"Lo ngapain, Bege!" Kutarik Nabas dari kerumunan. Jariku yang bebas seolah menghitung. Mungkin ini yang ke tujuh atau delapan kali ngebawa Nabas ikut denganku.
Sepertinya mudah sekali untuknya naik sebagai Casanova dalam pekerjaan ini. Iri? Enggak. Aku malah kasihan kalau dia tenggelam.
"Berapa kali sih lo nggak berakhir ngesek?" Aku mencercanya begitu keluar dari ruangan yang enggak lebih seperti pesta seks liar. Kaget juga karena ternyata Nyonya justru mengarahkan kami ke acara laknat.
"Kenapa? Lo enggak bisa? Lo impoten? Atau lo homo?"
Aku mengulum bibir, memainkan lidah dalam rongga, sekadar menahan ucapan selama Nabas menyelesaikan celaan sambil tertawa. Kepalan di sisi tubuh sudah mengeras sempurna, menunggu dilontarkan.
"Selesai?"
Nabas enggak ngejawab. Mata merahnya terlalu fokus untuk membenciku.
Aku meregangkan kepalan sesaat, berbalik seolah menjauh. Nyatanya, aku cuma ambil ancang-ancang untuk meninjunya lebih kuat.
"Bangsat! Sadar, Bas! Pacar lo dikemanain?"
Hingga tubuhnya yang bersandar di dinding luar toilet, rebah. Aku masih belum puas meski menendangnya sampai remuk.
Nabas enggak minta maaf atau membalas. Dia terkekeh, menertawakan emosiku yang sebenarnya mudah tersulut.
Aku enggak puas. Justru ngerasa bersalah. Di satu sisi, aku bersalah membawanya masuk dalam duniaku, justru jauh tenggelam lebih dari batas yang kujaga. Di sisi lain, Nyonya bakal motong komisiku lagi karena bikin salah satu asetnya mungkin tidak menghasilkan dalam beberapa hari ke depan.
"Ayo, pulang!" Aku benar-benar berhenti. Berjongkok di depannya dan mengulurkan tangan.
Nabas menepis dengan kasar. Berusaha berdiri lalu jatuh lagi.
"Oh! Ayolah! Lo enggak bakal bisa berdiri." Aku memaksa untuk memapahnya. Mau enggak mau Nabas harus mengikuti.
Aroma tubuhnya mengerikan. Antara keringat dan alkohol. Syukur enggak muntah.
Mau kuantar pulang, tapi ibunya pasti bakal khawatir. Akhirnya taksi online malah ngantar ke kos. Nabas sudah lelap, lebih banyak mengigau tentang bapaknya yang kejam. Entah soal pukulan, atau pengusiran.
"Bapak, ya? Gue bahkan enggak tau Abah di mana sejak pergi. Nikah lagi, mungkin? Atau mati? Dia enggak pernah kembali." Tanpa sengaja aku menggumam, menggerutu atas hidup ketika dia mengeluh hal yang sama.
Aku sempat kenal Abah sampai masuk bangku sekolah dasar. Itu juga jarang ketemu. Bisa dihitung dalam setahun.
Ketika taksi berhenti, aku malah bingung gimana ngebawa Nabas. "Bisa bantu, Pak? Teman saya ketiduran."
Beruntung sopirnya mau bantu. Nabas punya perawakan lebih tinggi dan lebih berat, terutama dosanya. Njir, sempetnya mikirin dosa. Kesel soalnya.
Lampu depan rumah di samping kos menyala. Bisa kulihat cewek di belakang jendela menggeser tirai. Tidak perlu waktu lama untuk melihatnya mengejar keberadaanku.
"Aksa? Siapa?" Mata Sara terlihat tidak tenang, bergantian menelisik Nabas yang enggak sadar atau menunggu jawaban dariku.
Begitu Nabas sudah nyampai kasur, giliranku membayar sopir taksi dan memaksa Sara keluar dari kamar.
"Temen lo, Sa?"
Pertanyaan cewek itu enggak kujawab. Rasa ingin tahunya terlalu memuakkan. Bahkan ketika aku kembali dalam kamar saja, dia masih mengikuti.
"Aksa! Lo enggak bisu, kan?" Sara menahan pintu lagi dengan dirinya seperti biasa.
Aku angkat tangan tanda menyerah, membiarkan dia melihat apa pun di dalam kamar. Sara mungkin pengin ngebantu, tapi jariku mengisyaratkan agar dia tetap diam di tempat.
