[Percuma kasih tanda cinta kalau cuma dikit, mending nggak usah. Terimakasih untuk saudara-saudaraku yang lain, kalian memang the best]
Dadaku panas, aku yakin status Tante Gina itu ditujukan untuk keluargaku. Untuk siapa lagi kalau bukan untuk keluargaku? Memang mereka sangat benci dengan kami, entah apa alasannya.
[Maaf, Tante. Memang kami hanya bisa memberikan sedikit. Kalau tak berkenan lebih baik di berikan kepada yang membutuhkan saja, tidak perlu diumbar di sosial media]
Satu balasan untuk postingan Tante Gina kukirimkan. Jari-jariku begitu gatal ketika membaca postingan-postingan yang ia unggah. Hanya saja kemarin-kemarin aku tak ingin menanggapinya, tapi kali ini ia sudah sangat keterlaluan.
Terlebih subuh tadi aku juga melihat jika Laras pun mengunggah sebuah ejekan untukku. Dia berkata jika keluarga miskin tak akan bisa bersanding dengan konglomerat, apalagi sampai menikahi anak juragan ladang.
Baiklah, Tante Gina, Laras, dan semua keluarga yang sudah merendahkanku, akan segera kubuktikan jika Zaki memang benar-benar serius denganku dan aku pun akan segera menjadi menantu Tuan Muh. Aku yakin, jika saat itu tiba pasti mereka semua akan sangat terkejut.
"Mbak, udah di tunggu Mas Zaki di luar." Teriakan Arum membuatku lantas melupakan postingan Tante Gina.
Gegas aku memakai jilbab, lalu keluar menemui Zaki yang ternyata sudah menungguku di ruang tamu. Dia sedang berbincang dengan Ayah, kebetulan Ayah belum berangkat kerja.
"Na, sudah di tunggu Zaki. Kok kamu lama banget," ucap Ayah membuatku sedikit gugup. Rasanya beberapa unggahan keluarga Tante Gina sangat mengganggu pikiranku meski aku sudah berusaha untuk tak memikirkannya.
"Nggak apa-apa, Pak. Saya tidak terburu-buru, kok. Biarkan Adinda Nana menyelesaikan urusannya dulu."
Astaga, aku hampir meleleh ketika Zaki memanggilku dengan sebutan adinda. Aku merasa panggilan seperti itu terdengar sangat manis.
"Yasudah, kalian segera berangkat keburu matahari naik," kata Ayah dengan diikuti anggukan kepala oleh Zaki.
Ia lantas mencium punggung tangan ayahku penuh takzim, begitu juga denganku. Hari ini Arum bersedia membantu Ibu di ladang karena Ayah harus bekerja, kebetulan hari ini akhir pekan jadi aku dan Arum memang sedang libur.
Kami lantas berangkat menggunakan mobil pajero warna hitamnya. Menyusuri jalanan pedesaan yang sangat asri dengan ditemani sholawat yang ia lantunkan pada audio mobilnya. Sungguh, suasananya sangat menenangkan. Hatiku sangat tenang dan damai jika sudah mendengar sholawat nabi.
Zaki mengajakku berkeliling ladang, dia juga mengenalkanku pada beberapa pekerja di sana sebagai calon istrinya. Meskipun aku masih sangat canggung, tapi dia berusaha untuk tak membuatku gugup.
"Wah, calonnya cantik sekali, Den. Sepertinya dia tak hanya cantik di wajahnya saja, tapi juga hatinya," ucap salah satu pekerja membuatku tersipu.
"Iya, Anda memang benar, Pak. Wanita ini sangat spesial, dia tak hanya cantik di luar, tapi hatinya pun demikian," jawab Zaki.
Andai Zaki tahu jika aku bisa berubah menjadi singa ketika berhadapan dengan Tante Gina dan keluarga Ayah yang lain, mungkin prasangka dan kekagumannya padaku itu akan sirna. Pada dasarnya aku memang tak bisa mempertahankan sikap lemah lembutku ketika sudah berhadapan dengan mereka, terutama Tante Gina.
"Aa, jangan terlalu memujiku seperti itu. Aku tak sebaik yang Anda kira," ujarku ketika telah berlalu dari pekerja itu.
"Lalu? Aku harus bagaimana? Memang seperti itulah dirimu yang kukenal, Na. Kamu sangat baik dan lembut. Terlebih jika sudah berhadapan dengan anak-anak. Hal itu juga yang membuatku sangat mengagumimu," tutur Zaki yang lagi-lagi membuatku melambung tinggi.
