Share

Bab 2. Semua Menutupi

"Pemesan atas nama Nilna Fauziah.” Resepsionis menjawab.

“Apa! Tapi saya nggak ngerasa pesan kamar di sini.” Nilna benar-benar bingung. Pelaku fitnah begitu lihai bermain dengan menggunakan namanya sebagai pemesan kamar.

“Tapi itu kenyataannya, Bu.”

“Lalu siapa yang datang bersama saya ke sini? Maksudnya, saya merasa tidak pernah memesan kamar di sini.” Nilna kembali buka suara.

“Kalau masalah itu, saya tidak tahu, Bu. Mungkin rekan saya yang tahu. Saya baru gantian sif.”

“Di sini ada CCTV, kan? Bisa minta tolong tunjukkan saya rekamannya? Saya sangat butuh ini karena menyangkut hidup saya.” Nilna kembali memohon.

“Maaf, kalau bukan untuk kepentingan penyidikan polisi atau hal mendesak, kami tidak bisa mengumbar rekaman CCTV seenaknya. Ini demi menjaga privasi penghuni kamar.”

“Tapi saya difitnah, Mbak. Untuk membersihkan nama saya dari fitnah, saya butuh beberapa bukti. Hanya sedikit yang saya butuhkan. Siapa yang membawa ke sini. Itu saja.” Suara Nilna bergetar. Ia benar-benar lelah.

“Sekali lagi tidak bisa.”

“Mbak, saya mohon. Tolong biarkan saya melihat CCTV.”

“Bu, sudah saya bilang tidak bisa, ya, tidak bisa! Sekarang silakan pergi atau saya panggilkan satpam!” Resepsionis berbicara sambil menunjuk pintu keluar.

Nilna mengepalkan tangan. Dengan dada yang masih membara, ia mengayun kakinya menuju pintu keluar. Di luar ada satpam. Saat bertanya hal yang sama seperti yang ditanyakan kepada resepsionis, jawabannya sama. Satpam itu tidak tahu karena ia baru bertugas.

“Pak, tolong bawa saya ke bagian pemantauan CCTV,” pinta Nilna. Ia berpikir mungkin satpam itu bisa membantunya.

“Tidak bisa, Ibu. Kecuali Ibu membawa surat perintah dari pihak berwajib.”

“Tapi, Pak. Saya hanya ingin–“

“Silakan pergi, terima kasih sudah menginap di hotel kami.”

“Saya bisa memberi rating buruk ke hotel ini. Atau saya laporkan ke polisi karena menutupi kebenaran,” ucap Nilna.

“Silakan. Atau bisa kami laporkan balik karena Ibu mengganggu ketenteraman hotel.”

“Hotel apa-apaan ini?”

Napas Nilna memburu. Dengan tubuh gemetar dan hati hancur, Nilna bergegas meninggalkan hotel penuh petaka itu meski belum tahu akan ke mana. Ia akan menyiapkan diri dan mental sebelum bertemu dengan Satria lagi nanti.

“Apa semua orang di hotel ini sudah ditutup mulutnya oleh orang bi*dab itu? Astagfirullah, aku harus bagaimana?” Nilna bergumam sambil berjalan lesu.

**

Nilna dan Satria menikah atas dasar perjodohan. Maya, ibunda Satria sering memesan katering di tempat Nilna bekerja. Intensitas pertemuan yang terbilang sering, membuat Maya jatuh hati kepada Nilna yang saat itu masih terlihat cantik.

“Kamu ini baik dan cantik, Nilna. Cocok jadi mantu Ibu,” ujar Maya.

“Bu Maya bercandanya lucu.” Nilna mengira itu hanya gurauan semata.

“Ibu serius. Kamu hanya tinggal menunggu saja. Nanti Ibu yang atur pokoknya.”

Awalnya Satria menolak keras karena sudah memiliki kekasih, tetapi Maya terus memaksa. Sebagai orang tua tunggal, Maya tidak ingin salah pilih karena kekasih putranya sangat matre.