"Gue baru liat kalau lo punya teman, Sa. Cakep lagi. Kayak oppa-oppa Korea."
Belum tahu aja dia kalau cowok kayak Nabas ternyata brengsek kuadrat. Kerjaannya main terus.
Ngepasin posisi dia biar nggak ngehabisin banyak tempat aja susah banget. "Kebanyakan dosa nih orang."
"Kakak kelas lo juga, Ra. Enggak tau?" Aku berceletuk saat mengambil handuk, melewati Sara ketika memasuki kamar mandi. Mungkin enggak serisi awal. Mungkin juga karena terlalu lelah menanggapi.
"Abis berantem? Kok lo enggak babak belur juga, Sa?"
"Harus?" tanyaku saat di kamar mandi, mencuci wajah yang terasa lengket. Jadi terdengar menggumam.
"Yah, enggak juga." Sara masih betah berdiri di dekat pintu ketika aku keluar dari kamar mandi tanpa atasan.
"Pulang sekarang."
Mendengar ucapanku, dia justru terkekeh. "Enggak ada yang bisa gue bantuin gitu?"
Aku kembali mendekatinya dengan menekankan kalimat, "Pulang. Sekarang."
Sara tidak lagi mundur seperti biasa jika aku mengancam. Kedua matanya tidak tenang seolah menghindari tatapanku secara langsung. Tubuhnya kaku tanpa gerakan berarti.
Mungkin dikira aku cuman ngancam doang.
"Pulang sekarang," ucapku sekali lagi, mengulang kata yang sama.
Nyatanya, aku mundur lebih dulu, menurunkan handuk dari kepala yang basah untuk dijemur di beranda.
"Gini, ya. Ini sudah larut. Apa kata orang tua lo entar kalau anak gadisnya malah main ke kamar cowok? Lo mau gue diusir?" Aku berusaha menjelaskan ketika mendorong cewek itu untuk keluar dari kamar.
Sara menggeleng cepat. Sesaat, dia hampir melangkah keluar sebelum berbalik, menarik pinggang celanaku untuk menempel pada tubuhnya.
Perlahan, kurasakan sapuan lembut di bibir bertahan hingga menutup mata.
Sekejap, dia berlari keluar, meninggalkanku yang mendadak bingung dengan keadaan.
Sara. Dia terlalu berani masuk dalam kehidupanku.
***
"Sudah bangun?"
Nabas menegakkan punggungnya pada sisi dinding saat kusodorkan susu cokelat. Dia memegangi kepala, mungkin efek minuman, mungkin juga meringis karena merasakan efek pukulan semalam.
"Gue di mana?" Nabas meraih gelas dari tanganku dan meneguk isinya perlahan.
"Tempat gue. Lo di sini aja dulu kalau enggak mau ke rs. Bagusnya lo ke rs aja, sih. Kali ada yang geser."
"Apaan?"
"Otak lo."
"Bangke!"
Aku tergelak mendengar umpatan Nabas. Dia sepertinya kembali tidur saat akan kutinggalkan berangkat ke sekolah.
Langkahku sempat berhenti ketika melihat Sara dari kejauhan, mengutak atik motornya yang mungkin enggak nyala juga kayak biasa.
"Sudah dibilangin. Lem biru udah."
"Apaan?"
"Lempar, beli baru."
Sara mendengkus, enggak nanggepin kayak biasa. Jadi ngerasa aneh.
Kugelengkan kepala, menepis dugaan kalau itu cuma perasaanku aja. Yang harus dilakukan sekarang, menggeser motor-motor yang menutupi jalan keluar si belalang, motor tipe trail milikku yang nganggur beberapa minggu terakhir.
Sempat terpaku pada sosok Sara ketika tanpa sadar bertemu tatap. Namun, kuputuskan lebih dulu dengan menertawakan perilakunya semalam dalam benak.
Kualihkan pandangan pada si belalang hijau yang baru menyala. Motor tipe trail yang dimodifikasi untuk jalanan kota. Joknya enggak luas kalau mau bawa penumpang, mepet.
Aneh.
Sara enggak minta tolong kayak biasa atau sekadar menumpang. Dia memilih masuk ke dalam rumah ketika aku melintas pergi.
Hanya beberapa meter. Kaca spion menunjukkan pantulan dirinya di belakang, melihatku dari kejauhan. Spontan, aku langsung memutar, menghampiri Sara yang hampir berbalik.
"Ikut?"
Ngerasa bodoh karena dadakan malah menawarkan diri. Bukannya biasa aku justru menghindari interaksi dengan siapapun?
"Ah?" Sara berbalik.
Senyum yang sempat berkembang kembali surut saat kubilang, "Enggak jadi."
"Eh? Tunggu!" Dia menarik pinggiran jaketku. Syukur belum sempat jalan. Apa jadinya kalau salah satu dari kami terjungkal.
Sara langsung mengambil helmnya dari parkiran dan naik ke jok belakang. Iya, yang sempit sisa sedikit itu.
Kenapa coba enggak manggil ojek aja? Lemotnya otakku pagi ini.
"Tadi malam ke mana?" Ternyata taraf keponya balik lagi.
Bahuku sempat naik ketika harus mengambil oksigen sebanyak mungkin. Helm full-face yang kukenakan rasanya terlalu sesak.
Kedua tangan Sara mulai melingkar di perut . Untuk sesaat terasa hangat. Apalagi ketika dia menyandarkan kepala di punggung. Risih sampai aku harus menghentikan laju motor ketika mencapai halte.
"Turun!" Aku berusaha melepas kedua tangannya dari tubuh.
Sosok Sara yang dipantulkan kaca spion menunjukkan jika dirinya menggeleng meski nggak bersandar lagi.
"Enggak mau?"
Dia masih menggeleng. Aku langsung turun, mencabut kunci motor, dan meninggalkannya. Helm yang kukenakan telah berpindah ke tangan sambil menekan ponsel di tangan lainnya.
"Aksa!" Sara mengejar, menghalangi langkahku dengan merentangkan tangan di depan.
"Bisa enggak sih lo punya harga diri daripada mepetin gue?" Enggak peduli harus ngomong langsung, aku harus tegasin.
"Harga? Lo sendiri gimana, Sa? Apa gue perlu bayar biar lo ngebalas perasaan gue?"
Kaget. Kalimat Sara membuat rahangku berasa tergantung saat terbuka. Bahkan panggilan dari ojek online di tanganku terabaikan.
"Lo-lo bicara apaan?" Aku melihat sekeliling. Jadi ngerasa diperhatiin banyak orang.
Belum lagi Sara melanjutkan pembicaraan, aku langsung mendahului, "Ojol-nya sudah datang. Lo sama dia aja entar. Udah gue bayarin."
Kutunjuk wanita berjaket hijau yang parkir di dekat motorku.
Sara langsung merengut, meneriakkan namaku setelah sadar aku meninggalkannya ketika kembali mengendarai si belalang.
***
"Ngebalas elo?" Tanpa sadar aku menertawakan ucapannya. Pulpen yang bergerak di tangan bukannya mencatat contoh di papan tulis, malah menggambar sketsa wajah.
Apa yang kulakukan?
Spontan sketsa yang terbentuk di permukaan kertas langsung kurobek dan menggumpalkannya, masuk dalam plastik sampah yang kusediakan. Nanti kalau istirahat baru buang ke tong sampah di luar.
"Ngebayar gue?"
Sial! Kepikir lagi.
"Emang dia sanggup?"
"Aksa Bagaskara!" Panggilan dari guru bahasa Inggris di depan menyadarkan. Refleks aku menoleh, menyadari beberapa teman bergumam tentang senyumanku.
Berarti aku beneran senyum yah tadi?
"Write the main clause and subordinate clause on the board!"
Aku memutar bola mata, mendengar kalimat perintah dari lelaki tua beruban itu. Logat lokalnya yang medok saat mengucapkan bahasa luar hampir membuatku sulit menahan tawa. Dia memintaku maju dengan menggerakkan telunjuknya.
"Induk kalimat? Anak kalimat?" Aku menggumam, mengulang pertanyaannya dalam bahasa untuk memastikan. Kubaca lagi susunan kalimat di papan tulis dan menaikkan sudut kanan bibirku.
"Ini mah pelajaran anak SD."
Pak ... Andre-tulisan pada seragam batiknya--memberikan spidolnya padaku untuk menuliskan jawaban. Aku enggak bisa mengingat nama dengan baik sebenarnya. Hanya beberapa yang rajin berinteraksi.
Sambil menulis, kuucapkan, "Mother watching television is the main clause, and subordinate clause is because she have to go to sleep. Sudah benar, Pak?"
Kukembalikan spidolnya sebelum kembali pada tempat duduk tanpa berkata apa pun lagi. Pengulangan pelajaran ketika berada di kelas dua belas terasa menjemukan.
Ketika pelajaran kembali membosankan, pemandangan yang terlihat di luar justru mengejutkan.
"Terima, kan?" Pertanyaan terakhir yang kudengar dari salah satu siswa menjadi pusat perhatian saat melintasi keramaian di pinggir lapangan ketika aku ingin ke toilet. Bisa kulihat cewek yang menjadi target memegang buket mawar besar. Dia menerima rangkaian bunga berikut beberapa kotak hadiah yang tidak bisa dipegang sendiri.Ngapain aku ikut nontonin mereka juga? Goblok banget, sih!"Aih, remaja sekarang. Apa enggak bisa cari tempat nembak yang lebih enak?" Aku menghela napas sambil memainkan lidah dalam rongga mulut. Asam. Melihat mereka di sana, terasa ada yang mengganjal, seolah menonjok di pangkal perut.Sialan! Ngapain juga kesel melihat acara sepasang manusia itu? Cewek itu sempat menoleh ke arahku. Tanpa peduli, kupercepat langkah yang sempat terhenti. Kedua tangan kumasukkan dalam saku untuk menghalau dingin yang mendadak datang merambati kulit. "Enggak penting banget!" gelengku sembari menuju toilet siswa.Begitu pintu toilet ditutup, aku duduk di kloset. Bukan buat buan
"Aksa, kan?" Kea langsung menyapa ketika duduk di sampingku. Pacarnya Nabas itu ikut menonton dan mengambil kacang dari toples yang kupegang. "Rajin mampir sekarang?" tanya Kea lagi sambil melepas ikatan rambutnya untuk dirapikan. Aku mengangguk, merebut remote dari atas meja lebih dulu sebelum Kea ngambil. "Jangan diganti." Enggak ada sofa di rumah Nabas. Cuma duduk lesehan sambil bersandar di dinding. Lantainya keramik, dingin. "Apaan? Sudah besar masih nonton film berantem," gerutu Kea. Dia mungkin bosan sampai memilih memainkan ponselnya sambil menunggu Nabas keluar. "Kamen rider. Yang ini punya Indo." Pacar Nabas menggumam, tidak tertarik. Kalau aku lama enggak nonton tayangan gini. Punya ponsel bisa aja streaming. Males doang ngehabisin kuota. "Nah, lo ngapain ke sini?" "Males di kos." "Lo ngekos?" Kea takjub mendengar jawabanku. Dia bilang, "Bapak enggak suka kalau gue enggak bisa diawasin." Tawa lolos dari mulutku, "Zaman gini? Lo pernah ngelanggar aturan kali sampa
"Kak Aksa enggak beneran sama Sara, kan?" Kedua tanganku terasa kebas, bersembunyi di belakang tubuh. Sengaja. Biar enggak gampang mukul. Cewek di depanku ini sepertinya belum menyerah. Enggak ngerti dari mana dia bisa tahu kalau aku lagi enggak berada di dalam area sekolah. Dia malah sengaja duduk di seberang meja. "Elo ngapain ngikutin gue?" Kinar namanya. Dia sempat kulihat akrab dengan Sara dulu. Terus, aku enggak tahu masalah mereka sampai enggak bertegur sapa seolah enggak kenal. "Kakak tuh jadi sosok idaman tau buat cewek-cewek di sekolah." "Oh, ya?" Aku menahan raut datar seraya menyedotvanilla milkshakedari atas meja tanpa mengangkat gelas. Lumayan. Enggak terlalu manis. Biasanya aku pesan kopi atau semacamnya. "Kakak tuh pakai apa aja selalu keren."
