Aku sampai di depan perusahaan dimana selama ini Fanya bekerja. Netra kualihkan ke segala penjuru untuk memastikan keberadaan adik sepupuku itu. Dan di kejauhan beberapa meter, terlihat seorang gadis cantik berhijab melambaikan tangannya.Itu dia Fanya.Diripun menarik langkah mendekat."Hai Fan, udah lama nunggu?""Baru juga, Mbak. Ayo Mbak masuk."Aku dan Fanya kini sudah memasuki lobi dan duduk sejenak di kursi tunggu. Beberapa orang lalu lalang dan saling melempar sapa pada adik sepupuku. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Fanya pun mengenalkan diri ini pada hampir semua teman-temannya yang menyapa.Tak lama, seorang lelaki berbadan tegap dan cukup berwibawa masuk melalui pintu utama. Aku menajamkan penglihatan.Astaghfirullah. Raka? Kenapa bisa ada di perusahaan ini?"Mbak, itu lo direktur di perusahaan ini."Suara Fanya bagai busur yang memanah tepat di jantung. Aku tidak mungkin bekerja di sini, jika berkepalakan lelaki yang dulu kutolak cintanya karena lebih memilih Mas Wisnu.
"Angkat saja, Bi. Letakkan di pinggir jalan. Palingan ini cuma penipuan," ucapku lantang. Sengaja supaya Dita segera bangkit jika memang sedang bermaksud membuat drama."Diletakkan di pinggir jalan, Bu? Tapi sepertinya wanita ini tidak berbohong. Dia benaran pingsan, Bu."Mendengar ucapan Bu Surti membuat diri ini pada akhirnya memilih berjongkok dan mengecek napas serta keadaan mata. Kuangkat tangannya lalu kulepas, jatuh seketika.Sepertinya Dita memang tidak sedang berbohong, dia benar-benar pingsan. Apa maunya sih perempuan ini? Kenapa dia kemari dan malah pingsan begini?Aku melirik jam di tangan, sebelum Mas Wisnu pulang, aku harus segera membawanya ke tempat lain.Segera aku menelpon grab dan meminta dijemput. Hanya berselang lima menit, kendaraan itu sampai di depan rumah."Tolong bantu saya Bi, angkat perempuan ini ke mobil.""Oh baik, Bu.""Mama mau kemana?""Mama pergi ke rumah sakit sebentar ya Nak, nganterin Bunda ini.""Emang dia siapa sih, Ma?""Mama juga nggak kenal. T
Dada ini berdegup kencang mendengar ucapan Rifka. Entah kenapa rasa takut mengerjap.[Pengakuan apa, Rif?][Gimana ya, em tapi Mbak selidiki lagi ya kebenarannya.][Iya, cepat katakan, Rif.][Mas Wisnu semalam bawa perempuan ke hotel, Mbak. Temanku yang ngomong. Dia bahkan kirim barang bukti sebuah foto Mas Wisnu sama perempuan itu. Aku kirim ke hp Mbak, ya.][Iya, Rif.][Tapi Mbak nanti kalau nanyakan sama Mas Wisnu jangan bawa-bawa nama aku ya, Mbak.][Iya, Rif. Mbak nggak akan bawa nama kamu. Makasih ya, Rif.][Iya, Mbak. Sama-sama. Sedih aja aku, Mbak. Ibu baru aja menutup usia, tapi Mas Wisnu sudah begituan sama perempuan lain. Pokoknya Mbak harus kuat, ya. Jangan sampai kalah sama pelakor.][Iya, sayang. Makasih ya.][Iya, Mbak.]Kututup telpon dari Rifka. Selama ini Rifka dan ibu memang sangat menyayangiku, terlebih apapun yang diberikan Mas Wisnu kepada keluarganya, sedikitpun tak pernah kutahan. Selama kebutuhanku dan anak-anak terpenuhi, ya biarlah. Ibu juga sudah renta, jad
Azan berkumandang, tapi keadaan rumah sudah seperti neraka. Terasa panas, hingga sekujur tubuh bergetar menahan hawanya."Istighfar, Bu. Istighfar."Syukur ada Bi Surti yang mengingatkanku untuk memohon ampun kepada Allah. Seketika bibir mengucap istighfar dan setelahnya aku memeluk anak-anak untuk kemudian mengajak mereka keluar. Tapi, Safia menolak."Papa ...."Tangis Safia hampir meruntuhkan benteng pertahananku. Aku goyah. Namun, kucoba untuk membujuknya ikut."Ikut Mama ya, Nak. Biar Papa di sini dulu nenangin diri."Safia masih menatap Mas Wisnu, pun sama halnya dengan lelaki itu. Tapi aku segera menghalau pandangan mereka dengan berdiri di tengah. "Ayo Nak, kita pergi."Safia mengangguk lalu berjalan lunglai seiring langkahku."Kita mau kemana, Ma?""Sementara ke rumah Bunda Fanya.""Papa gimana, Ma?" tanya Hamid."Papa biar tenang dulu, nanti Mama bicara lagi sama Papa, ya."Ketiga buah hatiku mengangguk paham, lalu lekas diri menelpon grab. Tepatnya lepas azan, mobil pesanan
