***
"Ini kamu enggak ada niatan bantu aku bawa koper gitu?"Aludra yang melenggangkan kakinya lebih dulu setelah turun dari taksi, lantas menoleh ketika pertanyaan itu dilontarkan Arka yang kerepotan membawa dua koper sekaligus.Menempuh perjalanan tujuh jam lebih, pukul lima sore keduanya sampai di Seoul. Menggunkanan taksi, Arka membawa Aludra menuju hotel yang sudah disiapkan Dewa untuk mereka selama berada di negeri ginseng tersebut.Bukan hotel biasa, tentu saja hotel yang disiapkan Dewa adalah hotel berbintang yang memiliki fasilitas luar biasa juga pelayanan yang sangat baik."Berat," jawab Aludra enteng. "Lagipula kamu kan laki-laki, terus kamu suami. Jadi kamu aja yang bawa ya."Tak menjawab, Arka hanya menatap Aludra lalu menghembuskan napas kasar. Setelah itu, dia memilih berjalan melalui gadis itu untuk menuju meja resepsionis dengan segera.Menunjukan bukti pemesanan hotel, Arka terbebas dari dua koper berat yang sejak tadi dia bawa karena koper tersebut langsung dibawa petugas hotel menuju lantai empat—tempat kamar mereka berada.Namun, tentunya bebasnya Arka dari koper tak membuat dia bisa berjalan tanpa beban karena kini, tepat ketika dia dan Aludra sampai di depan lift, Arka yang berjalan lebih dulu tiba-tiba saja berhenti ketika Aludra memanggilnya."Arka," panggil Aludra. Namun, Arka hanya berhenti tanpa menoleh. "Arka kok enggak noleh?""Yakin manggilnya mau Arka aja?" tanya Arka.Aludra terdiam untuk mencerna ucapan Arka, hingga tak lama dia tersadar jika memang ada yang kurang. "Mas Arka," panggilnya kemudian, dan Arka menoleh."Ya?""Capek," keluh Aludra sambil memegangi kedua lututnya. Padahal, dia berjalan belum mencapai satu kilometer. Namun, tentu saja Aludra yang jarang sekali bergerak membuatnya mudah merasa lelah."Terus?" tanya Arka. "Kalau capek aku harus apa?"Cukup sebal karena ucapan Aludra di pesawat tadi, Arka kini sengaja bersikap cuek pada gadis itu agar Aludra tak selalu menuduhnya yang tidak-tidak."Masa enggak peka?" tanya Aludra."Kamu mau apa?" tanya Arka. "Lagipula kita tinggal naik lift, enggak harus jalan. Ayo.""Enggak mau, capek," kata Aludra."Alula.""Kamunya sini," pinta Aludra."Mau apa?""Sini aja dulu," ucap Aludra.Menghela napas, mau tak mau Arka kembali menghampiri Aludra lalu berdiri di depannya. "Mau apa?" tanyanya."Balik badan," pinta Aludra."Mau ngapain?" tanya Arka."Udah balik badan aja buruan," perintah Aludra."Jangan aneh-aneh," pinta Arka sebelum menuruti permintaan Aludra."Iya enggak," ucap Aludra. "Ayo balik badan.""Oke."Tanpa banyak bicara, Arka berbalik badan sehingga kini posisinya membelakangi Aludra. Tersenyum, Aludra memandang punggung tegap Arka lalu meminta pria itu berjongkok."Mas Arka jongkok," pinta Aludra."Kamu sebenarnya mau apa sih, La?" tanya Arka semakin tak paham."Jongkok aja Mas, jangan banyak tanya," perintah Aludra."Awas aja kalau macam-macam," ancam Arka ketika perlahan dia merendahkan posisi hingga akhirnya dia berjongkok di depan Aludra yang tiba-tiba saja mengalungkan kedua tangan di leher Arka—disusul tubug Aludra yang kini menimpa punggungnya—membuat Arka yang tak siap, hampir saja