Aku menggeleng, “ Tidak, Pak. Aku hanya kelelahan. Barusan hanya bermimpi buruk,” ucapku memberi alasan.
Tidak mungkin juga kalau aku jujur, jika sedang membayangkan reaksi Arum kalau tahu suaminya ini sudah mendua hati.Malam hari lalu lintas kota Bandung tak begitu ramai. Sehingga, aku bisa menikmati pemandangan malam dari kaca jendela di sebelahku.Hawa kota Bandung sejuk, tak seperti kota Jakarta. Aku seketika mengingat keinginan Arum. Dia bercita-cita memiliki rumah di kota ini, lebih tepatnya di daerah Ciwidey. Katanya, dia bermimpi tinggal di kota yang udaranya masih segar dan Bandung menjadi salah satu pilihannya.Aku memang berniat membuatkan istriku itu villa. Bisa kami gunakan sewaktu-waktu jika sedang berlibur.Mungkin pula jika sudah jadi nanti. Dengan mudah kuajak Erika juga setiap jatah bersama kami. Namun, yang terjadi sekarang, aku bahkan tak tahu di mana dan bagaimana kondisi istriku sebenarnya.Tak lama mobil sampai di sebuah restoran. Dari luar tempat ini terlihat unik dengan ciri khas pedesaan.Aku turun bersama Mang Mansur. Kami masuk beriringan, dan mencari tempat duduk yang paling nyaman. Sebenarnya sopirku itu merasa sungkan saat kusuruh dia duduk denganku di meja yang sama. Namun, karena kupaksa akhirnya dia menurut juga.Kupandangi setiap sudut restoran ini. Jika dilihat-lihat konsepnya cukup unik. Membuat para pengunjung yang datang lumayan betah untuk singgah berlama-lama di sini.Tak lama pelayan datang. Kami memilih menu yang diinginkan, lalu mengecek beberapa kali ponsel milikku. Barangkali Arum ada menelepon atau pun mengirim pesan. Namun, tak ada satu pun kabar darinya.‘Apa kamu enggak kangen Mas, Sayang?’Biasanya istriku itu selalu mengirim pesan rutin. Mengingatkanku supaya tak lupa makan teratur, tidak boleh terlalu capek bahkan harus istirahat dengan cukup.Namun sekarang, tak ada lagi pesan beruntun darinya. Padahal dua hari kami tak bertemu, tetapi kenapa aku merasa teramat kehilangan?Bayanganmu selalu melintas setiap saat, Sayang.Dalam hati ini terus bertanya-tanya, apa istriku itu sudah makan? Aku takut dia kelaparan sedangkan suaminya ini bisa makan enak.Kuhubungi kembali nomor ponselnya. Namun, nihil kontaknya tetap tak aktif. Sampai, kpuputuskan untuk mengirimkan pesan lewat aplikasi berwarna hijau.[“Sayang kamu di mana?”]Send, centang satu.[“Kamu di mana? Kenapa belum pulang?”]Masih tak aktif.Aku mendesah berat. Sebaiknya kukirim pesan lagi nanti setelah nomornya bisa dihubungi. Kusimpan gawai di tangan ke atas meja saat seorang pelayan datang menghampiri.Akhirnya, hidangan yang kami pesan datang juga. Aku dan Pak Mansur pun menyantapnya dalam keheningan. Kami pun saling larut dalam lamunan masing-masing.Setelah beres makan, kudengar notifikasi pesan masuk sehingga layar ponsel kembali menyala. Lekas kuraih benda tersebut serta membukanya, berharap itu pesan balasan dari Arum.Akan tetapi, tebakanku salah. Pesan yang masuk bukan dari Istri pertamaku, melainkan dari Erika.[“Mas, sedang di mana? Kok lama?”][“Mas sedang makan di luar. Ada apa, Sayang?”] balasku.