Cahaya api yang hangat memberikan kesan oranye pada dinding goa ketika kami berempat duduk berkumpul di tengah udara malam yang dingin. Hasil dari misi kemarin adalah sebuah buku tebal yang sepertinya dijaga dengan ketat.
Di dalam buku itu terdapat penjelasan mengenai ritual dua puluh tahun yang lalu dan kami bertiga hanya mendengarkan ketika Velian membacakannya.
“Di sini dijelaskan bahwa ritual dua puluh tahun yang lalu bertujuan untuk menyelamatkan keturunan-keturunan raja Victor Leys alias raja terdahulu, jadi—bisa disimpulkan waktu itu ada perebutan tahta antara raja Victor dengan adiknya. Raja Victor dibunuh dan kini tahta dialihkan ke adiknya, Herrian Leys, raja Axylon yang sekarang,” tutur Velian dan ia kembali membaca. “Raja Victor sengaja mengikat jiwa-jiwa keturunannya dengan orang lain yang bukan dari keluarga kerajaan, dan itu bertujuan agar penerusnya tidak bisa mati dibunuh. Dan jiwa-jiwa yang diikat dengan jiwa keturunannya dinam
Aku membuka mata ketika fajar menyingsing, tidak ada seorangpun di sisiku seperti biasa. Sudah dua malam Velian menumpang tidur denganku meskipun awalnya aku mengira aku sedang bermimpi, tapi ternyata semua benar dan nyata.Aku tidak tahu mau sampai kapan Sarah akan tinggal di sini, ini sudah hari ketiga dan hidupku tidak tenang. Aku sudah menahan diri selama dua hari untuk tidak membuat masalah dengannya. Tapi jika dia terus saja berulah terhadapku, mungkin kesabaran ku akan menipis.Aku terduduk dan mengedarkan pandangan dengan malas. Semua masih terlelap kecuali—Velian yang sudah beranjak entah kemana. Itu tak membuatku merasa heran karena biasanya mereka bangun ketika matahari mulai tinggi, tapi di musim salju seperti ini—memang membuat raga enggan beranjak dari selimut hangat.Kulitku langsung meremang akibat dingin dan aku segera memakai jaket tebal ku saat keluar goa. Pagi ini aku berencana memburu ikan di sungai sekalian membasuh tubuhku mesk
Aku duduk sambil mengoleskan obat untuk kulit terbakar yang terasa pedih. Aku meringis kesakitan sambil menggigit kain, menahan perih yang membuat tubuhku sedikit bergetar.Aku melarang mereka masuk sampai proses pengobatan ku selesai, karena aku tak memakai pakaian. Jika aku tidak berlari ke hamparan salju, mungkin aku akan sekarat dan mati. Tak lupa juga, aku membalut luka di bahu dan pinggang dan beberapa luka sayatan akibat pertarungan ku tadi.Meskipun sakit, tapi aku bersyukur karena luka bakarnya tidak terlalu fatal. Jaket tebal ku terbakar meskipun tak sepenuhnya hangus. Aku tidak bisa membayangkan jika aku tidak menggunakan pakaian tebal, mungkin kulitku akan terbakar api secara langsung. Luka terparah di bagian paha hingga kaki, karena posisiku di perapian waktu itu berlutut dan sedikit tersungkur dengan tangan yang juga ikut terbakar.Aku mengambil kain besar dengan susah payah, kemudian melilitkannya untuk menutupi tubuhku layaknya jubah yang tak mem
Sunyi, itulah hal yang kurasakan ketika membuka mata. Hanya bara api yang mengeluarkan suara-suara kayu yang terbakar dan meninggalkan abu hangat di sekitarnya. Aku terduduk dengan susah payah sambil memegangi pinggangku, kemudian mengedarkan pandangan ke sekitar dengan bingung. Kemana mereka semua?Aku terdiam sejenak setelah menyadari luka di kulitku sudah mulai mengering, namun sudah diolesi obat baru dan juga—kain di tubuhku sudah di ganti dengan yang baru. Pikiranku langsung tertuju pada Velian dan sejenak aku teringat kejadian semalam.“Sepertinya semalam aku mimpi aneh yang menggelikan,” pikirku. “Mana mungkin Velian begitu.” Aku menggelengkan kepala cepat, berharap pikiran terkutuk itu menyingkir. “Itu pasti cuma mimpi.”Aku mencium kain yang ku kenakan dan sepertinya—kain ini miliknya. Aroma mint berbaur dengan udara lembab yang berarti—kain ini lama tidak dipakai.Aku tak sengaja melihat sepo
Aku terduduk melamun di tepi sungai. Mencerna kenyataan yang begitu mengejutkan hingga napas ku terasa sesak. Kini aku tahu bahwa Velian adalah putra ke empat yang selama ini membuatku penasaran tanpa sempat kucari. Dia menyembunyikan identitasnya dengan baik selama ini sampai-sampai Zealda dan Aleea tidak menyadari betapa penting keberadaannya.Bahkan paman Thomas sendiri yang telah merawatnya sejak kecil tidak tahu menahu soal ini, yang berarti—aku adalah orang pertama dan satu-satunya yang mengetahui dirinya yang sejati.Tapi—bagaimana caraku untuk menyembunyikannya? Meskipun dia memintaku untuk bersikap biasa dan pura pura tak tahu, namun hati, pikiran bahkan ragaku tidak bisa berbohong bahwa dia seorang pangeran, dan itu membuatku canggung secara refleks.Mengingat ia yang menyentuhku untuk merawat lukaku telah membuat pipiku bersemu memalukan dalam sekejap, ditambah aku mengingat mimpi aneh yang terasa begitu nyata itu. Sialan, aku tak bisa men
Aku masih terkejut dengan perubahan kulitku yang sudah sembuh total, bahkan pergelangan tanganku sudah pulih tanpa menyisakan rasa sakit. Aku harus segera menyelidiki gadis itu secepatnya, dikhawatirkan ini akan membahayakan Velian dan yang lainnya.“Valen.”Aku langsung mencelupkan diri hingga seleher untuk menutupi tubuhku meskipun terasa dingin. “Zealda?”Zealda terhenti sejenak ketika melihatku. “Aku akan mengambilkan kain untukmu.”“Jangan!” sergahku. “Tolong ambilkan pakaianku.”“Pakaian?” Zealda terlihat heran namun sedetik kemudian mengangguk kaku. “Baiklah, tunggu sebentar.”Tak lama Zealda kembali dengan membawa satu setel pakaianku kemudian kembali ke goa setelah aku memintanya mendahuluiku. Aku segera mengenakan pakaianku dan kembali ke goa dengan tergesa-gesa, membayangkan gadis itu masih di sana.Dan—benar saja, gadis itu terduduk d
Tiga hari telah berlalu, latihan demi latihan kami jalani untuk mempersiapkan misi berikutnya. Kini tambah lagi satu orang di kelompok kami. Kulihat Liz sama sekali tidak berbahaya meskipun terkadang kami begitu waspada padanya. Tapi setelah dipikir-pikir Lavina juga tidak seburuk yang kupikirkan. Sikapnya memang sedikit urakan, tapi itu tak menganggu kami sedikit pun. Aleea membuka selembar perkamen besar yang berisi sebuah peta yang entah dari mana ia mendapatkannya. Itu bukan peta istana melainkan peta sebuah kediaman yang bisa dipastikan bangunanannya megah dan memiliki halam luas. Misi kali ini menculik salah satu petinggi istana yang di duga terlibat pada peristiwa sihir itu, Nyonya Jevera. Sesekali aku melirik gadis yang sedang terduduk dengan gaya angkuhnya di tengah latihan. