Queen Donut Armidale Centro.
Tempat yang dipilih Raleigh dan Gerard untuk bersantai. Tempatnya berada di lantai Shop K6 sebelah Coolworths, masih berada di dalam Plaza Cnr Bessie And.
Rencana mereka untuk bersantai sambil minum kopi di sore hari saat musim gugur pun batal.
Mereka memesan cinnamon donnuts atau donat kayu manis dan donat dengan taburan jimmies dan kacang cincang ukuran besar. Serta dua gelas espresso bermotif cinta.
"Kenapa kamu hanya minum espresso-nya saja Ger? Bukankah rasa donatnya begitu nikmat?"
Gerard tersenyum tipis. "Aku mau membungkusnya untuk gadis kecilku di rumah. She must like it."
Seketika suasana hati Raleigh yang sudah mendung pun berubah menjadi hujan badai karena ucapan Gerard.
"Aku pernah membelikannya sekotak donat dengan beragam toping lezat, lalu dia menyembunyikannya di bawah tempat tidur. Dia bilang itu miliknya dan tidak boleh kuminta atau mamanya."
Raleigh berusaha tersenyum meski itu terpaksa. "Apa dia juga menyukai es krim cone?"
"No, dia tidak suka dingin." Kemudian Gerard terkekeh seperti sedang mengingat sesuatu.
Raleigh mengangguk, ia ingat dengan kunjungan Gerard beserta anak istri ke rumahnya. Gadis kecil itu bergerak lincah dan cerewet. "Kamu bisa bungkuskan beberapa donat dengan toping yang lain untuk gadis kecilmu. Dan jangan lupa bilang padanya if I completely miss her."
Gerard berbinar. "Thank you so much sir."
"Pesanlah sebelum habis."
Ketika Gerard pergi memesan donat kesukaan gadis kecilnya, Raleigh kembali teringat dengan ucapan Dokter Stevan dan pertengkaran yang terjadi antara dirinya dan Celia.
Raleigh tidak mau mengadopsi anak dari panti asuhan, ia tidak mau merawat anak yang bukan darah dagingnya sendiri. Ia merasa sehat dan subur, jadi tidak ada alasan untuk mengadopsi.
Lebih baik ia merawat darah dagingnya dengan wanita lain untuk diasuh bersama Celia. Tapi masalahnya, Celia menolak mentah-mentah keinginan Raleigh yang satu ini. Dengan alasan Raleigh berencana mengkhianatinya.
"Terimakasih Pak Raleigh. Dia pasti senang dengan donat donat ini." Gerard meletakkan satu kotak beragam donat yang putrinya sukai lalu kembali duduk di depan Raleigh.
Ia kemudian menepuk jidatnya. "I forgot, bukankah kita kemari karena Pak Raleigh mau berbicara sesuatu?"
Meski sudah tidak berada di dalam jam kerja, Gerard tetap memanggil Raleigh dengan sopan.
Raleigh mengangguk. "Aku bingung harus menjelaskannya dari mana."
"Apa ini ada hubungannya dengan pekerjaan?"
Raleigh menggeleng. "Ini tentang rumah tanggaku Ger."
"What is going on? Aku pikir keluarga bapak baik baik saja."
"No, we're not okay."
"Oh Tuhan, semoga masalah kalian segera menemukan titik terang."
"Beri aku saran terbaik menurut versimu Ger. Jika kamu jadi aku, saran apa yang kamu pilih. Mengadopsi anak atau mencari perempuan yang mau mendonorkan sel telurnya?"
Gerard tergelak. "Pilihan apa ini?"
"Celia divonis oleh dokter mengalami menopause dini."
"What? Dia masih muda kan pak?" Gerard terkejut mendengarnya.
Raleigh mengangguk. "Dua tahun dibawahku. Karena kondisinya ini kami tidak mungkin bisa memiliki anak kecuali dua pilihan tadi."
Raleigh tidak bisa menyembunyikan kesedihannya hingga menitikkan air mata.
"Apa kalian sudah periksa ke dokter yang lain? Siapa tahu dokter yang kalian datangi salah diagnosa."
Raleigh menggeleng. "Hasil laboratorium telah menjelaskan semuanya dan aku sudah mendatangi dokter kandungan terbaik di Armidale. Masihkah aku meragukannya Ger?"
Gerard memandang iba Raleigh.
"Aku menyesal pernah menyuruh Celia melakukan aborsi saat kami baru saja menikah. Ini seperti hukuman bagiku, aku sangat menyesal Ger." Ucapnya hancur dengan isak tertahan.
Meski Raleigh telah menunjukkan penyesalan, meminta pengampunan pada masa lalu, dan berusaha menjalani hidup sebaik mungkin, ia masih belum menemukan cara terbaik untuk mengatasi penyesalannya. Juga belum menemukan solusi terbaik untuk segera memiliki momongan.
Tapi Gerard malah terkekeh mendengar curahan hati Raleigh.
