"Saya cari rumahnya Pak Lukman, Mbah," jawabku.
''Pak Lukman?" Ia terlihat mengernyitkan dahi, berpikir.Aku mengeluarkan foto usang yang kubawa dari rumah, dan memperlihatkan foto itu padanya."Ini bu, yang ini." Kutunjuk gambar diri seorang pria dalam foto itu.***"Ora ketonan mbak," balasnya, aku mulai bingung, diusianya yang mulai sepuh, wajar saja matanya sudah tak begitu jelas melihat."Bu, niki sopo?" Seorang pria berusia sekitar empat puluh tahunan tiba tiba mendekat."Maaf, saya cuma bertanya Pak, kenal dengan Pak Lukman?""Pak Lukman siapa, Mbak. Maaf, tapi desa ini cukup luas, dan yang namanya Lukman cukup banyak disini."Aku tersenyum getir sambil membuang nafas panjang saat mendengarnya. Oh tuhan, jangan sampai pencarianku sia sia."Njenengan coba nanya Pak kades, mbak. Rumahnya disana," katanya sambil menunjuk arah."Imah, ngeneh." Laki laki itu memanggil seorang gadis remaja, tak lama gadis itu menghampiri kami."Dalem pak,""Anterin mbak'e, kerumah Pak Kades, gawa montorre bapak ya."Gadis itu menurut, tak lama ia pun menatapku dan langsung mengajakku naik keatas sepeda motor miliknya."Ayo Mbak." Akupun mengikutinya, sambil tak lupa mengucapkan terima kasih.Kami naik sepeda motor milik Imah, sepuluh menit kemudian kami pun berhenti didepan sebuah rumah bertingkat dua.Seorang pria yang kutaksir berusia sekitar lima puluh tahunan langsung menyapa kami ramah, Imah pun pamit, aku pun menyampaikan maksud dan tujuanku datang kemari."Pak Lukman yah,"ucapnya sambil menatap foto usang yang kuberikan padanya."Iya pak, yang disebelahnya itu bapak saya, Pak Rahman," terangku."Pak Rahman, Pak Lukman," gumamnya."Pak, apakah itu Pak Lukman, anak mbareppe Mbah Saripah yang merantau ke Jakarta itu?" Ucap seorang wanita yang tiba tiba datang."Kayaknya iya buk, maaf mbak, apa Pak Rahman juga orang sini,?" Tanya Pak Kades.Aku menggeleng, "ibunya Pak Rahman, maksudnya bapakku, memang berasal dari desa ini, pak. Masa kecil bapak juga dihabiskan disini." Jawabku.Yah, nenekku memang berasal dari desa ini, lalu bersama kakek, mereka mencoba mengubah nasib dengan meninggalkan desa ini saat bapak mulai beranjak dewasa.Aku pun tak mengerti, takdir apa yang mempertemukan bapak dengan Pak Lukman dulu, hingga membuat bapak berpesan untuk menagih janji dan hutang Pak Lukman padanya. Tak lama, Pak Kades pun mengajakku kerumah Mbah Saripah. Sebuah rumah yang terlihat lebih bagus dari rumah warga yang lain ditunjukkan Pak Kades padaku.Kami pun datang bertamu dan Pak Kades menyampaikan maksud kedatanganku ke desa ini, mencari Pak Lukman ttg, anak lelaki Mbah Saripah. Ditemani cucu lelakinya, wanita itu dengan ramah menyambut kedatangan kami.Wanita yang sudah sangat sepuh itu, sudah tak begitu mengerti apa yang kami bicarakan. Terakhir cucu lelakinya, membenarkan jika pria didalam foto itu memang benar Pak Lukman, anak lelaki Mbah Saripah."Ini alamatnya dijakarta, Mbak." Sebuah kertas bertuliskan alamat diberikannya padaku.Aku membaca dengan seksama alamat yang ditulis di atas kertas ini. Astaga, alamat Pak Lukman berada tak begitu jauh dari rumahku. Aku bersyukur setidaknya kedatanganku ke desa ini tidaklah sia sia."Terima kasih banyak, Mbah, mas," pamitku pada keluarga Pak Lukman.Aku dan Pak kades pergi meninggalkan rumah keluarga Pak Lukman. Rasanya aku sudah tak sabar ingin segera pulang ke Jakarta."Nak Zia, akan langsung ke terminal bus? Tidak menginap dulu disini," tanya istri Pak Kades, aku langsung menggeleng pelan."Tidak bu, terima kasih. Maaf saya sudah merepotkan, tapi malam ini juga saya harus pulang kejakarta." Jawabku cepat."Bapak, tenanglah! tak lama lagi hutang dan janji Pak Lukman akan kutagih," gumamku dalam hati.