"Gue harus bilang berapa kali kalau gue enggak pacaran, Njing! Beraninya keroyokan." Sekali lagi tendangan mencapai perutku. Isinya terasa hampir keluar. Ketika tubuh terkulai, dua orang lagi kembali memegangiku untuk tetap berdiri. "Elo rangkul-rangkulan sama Sara di depan kelas sebelas? Bukan pacaran?" Aku menertawakan alibinya. "Gue enggak pernah bilang pacaran. Emang harus ngegebet dulu baru boleh megang? Siapa sih dia?" Si pemukul meludah. Hampir mengenaiku jika tidak berusaha menghindar. "Sara milik publik. Enggak boleh jadian sama siapa pun." Sumpah. Aku jadi tergelak, enggak peduli dengan nyeri yang mereka beri. "Temen lo yang pake nembak itu gimana kabarnya? Diterima? Milik publik apaan? Jangan-jangan lo ditolak juga." Kukira, naik kelas dua belas itu enggak bakal ada yang ngerundunglagi. Ternyata adik kelas zaman sekarang
Tanganku terdiam pada batas rok kelabu di paha mulusnya, mengetuk jari bergantian di sana. Wajahku mundur, menjaga jarak sambil memandangi raut Sara yang terpejam. Lucu juga. "Aksa?" Panggilan darinya kembali terdengar dalam nada manja tanpa membuka mata. Aku menggeleng, tepiskan tawa yang sempat terbit. "Gue masih di sini." "Ngapain?" Mata kelam Sara terbuka, kembali tunjukkan binarnya. "Liatin muka lo yang enggak sabaran," ucapku datar, embuskan napas di permukaan pipinya tanpa lekatan. "Apaan sih, Sa?" Suara Sara terdengar serak. Kelopak mata kelam itu berkedip lambat seiring desah yang tercipta karena belaian jemariku pada benda di balik rok kelabunya. "Kenapa?" "Lo beda kalau dari dekat gini." Lengan Sara yang menggantung di leherku mulai turun. Kulirik jari-jari lentik berhiaskan pewarna kuku itu bergerak di sepanjang garis kancing seragamku. "Biasa juga lo udah sering liat gue dari dekat." Getaran berbeda seolah menyengat permukaan kulit ketika sentuhannya membelai
"Itu bukan bayaran satu malam," ucapku sebelum meraih air mineral dari gelas beningnya. Aku masih belum bisa lunturkan senyum padanya setelah pengalaman hebat semalam. Rasanya seperti semua beban selama ini terangkat mudah dari ubun-ubun. Jauh lebih melegakan daripada harus main solo di kamar mandi. Sara tampaknya terkejut dengan penuturan yang kusampaikan di meja makan. Mikir aja, sih. Kalau prostitusi artis delapan puluh juta termasuk kelas menengah, apalah kalangan yang masih kelas bawah kayak aku tanpa pengalaman. Jauh lebih murah. Awalnya Sara terlihat kesal, tampak dari caranya menyuap nasi uduk buatan bibi yang ngantar makanan sebelum pagi. Sepertinya, keluarga ini memang jarang masak kalau ngelihat dapurnya yang mulus. "Gue minta segitu biar enggak ngelayanin yang lain. Bisa dibilang, cuma elo doang yang jadi pelanggan gue. Yah, selama bayarannya sesuai."
Kujatuhkan seluruh rak di dalam kamar hingga isinya berserak. Aku menendang apa pun yang menghalangi, bahkan samsak pun sampai jatuh terburai menjadi sasaran pukulan. Untuk sesaat, kurasakan terbang saat bertemu Abah yang mengingatku dan menanyakan kabar Ambu. Lalu setelahnya, aku merasa dijatuhkan terlalu dalam. Aku sangat ingat pria tua itu bilang, "Jangan ke sini dulu. Jangan katakan pada siapa pun sampai Abah kasih kabar." Anj*ng! Meski disertai permohonan dan kata tolong, tetap saja menyakitkan. Dia enggak pernah bilang sama Ambu, enggak juga bilang sama ibunya Kea. Apa namanya kalau bukan pengkhianat? Setan! Mau berapa lama harus nunggu lagi? Berapa lama waktu yang Abah butuhkan biar aku juga diakui? "Aksa?" Panggilan itu tidak mempengaruhiku. Klien baruku itu masuk melalui pintu terbuka
"Aksa ...." Suara cempreng Sara terdengar seperti godaan di telingaku ketika protes kubawa kembali ke kasur setelah dengan mengangkat pinggangnya tinggi-tinggi hingga tetap berada di pangkuan saat duduk bersama. "Berhenti mainin anu gue!" Kikikan Sara justru menggoda jemariku menguak lipatan di balik handuk yang melingkupinya. "Anu yang mana?" Aku turut menertawakan sambil meniup lengkungan di sepanjang leher jenjang Sara. "Udah, Aksa!" Enggak. Aku belum bisa berhenti sampai rasakan gerakan tanganku di bawah sana membuatnya tersentak, lemas. Kehangatan yang mengalir kental jelas bukan milikku. "Meleleh gue, Sa." Pengakuannya kubalas dengan kecupan di sudut bahu ketika Sara memilih bersandar padaku dalam rengkuhan. Lenganku berpindah melingkari pinggangnya lebih erat. "Lo bisa cerita sama gue kalau eman