Steven kepadaku. Gegas, aku menuju truk. Kupandangi roda truk bagian kiri serta badan truk. Bekas darah dan cairan putih kental masih tampak di sela-sela roda. Tak terasa air mata menetes. Aku menyiramkan air di botol lalu menyeka noda-noda darah tersebut dengan kain hitam seraya terus meminta maaf pada sang korban.Sungguh ajaib, kain hitam itu menyerap semua darah dan kotoran akibat kecelakaan dengan sempurna tanpa sisa. Perlahan dengan langkah lemah aku masuk kembali ke dalam bangunan, memberikan kain itu ke Pak Steven yang menerimanya dengan sumringah.Beramai-ramai para penyembah iblis itu menuju bangunan di mana patung Sang Junjungan berada. Aku mengikuti berdampingan dengan Mas Gondo."Usap seluruh bagian patung dengan lap ini, Di. Bersama Retno, Bibikmu agar ritual berjalan lancar." Kembali Pak Steven memerintah. Aku menuju ke depan menerima kain hitam, lalu bersama Bu Retno menyeka patu
"Bagaimana keadaanmu, Sum?""Abang ... kemana saja, Bang?" Sumi menatap, binar kebahagiaan tidak tampak di matanya.'Ya, tadi Abang antar barang ke tempat yang jauh. Anak kita perempuan atau laki-laki, Sum? Mana dia?" Aku mencari sosok anakku yang baru dilahirkan, biasanya diletakkan di samping Ibunya, tetapi kenapa tidak ada.Bukannya menjawab Sumi malah menangis, membuat hati semakin bertanya-tanya. Tini yang tadinyi hanya memperhatikan di belakangku, kini memeluk Sumi, berusaha menenangkannya.Mas Gondo mengajakku keluar kamar, lalu berkata dengan suara pelan, "Di, anakmu di ruang perawatan. Kondisinya tidak bagus."Mendengar ucapan Mas Gondo, langit seakan runtuh. Tubuhku lemas, lalu berjalan cepat menuju ruang perawatan.Di ranjang paling ujung ruangan, tertidur bayi dengan pipi kemerahan. Tertulis namaku dan Sumi di sebuah kertas putih yang direkatkan di depannya. Aku memandang dari luar yang dibatasi kaca tebal, tidak boleh masu
Sesampainya di rumah, pecahlah tangisan Sumi, seraya berlari masuk rumah."Di, hibur istrimu. Kasihan dia, pasti sedih sekali." Mas Gondo pergi meninggalkanku.Munafik! Pandai dia berkata seperti itu. Aku hanya berani mengumpat saat Mas Gondo tidak terlihat lagi.Dengan langkah gontai, aku mengikuti langkah Sumi. Tangisan terdengar memenuhi ruangan di dalam rumah. Sebenarnya aku tidak tega melihat istriku seperti itu, penuh kesedihan. Namun, aku kecewa, kenapa dia harus melahirkan bayi cacat? Aku tidak percaya jika Junjungan yang membuat anakku seperti itu. Pasti Sumi salah makan atau tidak becus menjaga kandungannya."Assalamualaikum ...."Suara salam dan riuh terdengar dari pintu depan. Rombongan ibu-ibu pengajian dari majelis Ta'lim yang diikuti Sumi datang.Tanpa menjawab salam, aku menyuruh mereka menuju kamar Sumi. Aku menyuruh Tini yang berada di antara para tamu untuk menjamu, setelah kugelonto
POV SumiHatiku berbunga-bunga, mendengar kabar yang disampaikan Bang Adi. Sambil menikmati martabak telur yang dibawanya, dia memberitahukan bahwa telah mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan bonafid. Puji syukur kuucapkan atas rahmat Illahi yang telah memberikan kebahagiaan ini. Kami pun tertidur pulas dengan perut kenyang dan pikiran tenang, tak akan lagi mengalami kesulitan ekonomi ke depannya.Keesokan paginya, dengan penuh semangat Bang Adi berangkat kerja, sebagai pengemudi truk. Aku tahu suamiku itu sangat mengidamkan pekerjaan yang layak. Dulu dia pernah bilang, akan memperbaiki rumah peninggalan orang tuanya ini dan aku sangat mendukungnya.Aku memandangi punggung suamiku hingga menghilang di ujung jalan. Setelah membereskan peralatan makan, aku melanjutkan jahitan. Baju Mpok Lela harus selesai hari ini, agar upah cepat kuterima.Tok! Tok! Tok!Suara ketukan di pintu, membuatku menghentikan kegiatan menjahit. Senyum khas dari sahab
"Truknya siapa, Bang? Bagus, ya? Dan itu bawa apa?" tanyaku beruntun. Bang Adi tertawa kecil, lalu menjawab, "Kendaraan operasionalku, Sum. Ayo, kita makan! Ini soto Mpok Diah, kesukaanmu.""Iya, Bang. Sebentar aku siapkan, atau kamu mandi dulu?""Mandinya nanti saja, Sum. Aku sudah lapar sekali," ucap Bang Adi. Aku mengangguk menyetujuinya, kami pun menikmati soto ayam tersebut, memang tidak salah aku menyukainya, memang lezat sekali."Sum, aku ke masjid dulu, ya. Mau Magrib dan Isya di sana!" seru Bang Adi, selepas mandi."Iya, Bang!" Aku buru-buru menjawab, karena desakan buang hajat sudah di tak tertahankan, aku bergegas ke kamar mandi sekalian membersihkan diri.Selesai menunaikan salat Magrib, aku melanjutkan membaca Al-Quran, sambil mengelus perut agar jabang bayi yang ada dalam kandungan menjadi anak soleh. Aku menitikkan air mata kebahagiaan, bersyukur Allah berkenan menitipkan rahmatNya kepadaku.***"Huh