“Ibu tidak pernah meminta banyak sama kamu. Kali ini saja, turuti permintaan Ibu, Satria.”

“Tapi Ibu tahu sendiri aku sudah punya kekasih.”

“Dan Ibu nggak suka sama kekasihmu itu. Iya, atau selamanya Ibu akan marah sama kamu.”

Setelah beberapa kali membujuk dan memohon, Satria luluh. Tentu saja setelah pertimbangan panjang dan matang.

Dua bulan sebelum pernikahan, Nilna memakai produk kecantikan dan pelangsing rekomendasi dari temannya. Bukannya mendapatkan hasil yang sesuai, ia justru menjadi buruk rupa dan sempat jatuh sakit. Wajah ayu alaminya jadi tertutup jerawat dan terlihat kusam. Tubuh yang awalnya sehat malah tambah gemuk dan sering sakit-sakitan. Waktu yang singkat tidak membuahkan hasil menjadikan wajah dan tubuhnya kembali ke pengaturan asli dari Allah.

Satria yang awalnya tidak suka, bertambah sangat membenci Nilna. Pria yang bekerja sebagai kontraktor itu sering mem-bully Nilna.

“Ibuku kamu pelet apa sampai begitu suka sama kamu?” tanya Satria saat malam pertama pernikahan.

“Wanita buruk rupa berbodi lebar tak tahu diri. Ingat, Nilna, selama kita menikah, jangan harap kamu mendapat nafkah lahir maupun batin dariku. Aku jijik sama kamu!” Berbagai ultimatum Satria membuat Nilna kian terpojok.

“Kalau tidak suka, kamu bisa menolak, Bang. Awalnya aku juga nolak, tapi ibumu tetap memaksa. Beliau juga sempat sakit. Aku bisa apa?” Nilna membela diri.

“Alesan! Kalaupun kamu kembali tampil cantik, selamanya aku tidak akan tertarik! Camkan itu!” Satria lalu menuju balkon sambil membawa ponsel. Di sana, ia menelepon seseorang dan bercakap-cakap penuh kemesraan.

Nilna yang sempat mengintip, hanya memegangi dadanya agar selalu diberi kesabaran. Sudah menjadi konsekuensi menikah dengan pria yang tidak mencintainya. Harus siaga disakiti, harus siap dikhianati.

Meski begitu, Nilna selalu menjalankan kewajiban seorang istri dengan baik. Ia tetap berbakti meski hatinya selalu disakiti. Wanita itu tidak peduli meski tidak bisa dipungkiri kadang merasa ingin mengakhiri.

Sebuah tepukan di pundak membuat Nilna terkesiap dari lamunan panjangnya. Ia menyapu air mata yang sempat menitik di pipi.

“Aku nggak maksa kalau kamu belum siap cerita. Tapi kapan pun kamu mau cerita, dengan senang hati aku tampung.” Anggi, sahabat Nilna duduk di samping Nilna sambil membawa susu hangat. Ia menyerahkan satu cangkir untuk Nilna.

“Makasih.” Nilna menerima dengan tangan gemetar.

Dari hotel Nilna sempat bingung ingin ke mana dan belum makan. Akhirnya, ia teringat Anggi dan memutuskan mengunjungi kos-kosan temannya kerja di restoran tersebut. Dengan penampilan memprihatinkan, Nilna datang. Beruntung Anggi ada karena mereka memang satu sif. Keduanya sepantaran, tetapi Anggi belum menikah.

Semua yang terjadi dengan Nilna tadi pagi, belum bisa diceritakan kepada siapa pun karena itu sebuah aib. Namun, air matanya lancang terus berderai dan tidak bisa dibendung.

“Ada masalah sama suamimu?” Anggi kembali bertanya. Meski tidak pernah cerita, ia paham dari awal ada masalah dengan pernikahan Nilna. Hanya saja, Anggi tidak berani bertanya karena itu masalah intern. Namun, dari sikap Nilna yang berubah drastis setelah menikah, sudah menjadi bukti kuat.