[“Jangan lama-lama, cepat kembali! Aku masih kangen. Malam ini Mama dan Bapak sudah kusuruh pulang. Biar kita bisa berduaan.”]Aku menggeleng melihat pesan dari Erika. Disaat sedang banyak pikiran begini, bisa-bisanya dia menggodaku. Biasanya aku yang sering menggodanya.Ah. Bisa saja istri mudaku itu membuatku tersenyum senang.[“Iya. Sebentar lagi Mas kembali. Tunggu, ya, enggak lama, kok!”]Satu pesan terakhir muncul dari Erika dengan emoticon love dan cium. Tiba-tiba saja moodku yang sempat rusak kembali membaik. Erika memang bisa membuat suasana hatiku kembali bergair*h.Ah, kalau saja dia tak sedang dalam keadaan sakit.Kubuka dompet dan mengambil kartu ATM milikku. Lalu, menyuruh Mang Mansur untuk membayar pesanan kami di meja kasir.Saat pandanganku beralih ke meja yang tak jauh dari tempatku duduk ini. Aku terkejut dengan keberadaan seseorang. Aku segera menghampiri pria tersebut dan menyapanya.“Hai, Lan. Apa kabar, Lo?”Dia memandangku lalu tersenyum semringah.“Masya Allah, Ga. Ini Lo? Ya ampun, pangling banget gue. Alhamdulillah gue sehat. Elo gimana? Ah pastinya sehat dong. Dokter mah kalau sakit pasti bisa ngobatin dirinya sendiri.”Aku tersenyum mendengar guyonan temanku, Herlan. Dia sahabatku saat remaja dulu. Kami memang kuliah yang berbeda jurusan. Namun, persahabatan yang terjalin sejak SMA bersama Ibnu, memang masih berjalan dengan baik. Dia seorang pebisnis yang handal sekarang.“Eh Lo ke sini sama siapa? Ada kerjaan ‘kah? Lo ke sini dengan Arum ‘kan seperti biasanya? Gue pernah ketemu Arum sebulan yang lalu di kota ini. Katanya dia lagi dampingi Lo yang sedang seminar. Kok Lo enggak mampir ke rumah gue sih?”Apa yang Herlan katakan? Arum pernah ke Bandung sebulan yang lalu? Apa yang Arum lakukan di kota ini? Kenapa dia tidak pernah minta izin padaku?“Eh Lo ke sini sama siapa? Ada kerjaan ‘kah? Lo ke sini dengan Arum ‘kan seperti biasanya? Gue pernah ketemu Arum sebulan yang lalu di kota ini. Katanya dia lagi dampingi Lo yang sedang seminar. Kok Lo enggak mampir ke rumah gue sih?” Apa yang Herlan katakan? Arum pernah ke Bandung sebulan yang lalu? Apa yang Arum lakukan di kota ini? Kenapa dia tidak pernah minta izin padaku?Aku duduk di kursi seberang Herlan setelah dipersilahkan. “Arum ada di rumah, kok. Dia enggak ikut ke sini,” ucapku berpura-pura. Aku semakin penasaran apa yang baru saja Herlan katakan tentang istriku. Diri ini benar-benar ingin tahu kapan Arum ke Bandung dan dengan keperluan apa?“Memangnya ketemu sama istriku 0 kapan? Kira-kira masih ingat enggak tanggalnya?” tanyaku. Semoga saja temanku itu tak curiga dan merasa janggal dengan pertanyaanku. Tidak mungkin juga aku menceritakan kalau kedatanganku ke Bandung selama ini tanpa Arum dengan niat ingin menemui istri mudaku, bukan seminar yang sering aku jadikan al
“Maaf lama, Mas tadi ketemu Herlan. Dia teman SMA dan kuliah, Mas. Kami sudah lama enggak ketemu. Jadi, malah lupa waktu saat mengobrol.” Aku mencoba menjelaskan. Semoga saja Erika mengerti.“Bener? Bukan karena hal lain, kan?”Aku menggeleng menyangkal ucapan istriku ini. Karena sudah meminum obatnya Erika bilang mengantuk. Jadi, dia ingin istirahat sebentar.Aku mengiyakan, lagi pula ini sudah malam. Badanku pun sama lelahnya, baik badanku atau pikiran sama-sama butuh istirahat. Sejak kemarin aku kurang tidur. Apalagi terus terang aku tak pernah tidur nyenyak setelah Arum menghilang. Dalam mimpi pun istriku itu selalu terbayang-bayang terus menerus.Kurebahkan badanku di kasur bersama Erika. Kemudian, dia memintaku tidur sambil memeluknya. Sungguh manja sikap Erika ini jika sedang bersamaku.Sampai, karena kelelahan tak sadar diri ini terlelap sambil mendekap istriku.💕💕💕💕💕Kulihat tubuh Arum dari kejauhan, dia berjalan tanpa menoleh ke belakangku. Apa istriku itu melihat keber