"Apanya yang lucu Ger? Kamu menertawai nasibku yang malang ini?"
Gerard mengangguk mantap. "Anda pantas mendapatkannya."
Raleigh memandang Gerard tidak percaya. Bagaimana bisa sahabat sekaligus bawahannya itu mengatakan hal demikian? Padahal Raleigh sedang meminta dukungan, nasihat, dan solusi untuk masalahnya. Bukan mendengar penghakiman dari orang lain. Ia cukup sadar atas kesalahan besar di masa lalu yang diperbuat tanpa harus dijelaskan ulang. Ia juga sadar tidak akan bisa mengembalikan calon anaknya kembali ke dalam rahim Celia dengan cara apapun. Sekalipun menyerahkan nyawanya kepada Tuhan. "Ini adalah karma instan yang layak anda dapatkan pak." "Aku tidak memerlukan penghakimanmu Ger!" "Harusnya Pak Raleigh biasa saja mendengar penghakimanku. Karena itu bagian dari penebusan dosa besar yang bapak lakukan." Ucapnya enteng lalu menyesap espresso-nya. "Aku sudah paham kesalahanku dan kamu tidak perlu mengungkitnya!" Gerard terkekeh. "Don't be angry, atau Tuhan akan memperpanjang derita anda pak." Raleigh pun diam lalu menunduk karena takut Tuhan benar-benar akan membuatnya terjebak dalam m
20.358 Bowman Ave Street, Armidale, New South Wales. Di rumah bercat krem dengan pelataran luas, halaman ditumbuhi rerumputan hijau dan pohon akasia berbunga kuning, serta dua pohon Smooth-Barked Apple besar di sudut kanan kiri pagar, Celia tengah bersantai di rumah Valerie, sahabat baiknya.Rumah teduh nan nyaman yang hanya dihuni Valerie seorang diri, karena kedua orang tuanya berada di Port Macquarie. Sebuah kota yang terletak di pesisir laut menghadap Samudra Pasifik Selatan. Valerie dan Celia telah bersahabat sejak mereka menepuh strata satu di jurusan yang sama di University of New England. Bahkan, Valerie pula yang membantu Celia untuk belajar menerima pernikahannya dengan Raleigh. Bukan tanpa sebab, Valerie adalah seorang janda. Ia diceraikan oleh suami karena hasutan ibu mertuanya dengan alasan Valerie berselingkuh dengan teman kerjanya. Padahal, Valerie begitu mencintai suaminya dan telah hadir anak diantara mereka. Valerie bersikeras menolak perceraian itu dan bisa mem
"Dimana istriku!" "Dia ada dirumahku." Raleigh menghela nafas lega. Setidaknya Celia tidak pergi ke club untuk mabuk-mabukan atau mencari lelaki single yang bisa dikencani. Ia tidak mau Celia salah paham lalu pergi meninggalkannya. "Bisa minta tolong kamu tunjukkan dimana rumahmu?" Suara Raleigh melembut. "Akan aku bagikan." "Oke terimakasih Vale." Setelah pesan lokasi itu muncul, Raleigh bergegas memacu mobilnya menuju rumah Valerie. Dalam hati, ia bertekad memarahi Celia karena berani keluar rumah tanpa memberitahu atau meminta ijin. Suami waras mana yang tidak marah jika istri pergi meninggalkan rumah tanpa pesan? Sepanjang perjalanan, ia merangkai kata-kata yang tepat untuk membuat Celia mengerti agar tidak mengulangi perbuatannya. Juga, apa kata Dad Mark jika tahu Raleigh belum bisa meluluhkan hati Celia. Mertua laki-laki Raleigh itu sama sekali tidak mengetahui masalah apa yang Celia hadapi. Ini pertama kali Raleigh menginjakkan kaki di rumah asri Valerie. Tanpa basa
"Astaga Celia." Celia menatap Raleigh penuh amarah. Ia tidak suka jika dipaksa untuk menuruti segala keinginan suaminya. Rasa cinta yang selama ini berusaha ia kumpulkan untuk Raleigh, akhirnya perlahan memudar. Ia tidak percaya lagi dengan ucapan cinta suaminya yang dianggap telah berkhianat. "Jangan pernah memaksaku! Aku benci menjadi istrimu! Aku benci kamu Ral! Kalau kamu mau pergi mencari perempuan pendonor sel telur, pergilah!! Dan ceraikan aku!!" Teriakan Celia membuat kegaduhan di halaman rumah Valerie. Ia tidak bisa membiarkan pertengkaran suami istri ini menjadi tontonan warga. "Celia cukup! Ada tetangga yang terganggu dengan pertengkaran kalian! Ayo selesaikan di dalam." Ucap Valerie dengan menatap keduanya. Sedang Raleigh masih mengusap pipinya yang terasa panas akibat tamparan itu. Da mengusap sedikit darah yang merembes di sudut bibir. Dengan susah payah, akhirnya Valerie bisa mendudukkan mereka berdua dengan ia berada di tengah. Ia ingin menjadi jembatan ked
Raleigh memandang kosong kertas berisi list buah dan sayur dari perkebunan Tasmania yang baru saja datang. Pikirannya masih berkelana mencari cara untuk membujuk Celia pulang dan menerima keinginannya untuk mencari wanita pendonor sel telur. Tapi sayangnya, semakin ia memikirkan cara yang tepat, semakin ia tidak menemukan jawabannya. "Ternyata membujuk wanita yang sangat terluka ternyata tidak mudah." Dengusnya lelah lalu meletakkan bolpointnya. Raleigh beranjak dari duduk lalu menatap lalu lalang kendaraan dari balik kaca jendela ruang kerja. Kepalanya pening memikirkan ini semua sedang ia tidak memiliki teman mengobrol karena Gerard masih sibuk bekerja di kasir. Ia mengambil ponsel lalu mengurungkan niatnya menghubungi Celia. Dia berani taruhan jika istrinya itu masih marah dan tidak mau menjawab panggilannya. Tapi, jika tidak menghubungi Celia, maka Raleigh pantas disebut suami yang terlalu!! "Halo?" Senyum Raleigh pudar karena ponsel Celia dijawab oleh Valerie. "Halo.