***Aku memandang bangunan megah di hadapanku, sebuah rumah berlantai tiga yang hampir sebagian dicat berwarna kuning emas. ditambah dengan lantai keramik yang mewah, Sungguh, rumah itu terlihat sangat megah bagiku.Semilir angin menerpa wajah, ketika tanganku hendak menyentuh pagar rumah ini, tak lama seorang laki laki tinggi besar dan berseragam hitam datang menghampiriku."Cari siapa, Mbak? Maaf, jika ingin minta sumbangan, bisa ketempat lain saja," ucapnya tak bersahabat.Aku hanya tersenyum getir, melihatku yang memakai pakaian sederhana, sendal jepit dan membawa tas punggung, wajar saja jika penjaga rumah ini mengira kedatanganku kesini untuk mencari sumbangan."Maaf, apa benar ini rumah Pak Lukman?" Tanyaku dari balik pagar."Iya, ini memang rumahnya Pak Lukman, Mbak siapa dan ada perlu apa dengan Pak Lukman?" Balasnya sedikit ketus."Boleh saya bertemu dengan beliau, Pak?""Maaf, mbak. Sudah punya janji belum? Gak sembarang orang bisa bertemu dengan Pak Lukman," sinisnya sambil memandangku tajam."Belum, cuma saya ada perlu penting dengan Pak Lukman, maaf, apa saya terlihat seperti seorang pengemis?" Balasku kesal."Baiklah, hanya saja jangan salahkan saya, jika nanti akan diusir keluar," ucapnya sambil membuka kunci pagar rumah ini.Tiga buah mobil terlihat berbaris di halaman rumahnya, saat menjejakkan kaki di halaman rumah ini. Ditemani penjaga tadi, aku melangkahkan kaki menuju pintu utama. Tak lama, penjaga itu menekan bel rumah yang berada disudut kanan atas.Wajah seorang wanita berusia tiga puluhan, langsung menyembul ketika pintu ini terbuka, wanita dengan kemoceng ditangannya itu memandangku heran. Untunglah, pria penjaga yang berdiri disampingku langsung mengatakan maksud dan tujuanku datang kerumah ini."Bapak ada didalam, ayo masuk dulu mbak," ajaknya sambil membuka lebar daun pintu ini.Pria penjaga itu lalu pergi meninggalkan kami, wanita itu memintaku untuk duduk lalu dengan sopan menanyakan namaku."Namaku Zivara, katakan saja aku putrinya Pak Rahman, tujuanku datang kesini ialah untuk menagih hutang dan janji beliau pada bapakku," jelasku."Baiklah."Meski terlihat bingung, wanita itu membalikkan badannya, lalu pamit sebentar untuk menyampaikan pesanku pada majikannya. Berselang lima menit kemudian, wanita tadi datang, dengan membawa baki berisi segelas minuman dingin, tak lama ia meletakkannya di atas meja."Minum dulu mbak, nanti bapak akan kesini, tadi sewaktu saya menyampaikan pesan Mbak Zia, beliau masih bicara dengan Den Rangga, putranya." Ucap wanita itu kemudian berlalu meninggalkanku sendiri.Aku mengangguk, cukup lama aku duduk menunggu disini, kulirik jam di dinding ruangan ini, ternyata sudah lima belas menit berlalu, kupeluk tas punggungku, tas satu satunya yang kumiliki. Berharap kedatanganku kemari tidak sia sia.Rumah ini sangat mewah dalam penilaian mataku, sofa ini juga sangat empuk saat kududuki, sangat berbeda jauh dengan sofa butut dirumahku. Sungguh, aku sangat mengagumi desain interior rumah ini."Maaf, mbaknya yang ingin bertemu dengan saya?"Aku membalikkan badanku, menoleh ke asal suara, Tampak di sana berdiri seorang pria, karena terkejut, aku menjawabnya terbata.Bersambung."Maaf, mbaknya yang ingin bertemu dengan saya?" Aku membalikkan badanku, menoleh ke asal suara, Tampak di sana berdiri seorang pria, karena terkejut, aku menjawabnya terbata.***"I-iya pak, nama saya Zia, Zivara Mutia Rahman." Aku langsung berdiri. Ia tersenyum lalu mempersilakan aku duduk kembali."Maaf, apakah anda Pak Lukman?" Tanyaku sopan pada pria beruban yang kutaksir berusia sekitar enam puluh tahunan ini."Iya, cah ayu, saya Pak Lukman, ada perlu apa?"Pria yang berdiri dihadapanku ini jauh dari yang kubayangkan dalam benakku tadi. Kupikir, Pak Lukman, pemilik rumah ini akan sinis dan tidak ramah, ternyata aku salah, pria ini sangat santun dan ramah.Aku mengeluarkan kotak kayu milik bapak dari dalam tas punggungku. kotak kayu itu lalu kuletakkan diatas meja kaca ini."Saya kesini hanya menyampaikan pesan terakhir bapak. Ia memintaku mencari Pak Lukman, dan bilang ...." Sejenak aku ragu untuk mengatakannya, apa mungkin pria kaya yang duduk dihadapanku memiliki hutang kepada