Aku adalah salah satu orang yang ditugaskan oleh Ustadz untuk mengajar anak-anak di mushola. Sedangkan Zaki, ia salah satu pengajar juga di sana. Kami sering bertemu, dan mungkin itulah yang membuat benih-benih cinta itu muncul.
"Yasudah, ayo kita ke toko. Aku sudah membuat janji dengan Tante Lusi untuk mencoba baju pernikahan kita," ucap Zaki ketika kami sudah setengah hari di ladang.
Tanpa menunggu lama kami pun lantas melesat ke tempat yang ia sebut toko milik Tante Lusi. Kini aku tak meragukannya lagi, karena Zaki memang sudah kukenal sangat baik selama ini. Hanya saja aku tak berani menaruh harapan terlalu banyak karena sekali lagi aku sadar dimana derajatku.
Zaki disambut baik oleh perempuan yang ia panggil Tante Lusi itu. Tokonya besar, tak hanya baju saja yang ia jual di sini. Melainkan ada berbagai tas mahal, sepatu dan beberapa aksesoris yang sangat cantik. Aku yakin, orang-orang yang datang kemari hanyalah orang-orang yang memiliki uang banyak.
"Kamu nggak salah milih calon istri, Zaki. Dia sangat pantas memakai baju ini, cantik sekali," ucapnya ketika aku baru mencoba satu model baju yang ia sodorkan.
Zaki tersenyum, begitu juga denganku. Hari ini aku sudah mendapatkan beberapa pujian dari orang-orang disekitar Zaki. Syukurlah aku mendapatkan respon yang baik dari mereka semua. Tak ada satupun yang membahas derajatku di sisi Zaki.
Namun tiba-tiba aku dikejutkan oleh seorang yang sangat kukenal. Dia masuk bersama beberapa temannya yang juga terlihat kaya sepertinya.
Dia adalah saudaraku yang telah menyindirku pagi tadi. Ya, dia Laras.
"Eh, Aa Zaki. Kebetulan sekali kita bertemu. Jodoh kali, ya," ujarnya percaya diri ketika berpapasan dengan Zaki yang masih memilih baju pengantin untukku.
"Wah, kok milih baju pengantin. Emangnya Aa Zaki mau menikah? Dengan siapa, A? Bolehkah aku masuk dalam daftar calon pengantinnya?" Lagi, Laras seperti tak punya malu dengan merendahkan dirinya sendiri di hadapan Zaki.
"Iya Laras, aku mau menikah sebulan lagi. Mohon doanya, ya. Dengar-dengar calon istriku itu saudaramu juga. Apakah benar Dinda Nana?"
Aku yang semula masih membelakangi mereka karena bajuku di benarkan oleh Tante Lusi lantas menoleh ke arahnya. Rasa canggung seketika menjalar di tubuhku karena aku benar-benar merasa tidak pantas untuk Zaki.
"Iy-iya. Dia saudaraku," jawabku singkat.
Sekilas kulirik Laras begitu terkejut ketika mendengar suaraku. Dia bahkan sampai menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Mungkin dia tak mengira jika apa yang dikatakan Arum tempo hari adalah suatu kebenaran.
"Hai, Laras. Aku calon istri Zaki," lanjutku ketika aku sudah bisa mengatur nafasku. Ada rasa senang dalam hatiku begitu melihat wajah Laras yang pucat pasi usai mengetahui kenyataan ini. Aku yakin, setelah ini dia pasti akan melaporkan hal ini kepada ibunya.