tersungkur jika tak langsung menyeimbangkan diri."Kamu bikin kaget!" ujar Arka."Maaf," ucap Aludra sambil terkekeh."Sekarang kamu mau ngapain nempel-nempel di punggung aku?" tanya Arka kemudian."Gendong," pinta Aludra singkat."Hah?""Gendong Mas Arka, aku capek," rengek Aludra yang rasanya sudah tak kuat lagi berjalan lebih jauh."Lula.""Gendong atau aku akan terus diem di sini sampe malam?" tanya Aludra."Kamu ini udah dewasa lho, masa kaya gini?" tanya Arka. Sekarang, ucapan Amanda kembali terngiang di pikirannya.'Alula itu gadis mandiri. Dia enggak manja.'Hoax. Setelah menikah, Arka akan menyimpulkan jika apa yang diucapkan Amanda hanyalah sekadar hoax belaka, karena nyatanya tak ada sisi mandiri sedikit pun dari perempuan yang kini masih setia menempel di punggungnya itu.Ah, sekarang Arka jadi berpikir, apa dirinya sudah ditipu? Apa semua cerita yang dikatakan Amanda tentang Alula semuanya bohong, agar Arka mau menikah dengan gadis itu?Jika iya, Amanda tega. Bagaimana bisa dia menipu anaknya sendiri agar mau menikah dengan gadis manja seperti ini."Emangnya kalau capek mandang dewasa enggaknya seseorang?" tanya Aludra. "Mau dewasa atau enggak, kalau capek tetep capek kali.""Iya tapi kan-""Jadi enggak mau?" tanya Aludra. Merajuk. Dia mengedarkan pandangannya hingga tak lama seorang pria tak sengaja melintas. Dari wajah, pria tersebut terlihat seperti seorang turis luar negeri karena wajahnya yang bule. "Excuse me."Berhenti, pria tersebut memandang Aludra penuh tanya. "Yes, what's wrong?" tanyanya."I'm tired, can you carry me up? (Saya lelah, bisa anda gendong saya ke atas?""Sorry?""Alula," ujar Arka yang langsung menarik tangan Aludra untuk menjauh. "Kamu apaan sih?!""Ya abisnya kamu enggak mau gendong aku," ucap Aludra."Iya tapi enggak minta gendong sama orang asing juga, Lula," kata Arka tak habis pikir."Terserah aku dong," jawab Aludra acuh. "Udah ah, aku mau nyamperin dia lagi."Berniat pergi, Aludra justru berbalik ketika tangan Arka menarik tangannya untuk kembali mendekat lalu di detik yang sama, Arka meraih tubuh Aludra dan menggendongnya. Tak di belakang, Arka menggendong Aludra di depan dengan gaya bridal style—membuat jarak wajah keduanya cukup dekat."Diam," pinta Arka. "Kamu itu udah punya suami, jangan genit.""Ya tapi kan-"Dihadapkan dengan wajah tampan Arka dengan jarak sedekat ini membuat Aludra dilanda kegugupan, tak tahu kenapa. Tidak munafik, sebagai perempuan normal, Aludra cukup mengakui ketampanan Arka yang tidak manusiawi itu."Jangan banyak protes," pinta Arka yang kini melangkahkan kakinya menuju lift yang kebetulan terbuka. Hanya berdua tanpa ada siapapun lagi, Arka memilih untuk mengarahkan pandangannya lurus ke depan, sementara Aludra masih memandangi wajah tampan Arka.Sebenarnya niat Aludra meminta Arka menggendongnya memiliki dua tujuan yaitu; dia memang benar-benar lelah, dan yang kedua dia sengaja ingin merusak image Alula di depan Arka sebagai bentuk kekesalannya pada sang kakak karena sudah menjadikan dirinta tumbal, sementara Alula bebas di luar negeri sana.Aludra memang sudah menyetujui untuk menggantikan peran Alula menjadi