***"Gimana kondisinya, Dokter?"Pertanyaan tersebut langsung dilontarkan Arka pada dokter Septa yang baru saja menyelesaikan pemeriksaan pada Aludra.Hampir dua puluh empat jam pasca operasi, Aludra akhirnya sadar tepat pukul dua siang. Tak ada siapa-siapa, di ruangan rawat hanya ada Arka yang selalu setia menemani istrinya itu karena sampai saat inu Amanda juga Dirga masih berada di Jakarta setelah pemakaman Alula pukul sepuluh siang tadi."Stabil, Pak," kata dokter Septa. "Bu Aludra tinggal menjalani pemulihan saja. Kalau kondisinya cepat pulih, seminggu dari sekarang Bu Aludra bisa pulang.""Enggak ada yang aneh, kan?" tanya Arka memastikan."Tidak ada, Pak. Semua organ vital Bu Aludra baik-baik saja—termasuk hatinya," kata dokter Septa meyakinkan. "Makan makanan yang bergizi juga istirahat yang cukup bisa membantu memulihkan kondisi.""Oh baik, terima kasih dokter.""Sama-sama, Pak. Kalau begitu, saya permisi.""Iya," jawab Arka.Dokter Septa juga beberapa rekan medisnya pergi me
***"Udah semua masuk, Ar?""Udah, Pa."Arka yang sejak tadi mengemasi barang-barang segera mengumpulkannya di dekat sofa. Pukul sepuluh pagi—setelah menjalani pemeriksaan, Aludra akhirnya dipersilakan pulang oleh dokter Septa yang menilai kondisinya sudah cukup baik.Sebenarnya tentang kepulangan Aludra sudah diberitahukan sejak kemarin, tapi tetap saja pagi ini keadaanya harus benar-benar diperiksa lebih dulu untuk menghindari sesuatu yang tak diinginkan.Tak sampai seminggu, Aludra hanya menjalani pemulihan pasca operasi selama lima hari saja karena memang kondisinya sangat cepat membaik—mengingat betapa perhatiannya Amanda juga orang-orang disekitarnya pada istri Arka tersebut kecuali Aurora.Ya, hampir lima hari Aludra sadar, tak sekali pun Aurora datang untuk menjenguk putri bungsunya itu dan alasannya tentu saja karena dia belum siap.Aurora belum siap bertemu Aludra karena semua itu akan membuatnya kembali mengingat Alula dan mau tak mau Dewa pun membiarkan semua itu.Tak mau
***"Regan, Raiden, kita beli sesuatu buat aunty yaaaa!"Mendudukkan Raiden juga Regan di car seat, Aludra terlihat begitu antusias sore ini. Hari sabtu, Aludra mengajak Arka pergi ke Mall untuk membeli sesuatu setelah sang suami mengajaknya ke Jakarta hari minggu besok.Sampai detik ini—hari keenam Alula meninggal, Aludra masih belum tahu mengenai kenyataan pahit yang sebenarnya terjadi karena memang semua anggota keluarga sepakat untuk memberitahu semuanya besok.Tepat di hari ke tujuh Alula meninggal.Rencana yang disusun besok adalah; Amanda akan berangkat terpisah menuju Jakarta bersama Regan juga Raiden, sementara Arka akan membawa Aludra ke Sandiego hills untuk mengunjungi pusara Alula.Berat sebenarnya bagi Arka membawa Aludra ke tempat peristirahatan Alula, tapi apa boleh buat? Secepatnya Aludra harus tahu karena memang tak mungkin kepergian Alula terus dirahasiakan dari Aludra."Padahal kayanya kita enggak perlu beli sesuatu buat Alula, Ra," kata Arka saat Aludra masuk ke mo
"Sarapannya yang banyak, Mas. Kamu kan mau nyetir jauh."Sekali lagi, Aludra menyendokkan nasi goreng yang dia buat ke piring Arka—membuat pria itu mendesah karena nasi di piringnya pun masih banyak."Nanti enggak habis, Ra.""Harus habis," kata Aludra. "Supaya enggak capek di jalan nanti.""Kamu tuh."Minggu pagi ini Aludra terlihat bersemangat. Bangun pukul empat pagi, dia langsung menyiapkan semua baju yang akan dibawa menuju Jakarta karena memang rencananya Aludra ingin menginap di sana untuk beberapa hari.Aludra bersemangat, Arka justru sebaliknya. Rasa takut juga khawatir kini semakin merongrong hatinya. Sungguh, Arka belum siap melihat bagaimana hancurnya Aludra nanti ketika tahu yang sebenarnya terjadi."Nih aku udah makan banyak lagi," kata Aludra sambil menunjukkan nasi goreng di piring. "Kamu mau aku makan banyak, kan?""Iya, makan yang banyak. Biar cepat sembuh.""Terus ngasih asi lagi ke si kembar," kata Aludra. "Kalau bisa aku pengen makan sekaligus aja deh tuh obat su