Bahkan sejauh ini, masih aku yang salah dimatanya? Aku yang tak bisa menerima akibat kesalahannya? Ya Rabbi, tentu tidak semudah itu berbagi cinta, Mas. Kenapa kau masih tidak bisa memahami perasaanku?Kuusap wajah perlahan, menyapu cairan yang sudah membanjiri wajah. Sampai kapan mau menangis lemah seperti ini? Aku harus kuat. Mas Wisnu pergi, itu artinya dia ingin aku yang membereskan surat cerai kami.Ya Allah, aku tahu cerai adalah perbuatan yang paling Engkau benci. Tapi aku tak kuat berbagi. Aku takut tersakiti hingga khawatir akan semakin menambah kebencian pada suamiku sendiri. Ampuni hamba ya Allah, hamba belum bisa berlemah lembut dalam mengungkapkan kekecewaan. Ampuni hamba telah melakukan hal yang paling Engkau benci ya Rabbi.Meskipun Mas Wisnu mengatakan bahwa rumah ini adalah milik kami, tapi aku tetap tidak akan membawa anak-anak kembali ke tempat ini, sebelum hakim sendiri yang melakukan pembagian harta gono gini.Kuambil semua barang-barang yang sudah siap di dalam
Setelah membayar sejumlah uang, aku menuruni grab dan menatap bangunan yang ada di depan mata. Sekian banyak kamar dengan cat berwarna hijau terletak hampir memenuhi seluruh halaman.Aku menghela napas, bukan rumah seperti ini yang kuinginkan. Ya Allah, dimana aku bisa menemukan rumah yang nyaman dengan harga murah?Kutatap cincin palladium pemberian Mas Wisnu sebagai hadiah ulangtahun pernikahan kami tahun lalu. Ya Allah, bahkan benda ini masih melingkar pada jemari dengan indah.Kuelus beberapa kali sebelum akhirnya kumantapkan hati untuk menjualnya. Bismillah, semoga gantinya akan lebih baik dari ini. Sinar matahari semakin terik, panas menyengat membuat peluh mengucur di pelipis. Aku tidak boleh membuang-buang waktu. Lebih baik kucari melalui aplikasi saja biar lebih mudah.Kubuka beberapa aplikasi, tapi kenapa semua tidak ada yang cocok dengan keinginan hati. Sejenak melirik jam di tangan yang sudah menunjukkan pukul dua belas siang.Besar keinginan diri untuk bertanya pada sal
[Kamu ngomong apa sih? Jangan kekanak-kanakan?][Lalu aku harus ngomong apa, Mas? Aku hamil juga butuh perhatian dari kamu. Tapi apa yang aku dapat, kamu selalu sibuk sama keluarga kamu itu. Nggak istri, anak, nanti pembantu juga harus kamu yang urusin.]Mendengar ucapannya, telingaku terasa panas.[Kupikir kamu bisa berpikir dewasa dan bersabar. Ternyata justru kebalikannya.]Tak ada jawaban, hanya isak tangis yang terdengar.[Terus saja Mas minta aku bersabar, sebab aku ini robot. Aku bukan manusia. Oke, aku berusaha mengerti. Mas tak usah kemari, temani aja anak Mas itu. Aku nggak papa.]Jika tadi sempat kesal, tapi ucapan Dita kali ini berhasil membuat hati terenyuh. Ya Tuhan, aku bersalah padanya. Selalu meminta dia mengerti tapi sampai detik ini pengertiannya belum bisa kubalas dengan apapun.[Dita, Mas minta maaf, ya.][Iya aku maafin. Udah Mas, aku mau tidur.][Dit-]Tut.Sambungan telpon terputus. Kuhela napas berat, kenapa semua jadi begini?"Papa, susunya kok lama banget? C
[Lagi di Jakarta ya, Dit?]Komentar salah satu teman Dita setelah melihat status IG yang baru saja terunggah beberapa menit lalu. Foto dimana sang wanita sedang duduk di pinggir kolam renang hotel tempatnya menginap.[Kok tahu?] balas Dita.[Ya tahulah, beberapa kali aku sama suami pernah nginap di hotel itu, liburan sama anak-anak.][Iya ne aku lagi di hotel.][Oh gitu. Sendiri terus Dit? Betah banget jadi single parent?][Ah, iya. Ada masanya kok.][Eh, masih ingat Leni nggak teman satu leting kita dulu? Dia baru setahun lo jadi janda ditinggal suaminya meninggal, tapi kabarnya kemarin, baru lima bulan lepas Iddah, udah ada yang lamar dia. Cepat banget ya lakunya.]Dua netra Dita membelalak.'Apa? Si Leni udah merid?'[Setingkat Leni saja udah dapat yang baru, Dit. Masak lu betah banget sama status sendiri?wkwkwk]Apa maksud Sari membanding-bandingkanku dengan Leni? Padahal jelas kami nggak selevel. Leni palingan sama tukang ojek juga mau. Sorry ya, aku nggak segampangan itu. Ada ba