istri Arka, tapi tetap saja di hatinya ada sedikit rasa kesal dan untuk melampiaskan rasa kesalnya, Aludra akan membuat image Alula jelek di mata Arka agar nanti ketika kembali, Alula sibuk memperbaiki imagenya di depan Arka."Arka," panggil Aludra ketika kini dia dan Arka masih ada di dalam lift."Lupa terus," celetuk Arka."Ah iya, Mas Arka," kata Aludra."Apa?""Waktu dijodohin, kenapa kamu enggak nolak?" tanya Aludra yang tiba-tiba saja penasaran dengan sikap penurut Arka. Padahal, biasanya kebanyakan pria selalu membantah ketika dijodohkan oleh kedua orang tuanya."Kenapa tanya itu?""Pengen aja, penasaran soalnya," kata Aludra.Arka terdiam sejenak—mencoba berpikir untuk mencari jawaban yang tepat, karena jika dia bicara yang sebenarnya, Arka takut Aludra tersinggung."Kenapa?" tanya Aludra karena Arka yang tak kunjung menjawab. "Bukan karena enggak laku, kan? Kamu ganteng, masa enggak laku.""Bukan," jawab Arka."Terus kenapa?""Kamu enggak perlu tau," jawab Arka yang akhirnya memutuskan untuk tak bicara jujur."Ih gitu," kata Aludra kecewa. Hening. Aludra nampak berpikir, hingga tak lama dia tiba-tiba saja teringat dengan sebuah novel yang pernah dia baca.Selain tukang nonton drakor, Aludra juga suka membaca novel."Mas Arka.""Apa?""Kamu ... ""Kamu apa?" tanya Arka sambil menunduk—memandang Aludra."Normal, kan?""Maksud kamu?""Hm." Aludra bergumam. "Kamu ... enggak impotent, kan?""Hah?!"“Ih, enggak aktif!”Menatap kesal layar ponselnya, Aludra yang sejak tadi tidur dengan polisi telungkup lantas bergerutu ketika ternyata nomor Alula sudah tak bisa dihubungi. Padahal, dia ingin sekali menelepon kakaknya itu untuk menanyakan bagaimana kabar dia di London dan tentu saja Aludra juga ingin menuntut permintaan terima kasih dari sang kakak untuk semua jasanya yang sudah legowo menggantikan posisi sang kakak menjadi istri Arka—pria yang saat ini dia cap sebagai pria menyebalkan.Ya, bagi Aludra, Arka itu menyebalkan. Meskipun baik, tetap saja menyebalkan. Arka tampan, tapi tetap saja dia menyebalkan. Pokoknya Arka itu menyebalkan.“Ini gimana mau tanya-tanya kalau nomor Kak Lula aja enggak aktif.”Beringsut, Aludra mengubah posisinya menjadi duduk. Mengedarkan pandangan, dia menatap jam dinding yang ada di kamar hotel. Pukul delapan malam, dan Arka belum kembali dari luar setelah setengah jam yang lalu berpamitan untuk mancari makan.Sebenarnya Arka mengajak Aludra keluar un
***"Lu, itu kamu seriusan enggak apa-apa?"Berdiri dengan wajah khawatir, Arka sama sekali tak beranjak dari depan pintu kamar mandi—menunggu Aludra yang kini menghabiskan waktunya di dalam sana.Makanan pedas memang sangat manjur untuk Aludra. Hanya makan satu buah corndog dengan saus pedas, Aludra harus menerima resikonya.Sakit perut. Hanya berselang setengah jam setelah menyantap corndog tersebut, Aludra langsung merasakan sakit di perutnya dan tentu saja setelah itu, dia diare karena memang begitulah yang sering terjadi jika Aludra nekad menyantap makanan pedas.Ah, Alula. Dia harus tahu kalau demi dirinya, Aludra rela mengalami hal seperti ini."Sakit perut," jawab Aludra dari dalam kamar mandi."Mau ke