Aku menghentikan langkahku, dengan nafas yang masih tersengal, lelaki bernama Rangga itu akhirnya sudah berdiri tak jauh dihadapanku."Kumohon, izinkan aku menjelaskan semuanya padamu." Ia melangkah perlahan, berusaha mendekat padaku, refleks, aku langsung memintanya berhenti. "Jangan mendekat atau aku akan berteriak," ancamku.***"Baik, bagaimana jika kita bicara disana, aku ingin minta maaf padamu sekaligus menjelaskan sesuatu padamu," ia menunjuk ke sebuah gazebo kecil yang berada disisi kanan halaman rumah ini."Tak perlu, aku tak ingin mendengar penjelasan apapun darimu, jika kau bisa mengembalikan apa yang sudah kau renggut dariku malam itu. Maka aku akan mendengarkan semua penjelasanmu," tantangku.Ia diam, matanya tak lagi menatapku, beberapa kali ia menghela nafas panjang sambil memejamkan matanya."Aku tahu aku bersalah padamu, untuk itu aku minta maaf, apapun hukuman yang kau berikan akan aku terima, tapi tolong jangan libatkan papaku," ucapnya.Tanpa bicara, aku membalik
"Baik, aku akan mendengarkanmu. Duduklah!" Ketusku Kami duduk di kursi rotan yang ada diteras depan rumahku. Lama ia terdiam, membuatku mulai tak sabar."Apa yang ingin kau jelaskan padaku? Jangan bilang jika malam itu kau khilaf," sindirku."Tidak, Zia.""Kalau begitu, bicaralah! karena aku ingin segera istirahat," hardikku keras padanya.***Mata Mas Rangga memandangku dengan pandangan mata yang terasa menelisik. Segera saja, kupalingkan wajahku dengan menatap kearah jalan. Tak bisa dipungkiri jika aku tak bisa bersikap ramah padanya."Aku dijebak, Zia!" Lirihnya membuka cerita.Dia diam sejenak, seakan ingin mengatur emosinya. Aku melipat kedua tangan didada, menunggunya bicara."Aku masih menunggu." Ucapku mengingatkan.Ia mengangkat salah satu sudut bibirnya, melanjutkan kembali ceritanya."Awalnya, aku berniat datang memenuhi sebuah undangan pernikahan seorang teman. Aku datang kesana bersama seorang wanita yang sudah beberapa minggu ini dekat denganku, tapi jujur saja meski ka
Sebenarnya, aku tak begitu ingin orang orang mengetahui rencana lamaran Mas Bima. Namun, tak bisa kupungkiri, Bintang memang mengetahui hubungan kami, karena Mas Bima seringkali menjadikan bintang sebagai alasan untuk bertemu sekalian memborong habis daganganku.Besok malam adalah hari pertemuanku dengan kedua orang tuanya. Mengingat hal itu, membuatku terus dilanda cemas. Disatu sisi aku ingin segera menerima lamarannya, tapi entah mengapa jauh di lubuk hatiku, rasa takut akan kehilangan Mas Bima menggerogotiku jika ia mengetahui kejadian malam itu.Bagaimana jika ia tahu jika aku sudah tak perawan lagi? ***Pertanyaan itu terus saja menghantuiku, sebaiknya aku harus segera menceritakannya, aku tak ingin memulai sebuah ikatan dengan kebohongan. Aku akan berusaha menerima apapun keputusan Mas Bima nanti. Karena aku tak mau rahasia malam itu suatu saat nanti akan menjadi bom waktu untukku. Jika nantinya ia akan menolak, maka aku akan pasrah menerima keputusannya.Aku mendorong gerobak