Kuambil ponselku tak sadar masuk ke aplikasi berwarna hijau. Membuka kontak yang kuberi nama “My Wife”. Mataku terbelalak tak percaya apa yang kulihat di benda pipih ini.Apa yang kulihat? Pesan yang kukirim beberapa waktu yang lalu kepada Arum sudah centang biru. Namun, aku benar-benar kecewa saat istriku itu tak menghubungi atau pun sekedar membalasnya.Tiba-tiba saja, hati ini terasa begitu sakit saat tahu Arum telah menyimpan amarahnya untukku. Lantas, setelah ini, mungkinkah dia akan meninggalkanku?Aku tak rela. Sungguh! Bagaimana aku bisa hidup tanpanya? Aku lekas bangun, lalu masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka. Kupandangi wajah sendiri di depan cermin wastafel, sambil merutuki sikap bodohku selama ini.Apa yang telah kulakukan? Arum sudah pergi sekarang. Seharusnya sebagai suami, diriku patutnya jujur dari awal tentang hubunganku dengan Erika.Namun, apa dia akan setuju?Arum begitu membenci perselingkuhan apalagi sampai dimadu, dia takkan sudi. Traumanya itu membuatku m
POV Arum“Sayang, Mas berangkat dulu, ya. Kalau perlu sesuatu minta antar saja ke Mang Mansur. Nanti kalau sudah sampai Mas hubungi lagi, ya,” ucap Mas Arga di ambang pintu. Aku mengantarnya ke teras, saat suamiku itu pamit untuk menghadiri acara seminar di Bandung.“Iya, Mas. Hati-hati di jalan, ya, Mas. Jangan ngebut, pelan-pelan saja asal selamat.” Aku mengingatkan Mas Arga.Entah kenapa hati ini merasa tidak tenang ketika suamiku itu akan pergi. Aku rasanya takut kehilangan dia. Entahlah, kenapa aku sampai bisa berpikiran begitu?Berat sekali hati ini untuk mengizinkan dia pergi. Akan tetapi, semoga ini hanya perasaanku saja. “Tentu, Sayang. Tunggu Mas pulang, ya. Enggak lama, kok, hanya dua hari Mas di sana,” jelasnya sambil mengecup kening dan bibirku sekilas. Dia masuk ke dalam mobil lalu menghidupkannya. Sebelum pergi Mas Arga membuka kaca jendela di sebelahnya. Aku memberikan senyum terbaik sambil melambaikan tangan ketika mobil Mas Arga melaju dengan pelan, semakin lama se
POV Arum 2Aku terharu dengan yang diucapkan Bi Surmi. Kupeluk beliau dan menyalurkan kasih sayang yang tulus kurasakan. Kami saling berpelukan sampai tercium bau gosong dari tungku pembakaran.“Ya Allah, Neng. Ayam bakarnya gosong. Untung Cuma sedikit terus Bibi masih ada stok buat dibakar lagi. Biar yang ini Mang Mansur saja yang makan.”Aku terkekeh melihat kejadian barusan.“Enggak usah, Bi. Jangan kasih Mang Mansur yang gosong kek gini. Bikin baru aja lagi buat kita bertiga. Yang ini biar kasih ke kucing liar saja, supaya mereka enggak pada kelaparan,” jelasku. Bi Surmi mengangguk mengiyakan ucapanku.“Oh iya, Bi. Nanti siang kita bikin kue nastar kesukaan Mas Arga, ya. Sekalian juga buat dikirim ke Panti, pasti banyak anak-anak yang seneng.”“Iya, Neng. Nanti bibi siapkan bahan-bahannya. Sekarang Neng Arum makan dulu. Tapi, tunggu ayam bakarnya matang sebentar lagi.”Saat aku sedang duduk di meja makan menunggu Bi Surmi beres memasak, suara notifikasi di ponsel terdengar. Ternya