dokter?" tanya Arka. "Kalau mau yuk, aku antar.""Enggak mau, mager," ucap Aludra. Sesakit apapun dirinya, kata mager tetap yang utama diucapkan Aludra karena memang selain mager, dia tak terlalu suka tiga hal. Rumah sakit, dokter, dan obat-obatan tentunya."Aku takut kamu kenap
***"Hati-hati.""Iya."Setelah sehari kemarin hanya berdiam diri di hotel karena Aludra yang masih lemas setelah sakit perut yang mendera. Hari ini, hari kedua di Seoul, Arka mengajak gadis itu untuk keluar.Tak pergi jauh, pagi ini—sekitar jam sembilan waktu setempat, Arka membawa Aludra ke Namsan tower—menara ikonic di kota Seoul yang cukup terkenal di kalangan turis lokal maupun mancanegara."Kenapa kita turun di sini?" tanya Aludra. "Harusnya kan di halte yang deket tempat sewa cable car.""Emang siapa yang bilang kalau kita mau naik calbe car?" tanya Arka, yang membuat Aludra menautkan kedua alisnya."Lah, kan emang naik itu," jawab Aludra yakin. Bukan sekali dua kali berkunjung ke Namsan tower, rasanya Aludra cukup hafal bagaimana caranya naik ke puncak dan setiap berlibur bersama kedua orang tuanya juga Alula, dia selalu menggunakan cable car. "Aku kalau sama Papa ke sini, suka naik itu, dan kalau naik bis, kita turun di halte yang tadi. Aku lupa ingetin.""Itu kalau kamu jala
***"Minum."Menoleh, Arka memandang Aludra yang baru saja kembali sambil membawa dua botol air mineral di tangannya.Masih dengan napas yang terengah-engah, Arka mengambil botol minum bertutup hijau dari Aludra lalu meneguknya hingga habis setengah. Lelah? Tentu saja.Menaikki satu-persatu undakkan tangga sambil menggendong Aludra nyatanya bukan sesuatu yang mudah. Terlebih lagi, jarak yang dia tempuh dari bawah menuju atas juga tidaklah dekat."Capek ya?" tanya Aludra setelah dirinya duduk di samping Arka.Saat ini keduanya sedang duduk di sebuah bangku panjang yang menghadap langsung ke pagar pembatas dengan hiasan ribuan gembok di sana.Gembok cinta. Begitulah panggilan orang-orang pada tempat di mana Arka dan Aludra berada sekarang. Di sana, ribuan gembok dari berbagai warna juga bentuk menggantung. Bertuliskan nama seseorang dan pasangan, mereka semua meyakini dengan menggantung gembok di sana, hubungan yang dijalani akan langgeung."Mas Arka aku tanya, kamu capek?" tanya Aludra
***"Alula bangun, Alula."Aludra yang sejak sore tadi tertidur, lekas membuka mata ketika Arka membangunkannya. Dia yang tidur dengan posisi telungkup lantas menyipitkan mata—memandang Arka yang kini terlihat rapi dengan kemeja garis-garis berwarna biru."Apa?" tanya Aludra dengan suara yang parau."Bangun, kita pergi," ajak Arka."Ke mana? Males ah, capek. Kaki aku pegel.""Aku mau nemuin temen aku," ungkap Arka. "Kebetulan dia tinggal di sini sama istrinya.""Terus ngapain kamu bangunin aku?" tanya Aludra. "Ya karena kamu harus ikut," ucap Arka. "Meskipun temen aku enggak datang, dia tahu aku udah nikah dan dia pengen ketemu sama kamu.""Temen kamu cowok?""Ya iyalah, kan tadi aku udah bilang dia punya istri. Masa cewek?""Oh." Menjawab singkat, yang dilakukan Aludra justru tak bangun. Masih mengantuk, dia menutup kembali matanya dan tentu saja