Saudara yang terlihat benci dan selalu merendahkan keluargaku karena miskin itu terlihat terkejut ketika tahu bahwa aku calon istri Zaki, anak dari juragan ladang. Mungkin dia masih berfikir, bagaimana bisa aku yang miskin ini akan bersanding dengan lelaki kaya itu."Laras, kenapa diam?" ucapku lagi ketika dia masih terlihat membeku.Baju brukat warna putih masih menempel di badanku. Tante Lusi sangat pandai dalam memadupadankan baju dan aksesoris. Meskipun baru mencoba, tapi aku sudah telihat sangat cantik sebagai pengantin.Laras tak menjawab perkataanku, tapi dia justru tertawa lantang. Dia memang terlihat aneh."Mana mungkin aku percaya, Nana? Sudahlah ... Kalian jangan bergurau," tuturnya membuatku mengernyitkan dahi.Bagaimana dia bisa tidak percaya? Padahal aku sudah mencoba baju pengantin bersama Zaki."Aa Zaki, aku tahu Anda sedang bergurau. Mana mungkin Anda sekeluarga mau meminang gadis miskin seperti dia. Mungkin Nana hanya Anda suruh untuk mencoba baju pengantin untuk ist
"Maaf, Yah. Arum nggak mau datang. Bukan begitu, Mbak? Kami nggak mau datang ke tempat orang yang sudah merendahkan keluarga kita," tutur Arum secara tiba-tiba.Aku yang masih terdiam lantas ikut mengangguk. "Iya, Yah. Nana juga tidak mau ke sana. Nana tidak tahan dengan sikap keluarga yang lain, terutama Tante Gina dan anak-anaknya. Biar saja kita dibilang tak tahu diri, yang penting harga diri kita tak diinjak-injak terus menerus."Ayah terlihat sedih, mungkin dia menyayangkan sikapku dan Arum yang menolak di ajak ke rumah Tante Gina lagi. Biar saja, kami sudah bosan di hina."Yasudah kalau itu mau kalian, biar Ayah dan Ibu saja yang kesana," tutur Ayah membuatku lagi-lagi saling berpandangan dengan Arum.Ayah tetap akan berangkat meski aku dan Arum sudah memberinya nasehat. Bagi kami, semiskin-miskinnya kami, harga diri tetap yang utama. Namun bagi Ayah, keutuhan saudaranya lah yang paling utama. Memang, ayah kami terlalu polos sehingga tidak ingin jika saudara-saudaranya terpecah
"Sudah, pulang sana, Mas. Tapi jangan harap setelah ini kamu sekeluarga bisa kumpul lagi bersama kita. Iya kan Mbak Risma?" tutur Tante Gina membuatku semakin murka.Kupandangi Ayah dalam, aku ingin dia melihat kesungguhan dalam manik matanya. Akankah dia tetap membela saudaranya, atau kami keluarga kecilnya."Cukup. Ini pilihan yang sulit. Apa kalian tidak bisa berdamai? Kita hidup rukun seperti dulu lagi?" tutur Ayah tak memberikan jawaban."Bisa. Kami bisa berdamai seperti dulu lagi asal semua saudara Ayah memperlakukan kita layaknya saudara, bukan pembantu!" tandasku tajam dengan menatap Tante Gina dan Budhe Risma bergantian.Lagipula aku heran, apa suami-suaminya tidak mengajarkan bagaimana bersikap baik kepada saudara? Kenapa aku lihat saudara-saudara ayahku ini seakan menerkam Ayah hidup-hidup. Seharusnya mereka menasehati istri-istrinya, bukan malah mendukung apa yang mereka lakukan."Siapa yang memperlakukan kalian seperti pembantu, Nana? Bukankah dari kamu kecil, memang suda
Semua anggota keluargaku masih terdiam usai orang suruhan Tuan Muh mengutarakan maksud dan tujuannya datang ke rumahku. Ya, dia datang untuk menyampaikan jika pernikahanku dengan Zaki di majukan."A-apa. Bagaimana, Pak? Apa Anda serius?" ucap Ayah terbata."Iya, Pak. Saya serius. Bu Halimah sedang sakit dan beliau ingin segera menyaksikan anaknya menikah dihadapannya," ucap tangan kanan Tuan Muh yang seingatku bernama Pak Lukas."Tapi kami belum memiliki persiapan apapun, Pak. Bagaimana kami akan datang kesana." Kali ini Ibu yang mengatakan demikian.Pak Lukas tersenyum, lalu mengeluarkan sesuatu dari saku jaket hitamnya. "Pak, Bu. Saya mendapatkan amanah dari Tuan Muh. Mohon di terima."Diserahkannya sebuah plastik hitam yang lumayan besar, aku tak tahu apa isinya. Namun jika kuterka sepertinya berisi sejumlah uang."Apa ini?" tanya Ayahku lagi tanpa berani menyentuhnya."Ini ada sejumlah uang untuk kalian gunakan untuk bersiap-siap. Kata Tuan Muh ini kurang lebih dua puluh juta rupi