POV ArumSetelah makan, kuhubungi travel yang biasa disewa ketika anak panti pergi untuk berlibur. Kali ini, kendaraan tersebut akan mengantarku ke Bandung. Aku pergi sendiri dari rumah dengan alasan akan menginap di Panti Asuhan kepada Bi Surmi dan Mang Mansur.Setelah berjam-jam melakukan perjalanan, akhirnya aku sampai di sebuah mesjid di kota Bandung. Dari luar, terlihat sangat ramai para pengiring pengantin dan sepertinya tamu undangan. Berarti benar acara ini memang ada? Aku masih berharap kalau mempelai pria itu bukanlah suamiku. Kemudian, terdengar suara laki-laki menggema sambil mengucapkan akad nikah dengan lantang. Bahkan, suaranya terdengar jelas dari luar tempat ibadah ini.“Saya terima nikah dan kawinnya Erika Rakhma Putri binti Taufik Lesmana dengan mas kawin seperangkat alat salat dan uang senilai seratus juta rupiah dibayar tunai.” Terdengar riuh semua orang mengucapkan hamdalah. Aku hanya mematung di tempat, mengingat kembali suara yang tertangkap telingaku tadi. S
Dua hari ini kuputuskan untuk berpura-pura tak tahu di hadapan Mas Arga. Seolah tak tahu dengan segala pengkhianatannya untukku. Meski rasa sakit kerap hadir ketika mengingat semua itu. Akan tetapi, aku masih berharap Mas Arha akan sadar. Selain itu kutunggu kejujuran suamiku tersebut. Apa dia akan jujur mengenai pernikahan keduanya kepadaku?Aku memang bodoh telah memberikan Mas Arga kesempatan. Namun, karena rasa cinta yang masih bersemayam. Aku tak mau mengorbankan hubungan yang sudah lama terjalin. Seorang Arum akan berusaha berubah sesuai selera Mas Arga. Aku masih berharap, akhirnya dia akan memutuskan meninggalkan wanita itu. Seseorang yang telah tega menjadi duri dalam rumah tanggaku dan Mas Arga.Hampir sebulan aku menunggu Mas Arga menyadari kesalahannya. Namun, itu sepertinya hanya harapan semu. Kulihat dia sering sekali menerima pesan dan telepon dari wanita secara diam-diam. Aku tahu itu siapa. Kalau bukan istri muda Mas Arga siapa lagi? Padahal diri ini sudah berusaha u
“Aku tahu, pergi tanpa izin suami itu salah. Namun, diri ini sudah tak kuat. Hatiku merasakan sakit dan berat sekaligus. Sakit karena pengkhianatan suamiku, tetapi juga berat saat perpisahan menyapa.” POV Arum Setelah kejadian di malam kelam itu, Mas Arga seolah tak peduli dengan perubahanku yang lebih pendiam. Membuat diri ini sering pergi ke luar rumah tanpa seizinnya. Aku selalu ke Panti Asuhan menemui Bu Rina. Di sana secara tak langsung, selalu meminta nasihat serta pendapatnya tentang perceraian. Tak jarang beliau selalu menegurku ketika kukatakan kalau pergi ke sana tanpa izin dari Mas Arga. Bukannya aku tak menghargai suamiku lagi, tetapi jujur saja semakin hari hatiku tak bisa dibohongi. Aku sudah tak nyaman berada di dekatnya. Ketika bersama Mas Arga, ucapannya di malam itu selalu terngiang, apalagi mengingat setiap pesannya bersama wanita yang kutahu bernama Erika tersebut. Sejujurnya, memendam segalanya sendiri itu sangat menyakitkan. Terkadang, ada rasa ingin mencerita