"Kau sudah siap, Zia?""Iya." Aku mengangguk pelan. Namun, saat tangan kekarnya berusaha meraih tanganku, refleks segera kutepis."Mas, sebelum itu bisakah aku bicara denganmu? Ada hal yang sangat penting yang ingin ku sampaikan padamu sebelum kau membawaku bertemu dengan kedua orangtuamu," pintaku padanya."Oh tuhan, beri aku kekuatan untuk mengatakannya." Bisikku dalam hati.***"Aku ingin bicara sesuatu, mas."Mata Mas Bima mendelik tajam padaku, beberapa saat kemudian, ia melirik jam di pergelangan tangannya."Kau bisa bicara nanti, Zia, setelah acara pertemuan. Tak enak rasanya membuat papa menunggu lama dirumah.""Tapi mas ...! Ini penting," desakku."Sudahlah. Ayo cepat masuk ke mobil, setelah acara pertemuan aku janji akan mendengarkanmu, " Ia menarik tanganku, aku terpaksa mengikuti langkahnya. Tak lama, ia membukakan pintu mobilnya, aku menurut. Masuk kedalam mobilnya.Malam ini bulan terlihat terang, bintang bintang juga bertaburan di langit, mataku nyaris tak berkedip saat
Harapan untuk bersanding dengan Mas Bima kini kubuang jauh. Kenyataan ini memang sangat pahit untuk diterima, tapi aku masih bersyukur, karena Allah masih menjaga aibku. "Terima kasih Tuhan, karena kau mencegahku untuk mengatakan kejadian malam terkutuk itu pada Mas Bima, setidaknya aku masih bisa berdiri dan menegakkan kepala dihadapan mereka," gumamku dalam hati.****Matahari masih terlihat malu malu dan bersembunyi dibalik awan saat aku mendorong gerobak pagi ini. Beberapa orang menyapaku ramah, aku pun membalas sapaan mereka, ketika kami berpapasan.Sudah dua hari berlalu sejak pertemuanku dengan orang tua Mas Bima, dan sejak malam itu aku memutuskan sendiri untuk mengakhiri hubungan kami, karena akan percuma untuk diteruskan. Mengingat kedua orang tuanya tak akan memberikan restu.Beberapa kali Mas Bima mencoba mencari ataupun meneleponku, namun tak pernah sekalipun kujawab, aku selalu menghindar, hingga dalam pesan terakhirnya semalam, ia berkata akan datang kerumah untuk menj
"Maaf, kerena telah mengganggu waktumu, Zia. Tapi mbak ingin bicara sebentar.""Apa ini ada hubungannya dengan adik Mbak Soraya?" Aku balas bertanya."Iya, kau benar. Aku mengajakmu kesini, karena memang ingin membicarakan tentang dirinya, tentang kejadian malam itu." Jawab Mbak Soraya yang sontak langsung membuatku tercekat.****Aku merebahkan tubuhku diatas tempat tidur. Rasanya hari ini lelah sekali, kupijat sebentar kepalaku yang terasa berat. Setidaknya, ini sedikit meringankannya.Tadi siang Mbak Soraya mengajak ku bicara. Ia memohon padaku untuk memberi satu kesempatan pada adik laki lakinya, Rangga. Meminta ku agar memberikan padanya kesempatan untuk lebih mengenal diriku."Hanya satu hari saja, Zia! Berikan Rangga waktu satu hari saja bersamamu, agar kalian saling mengenal, Setelah itu, jika kau masih tetap ingin menolak pernikahan ini, maka adikku tak akan mengganggumu lagi." Ucapan Mbak Soraya tadi siang masih terngiang di telingaku.Dari penjelasan Mbak Soraya, aku tahu j
"Mas Rangga lebih baik pulang saja, karena aku tidak jualan hari ini." Usirku cepat."Kalau begitu baguslah, cepatlah mandi dan berdandanlah secantik mungkin, karena aku akan mengajakmu berkencan hari ini."Perkataannya sukses membuatku tak berkedip memandangnya. Apa yang sedang direncanakan pria ini sebenarnya?***Aku tercekat, kemudian mencubit lenganku keras, memastikan jika ini nyata, wajah Mas Rangga terlihat menyunggingkan seraut senyum saat melihat sikapku. Kulirik lenganku yang memerah karena bekas cubitan tadi. Jadi ini nyata?"Ayo cepat, Zia. Masuk dan bersiap siaplah, aku akan menunggumu disini," ucapnya karena melihatku yang masih bergeming.Butuh beberapa detik agar bisa mengembalikan kesadaranku. Oh astaga! Inikah yang dimaksud dengan permintaan Mbak Soraya saat kami bicara kemarin? sungguh lucu, rasanya ingin menertawakan diriku saat ini. Ia masih memandangiku, menunggu jawaban dariku. Aku melipat kedua tangan di dada lalu balas menatapnya tajam."Jika tujuanmu ke