Pagi-pagi buta semua anggota keluargaku sudah disibukkan dengan persiapan pernikahanku yang diadakan sangat mendadak. Setelah kemarin tangan kanan Tuan Muh datang dan meminta hari ini agar aku dapat menikah dengan Zaki karena ibunya sakit.Aku tak terlalu sibuk, karena sejujurnya saja aku justru sibuk menata hati dan pikiranku yang sedikit kalut. Antara tak percaya dengan apa yang akan kujalani, juga sangat gugup karena sebentar lagi statusku akan berubah."Nana, kok malah diem aja. Buruan siap-siap," ucap Ibu yang baru saja melintas di depan kamarku dan melihatku masih terduduk di atas sajadah sembari melamun.Tanpa menjawabnya, aku lantas melipat sajadah yang telah kugunakan beribadah setengah jam yang lalu. Rasanya duduk dan melamun di atas sajadah seusai sholat sangat menenangkan jiwa."Bu, Arum pakai baju ini saja, ya. Yang masih terlihat bagus hanya ini," teriak Arum dari dalam kamar ketika aku memilih membuka jendela ruang tamu."Bu, jangan sampai ada yang ketinggalan, ya. Kasi
"Mbak, dari tadi Tante Gina telepon aku terus. Om Burhan juga. Kayaknya mereka mau tanya soal pernikahan kamu, deh," ucap Arum ketika kami berada di luar rumah sakit."Terus kamu angkat?"Dia menggeleng, tapi disertai kekehan kecil. "Biar aja, Mbak. Mereka pasti bingung dengan unggahanku itu.""Sebenarnya aku nggak enak, seakan menggunakan nama Zaki untuk naik ke atas," ujarku dengan menyandarkan tubuhku di kursi taman tempat kami mengobrol.Arum juga langsung terdiam, dia menatapku dengan sendu. "Mbak, aku tahu bagaimana perasaanmu. Lagipula soal rumah, itu sudah menjadi hakmu sebagai istri kan? Dan juga, Ayah menolak pemberian rumah dari Mas Zaki "Ya, memang benar. Usai Zaki mengutarakan niatnya untuk mengajak mereka pindah, Ayah menolah. Ia merasa tak enak hati jika lantas pindah dan menempati rumah pemberian keluarga Zaki. Hanya saja, Ayah meminta pekerjaan pada Tuan Muh agar bisa untuk menyambung sekolah Arum. Dan betapa baiknya mereka, Ayah justru dijadikan sebagai pengawas lad
Sampai hari ini aku belum bisa melupakan kejadian saat keluargaku dihina dan ditertawakan saat datang ke acara pernikahan Tari. Yaitu saat kami memakai seragam bekas, sedangkan mereka semua bersuka cita dengan seragam baru nan cantik.Bagaimana hatiku tidak sakit, terlebih dengan jelas Tante Gina mengirimkan foto seragam baru yang masih banyak, hanya saja dia tak memberikan kepada kami. Kenapa? Bukankah dia adik kandung Ayah? Kenapa hanya perkara Ayah miskin, mereka sampai sebenci itu kepada kami? Perkara miskin atau kaya, kami juga tak bisa memilih, toh Ayah juga sudah berusaha sekuat tenaga untuk menghidupi kami keluarganya.Dan sekarang, saat semua telah diputuskan oleh Ayah dan kami memilih untuk hidup damai tanpa mereka, justru mereka yang mengusik kami. Terlebih kali ini, setelah Budhe Risma memakiku di depan umum, lalu Laras melontarkan sebuah fitnah kepadaku.Bagaimana bisa, aku sudah digauli oleh lelaki lain yang bukan muhrimku? Sedang aku saja selalu menjaga pandangan dan ta
Aku masih terdiam usai Zaki mengatakan jika ia mengajakku ke rumah Tante Gina untuk memastikan apakah dia benar-benar sakit atau hanya mengelabuhiku. Sebelum ini, Laras sudah memfitnahku dan kini suamiku ingin membuktikan sendiri bahwa perkara Laras semuanya bohong."Hei, kenapa malah diam?""A, benaran?"Zaki mengangguk, lalu bangki dari duduknya. "Iya, aku serius. Besok kamu siap-siap. Kita ke rumah Tantemu, kalau memang dia benar-benar sakit, tak ada salahnya kita jenguk, kan?"Kedua mataku kembali berkaca-kaca, aku sangat terharu dengan sikap Zaki. Ia sungguh bijaksana dan tak mudah percaya dengan perkataan orang lain."Lagipula aku lihay ada yang aneh dari keluargamu. Mereka kenapa? Sepertinya terlihat sangat membencimu?"Apakah aku harus jujur pada Zaki? Bagaimana tabiat keluargaku?"Nana, tak apa kalau kamu belum siap cerita. Aku akan ....""Oh, tidak. Bukan begitu. Aku hanya tak enak jika harus menceritakan hal itu kepadamu," tuturku."Memangnya aku siapa? Aku ini suamimu, Nan