"Aku tidak sabar ingin bertemu dan berbicara banyak hal Wil." "Ya ampun Cel, kita bisa melakukan video call setiap saat jika kamu merindukanku." Celia menggeleng dengan mengerucutkan bibirnya. "Aku ingin bertemu lalu kita menonton film bersama. Hal yang sering kita lakukan saat kuliah Wil." Laki laki itu terkekeh. "Kamu ini sudah menjadi istri orang, dan kamu masih suka menonton film?" Celia mendengus kesal. "Jangan membicarakan pria pengkhianat itu lagi Wil. Aku mau bersenang senang denganmu, melupakan hal yang membuatku tidak bisa tidur." "Ayolah Celia, jangan seperti anak SMA baru putus cinta. Kamu memiliki florist yang harus dikelola, lebih baik menyibukkan diri di toko bunga." "Kamu tidak tahu Wil, aku benci toko bunga itu. Itu pemberian pria brengsek itu." Ucap Celia mencibir. Tanpa Celia sadari, di belakangnya, Raleigh menahan kepalan tangan hingga giginya beradu geram. Saking geramnya hingga urat urat di tangan liatnya itu tercetak jelas. Sebagai seorang pria sekaligus
Valerie menyadari keputusasaan Raleigh saat mengetahui Celia memutuskan menghubungi mantan kekasihnya ditengah prahara rumah tangga mereka yang belum reda. Baginya, Celia terlalu egois tanpa melihat ketulusan Raleigh. Ia juga menyadari keinginan Raleigh yang buru-buru ingin menyelesaikan masalah rumah tangga mereka sebelum menjadi bom waktu. "Bagaimana kalau kita dengarkan penjelasan Celia? Siapa tahu yang ia hubungi bukanlah William. Siapa tahu Wil yang ia maksud adalah Willy, Wilsa, atau Wilmarie." Raleigh menatap rerumputan hijau dihadapannya dengan pandangan kosong. "Ral, Celia perlu didengar dan dipahami. Aku akan membantumu memahami kebutuhan terdalam dan perasaannya. Jangan menyerah seperti ini. Apa kamu tidak sayang dengan perjuanganmu selama ini?" Valerie menepuk dan mengusap pundak Raleigh untuk memberi kekuatan dan kenyamanan. "Aku mencintainya Vale, berusaha memahaminya tapi bukan berarti ia bebas menarik ulur kesungguhanku. Lebih baik aku memberinya waktu untuk me
Celia sudah kembali ke rumah dengan Raleigh yang selalu berada di sampingnya. Sebelumnya mereka menyempatkan waktu makan malam bersama atas ide Valerie kemudian diteruskan oleh Raleigh. Bukan makan malam super romantis, hanya sebuah makan malam penuh kehangatan untuk saling mengutarakan kerinduan dan harapan hubungan rumah tangga mereka ke depan setelah berseteru. Setidaknya Raleigh akhirnya mengerti bahwa dirinya harus bersabar dengan kondisi yang ada dan belajar menekan ego. "Apa ini?" Setelah menyodorkan ponselnya, Raleigh ikut duduk di sofa ruang tengah yang menghadap televisi bersama Celia. Kini mereka tengah bersantai di rumah. "Ral?" Beo Celia tidak percaya dengan menatap Raleigh. "Do you like it honey?" Celia mengangguk bahagia lalu memeluk Raleigh. Ia tidak menyangka jika suaminya itu sangat pandai mengambil hati. "Kapan kita akan kesana Ral?" Raleigh meraih ponselnya lalu menekan tombol riwayat reservasi. "Dua bulan lagi. Bulan Juli akan menjadi bulan bunga bung