***"Ini maksudnya apa?"Aludra memandang Arka penuh tanya. Pria itu terlihat menunduk sambil memandangi pusara Alula, sementara tangan kanannya mengusap hidung yang sedikit memerah karena cairan bening berlahan berkumpul di pelupuk mata."Mas, kok diem?" tanya Aludra dengan perasaan yang semakin tak menentu. "Aku tanya, ini maksudnya apa? Kenapa nama Kak Lula ada di nisan ini."Arka menghela napas lalu memberanikan diri untuk menoleh pada Aludra."Kok nangis?" tanya Aludra."Kamu mau ketemu sama Alula buat berterima kasih, kan?" tanya Arka. "Silakan berterima kasih sekarang.""Maksud kamu?""Alula," ucap Arka tercekat, seraya memperintens tatapannya pada Aludra. "Dia udah enggak ada, Ra. Alula—kakak kamu udah meninggal."Percaya? Tentu saja tidak. Tak langsung menangis, Aludra justru tersenyum—bahkan terkekeh setelah mendengar kabar dari sang suami yang menurutnya terlalu tak masuk akal."Bercandanya enggak lucu, Mas," kata Aludra. Dia kemudian mengedarkan pandangannya—mencari kamera
***"Akhirnya sampai juga."Berhasil menenangkan Aludra di pemakaman, Arka langsung mengajak istrinya itu untuk melanjutkan perjalanan ke Jakarta setelah sebelumnya Aludra kembali ke pusara Alula untuk memanjatkan doa lalu menyimpan dua buket bunga di dekat batu nisan sang Kakak."Kita sampai, Sayang," kata Arka pada Aludra yang sejak tadi memandang ke luar jendela. "Ra.""Sekarang kalau ke sini, aku enggak akan ketemu lagi sama Kak Lula," gumam Aludra. "Padahal halaman rumah ini jadi saksi aku sama dia tumbuh. Halaman ini tempat favorit aku sama dia main.""Nanti kamu bisa main lagi di sini kok kalau mau," kata Arka. "Mau main apa? Main bola? Basket, lompat tinggi atau apa?"Aludra menoleh. "Main sama siapa?" tanyanya."Sama aku.""Ck." Aludra mengukir senyuman miring sambil berdecak."Sekarang kita turun ya," kata Arka. "Mama Rora sama Papa Dewa pasti udah nungguin kamu banget.""Mama," gumam Aludra. "Aku takut.""Takut kenapa?""Aku takut Mama benci sama aku," kata Aludra. "Karena
***"Bismillah."Duduk di pinggir kasur bersama Aurora, dengan sangat hati-hati Aludra membuka lipatan kertas berisi surat yang dituliskan Alula untuknya, lalu di detik itu dia dan Aurora mulai membaca tulisan tersebut dengan sangat pelan.Teruntuk adik kesayangan aku, Aludra:))Hai, Ra. How are you?Kalau seandainya surat yang Kakak tulis malam ini akhirnya sampai ke tangan kamu, itu berarti Kakak udah enggak ada di samping kamu ya, cantik.Pertama-tama, Kakak mungkin mau mengucapkan maaf sama kamu karena kepergian Kakak pasti bikin kamu sama yang lainnya kecewa.Maaf ya, Ra. Kakak enggak sekuat yang kamu kira. Padahal, Kakak udah janji buat ada di samping kamu waktu kamu sembuh—bahkan Kakak janji buat keliling duni sama kamu.Ra, kamu tahu? Bisa menjadi donor buat kamu itu sebuah kebahagiaan tersendiri buat Kakak karena dengan begitu Kakak bisa menebus setidaknya secuil kesalahan Kakak sama kamu.Selama ini Kakak bukan Kakak yang baik buat kamu. Kakak bisa dibilang saudara yang palin
***"Mas, bantuin dulu dong! Ini Regannya enggak bisa diem!"Arka yang baru saja memanaskan mobil bergegas menuju kamar ketika teriakan Aludra terdengar dari sana.Membuka pintu, dia tersenyum melihat kedua tangan sang istri sibuk memegang kedua putranya. Tangan kanan memegang Regan yang berniat pergi, sementara tangan kiri menahan tubuh Raiden agar tidak terbalik ketika Aludra sedang memasangkan tuxedo.Dua bulan berlalu, semuanya mulai kembali baik-baik saja. Ikhlas dengan kepergian Alula, Aludra mulai menatap kembali hidupnya bersama Arka dan keluarganya yang lain.Tak lagi tinggal di Bandung, Aludra dan Arka sepakat tinggal di Jakarta bersama Aurora dan Dewa agar sang mama tak merasa kesepian setelah kepergian putri sulungnya."Bantu apa?" tanya Arka setelah dia berdiri di samping Aludra."Ini pegangin Regannya, aku bajuin dulu Raiden," kata Aludra. "Enggak bisa diem banget dia tuh. Kaya kamu.""Lho kok kaya aku?" tanya Arka."Karena emang kaya kamu," ucap Aludra."Ck." Arka berd