Nilna yang dulu selalu ceria, kadang barbar, dan selalu tertawa berubah menjadi pribadi pendiam dan murung. Ia juga suka menyendiri saat di restoran. Nilna yang dulu tidak terlalu pusing memikirkan tubuhnya yang gemuk, mendadak sibuk mencari obat dan jamu pelangsing hingga pernah sakit.

“Beb, kadang, suatu masalah jika diceritakan kepada orang lain itu bukan berarti membuka borok, tapi bisa jadi agar masalah yang dihadapi menjadi plong. Syukur-syukur bisa dapat solusinya. Asal kamu cerita kepada orang yang tepat. Oke, tidak apa nggak cerita sama aku, nggak percaya sama aku. Asal jangan pendam masalahmu sendiri.” Karena tidak ada tanggapan dari Nilna, Anggi terus berbicara.

Tangan Anggi terulur, menyeka air mata Nilna.

Nilna menyeruput minuman yang masih mengepulkan asap itu.

“Minumannya panas, Nggi. Lidahku sakit.” Nilna mengalihkan pembicaraan. Ia menggeser tubuhnya agar Anggi tidak bisa menjangkau pipinya. Bibirnya yang bergetar, terus berusaha menyesap susu. Namun, isinya justru tumpah membasahi hijabnya.

Dengan pelan, Anggi merebut cangkir itu dan meletakkannya di nakas samping mereka duduk, lalu membawa tubuh Nilna dalam dekapan.

“Menangislah, sepuasmu. Jangan ditahan. Kalau itu yang bikin kamu lega. Meski nggak cerita, aku tahu kamu sedang nggak baik-baik saja,” bisik Anggi. Ia mengelus pundak Nilna penuh kasih sayang.

Tangis Nilna yang sejak tadi pecah, kian tumpah di bahu Anggi. Nilna sangat rapuh, ingin sembuh dari kesakitan yang kini menghinggapi.

“Kamu tahu kenapa Allah menciptakan pelangi? Agar hamba-hambanya tahu betapa pelangi itu lebih indah jika disandingkan dengan hujan dan panas. Yang mana, hujan itu air mata dan panas itu ujian. Pelangi atau kebahagiaan pasti terselip di sela-sela air mata dan ujian.”

“Makasih, makasih atas pengingatnya. Maaf aku belum bisa cerita. Maaf kalau kamu jadi tabrakanku.” Nilna berkata dengan terputus-putus.

**

Sore harinya, Nilna berangkat bekerja dari kos-kosan Anggi. Ia belum berniat pulang karena seragamnya masih setia melekat di tubuh. Di kos-kosan, Anggi meminjami bajunya yang berukuran besar kepada Nilna.

Restoran yang ramai, sejenak bisa mengalihkan pikiran Nilna. Empat tahun bekerja di sana, Nilna dipercaya bekerja sebagai kasir. Dengan berinteraksi dengan pengunjung, ia bisa sedikit terhibur.

“Kembaliannya, Bang,” ucap Nilna saat pengunjung akan berlalu padahal uangnya lebih.

“Oh, saya lupa. Kalau kembalian uang saya suka. Tapi kalau kembalian sama mantan, saya ogah.” Pengunjung itu menggoda.

“Eaa! Mantan is setan menakutkan, ya, Bang?” Nilna menanggapi sambil menyerahkan uang. Pengunjung itu tergelak.

Saat orang itu pergi, di arah jam dua belas, Nilna melihat seseorang tidak asing berjalan ke arahnya. Orang itu kian dekat dengan dan berhenti di hadapan Nilna.

“Hai, Wanita Buruk Rupa. Saya dengar dari suamimu, kamu habis ke-grep, ya. Kasihan. Baguslah, itu berarti saya bisa lekas menggantikan posisimu.”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Alex Pokniangge
cvjshusuzxx
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status