semua itu membuat Arka berdecak."Alula.""Apa sih? Berisik banget.""Bangun, cantik. Mandi. Abis itu kita pergi," ajak Arka untuk yang ke
***"Minum.""Thanks."Mengambil segelas teh manis yang disajikan sang sahabat, Arka meneguk teh manis tersebut lalu menyimpannya kembali di meja.Sudah hampir setengah jam Arka di apartemen Dika—sahabatnya. Mengobrol dan sedikit bernostalgia, entah kenapa perasaan Arka tiba-tiba saja tak enak. Dia teringat Aludra.Sedang apa dia? Apakah masih tidur atau sedang apa? Ah, Arka jadi ingin pulang."Dik," panggil Arka."Ya ka?""Aku kayanya mau pulang sekarang," ungkap Arka yang tak bisa lebih lama lagi meninggalkan Aludra, karena kini perasaannya semakin tak enak."Lah, cepet banget Ka?" tanya Dika. "Belum juga satu jam.""Aku enggak bisa ninggalin istri aku lama-lama, takut ada apa-apa," ungkap Arka."Dasar pengantin baru, maunya nempel terus ya.""Begitulah," jawab Arka. Mengambil ponsel yang semula dia simpan di atas meja, Arka beranjak dari sofa lalu berpamitan pada sahabatnya itu.Keluar dari apartemen, Arka bergegas menuju lantai bawah. Tak akan menggunakan bus, Arka memilih taksi u
***"Jadi Mbak awalnya kerja di sini?"Perempuan berambut sebahu yang kini duduk di samping Aludra lantas menganggukkan kepalanya ketika pertanyaan tersebut dilontarkan Aludra.Setelah menolong Aludra dari para preman nakal yang menggodanya, perempuan bernama Rania itu setuju saat Aludra mengajaknya ke tempat street food untuk membeli camilan malam.Duduk di bangku yang ada di sana, keduanya kini menyantap corn dog sambil mengobrol. Selain itu, Aludra juga menunggu kedatangan Arka yang akan menjemput setelah dia menelepon pria itu dan menceritakan kejadian yang baru saja menimpanya barusan."Iya," jawab Rania. "Cuman ya itu, bos saya enggak bertanggungjawab. Dia fitnah saya mencuri di rumahnya. Alhasil saya dipecat, dan sekarang saya bingung. Enggak punya uang buat kembali ke Indonesia.""Kasian banget," ucap Aludra. Sambil menyantap corn dognya, dia menatap Rania iba. Ingin sekali membantu, tapi sepertinya Aludra butuh persetujuan Arka lebih dulu.Meskipun sebenarnya, tanpa bantuan Ar
***"Jadiin dia asisten rumah tangga?"Mengerutkan kening, Arka yang saat ini sedang berdiri sambil melepaskan kancing kemeja di depan cermin, lantas menoleh dan membalikkan badannya lalu menatap Aludra yang duduk di kursi, ketika pernyataan tentang Rania yang akan dijadikan asisten rumah tangga diucapkan gadis itu."Iya," jawab Aludra. "Sebagai ucapan terima kasih karena udah nolong, rencananya aku mau biayain dia pulang ke Indonesia terus mempekerjakan Mbak Rania di rumah baru kita nanti. Gimana, briliant kan ide aku?""Enggak," jawab Arka singkat. Selesai membuka kancing, Arka melepaskan kemejanya lalu menyimpan kemeja garis-garis itu di tempat yang tersedia. Setelah itu, dia berjalan dan menarik kursi untuk duduk di samping Aludra yang kini tengah menyantap fish cakenya. "Menurut aku itu enggak briliant sama sekali.""Kenapa?" tanya Aludra sambil menautkan alis. "Dia kan udah nolongin aku, Mas. Coba bayangin kalau Mbak Rania tadi enggak nolongin, pasti aku udah diapa-apain sama m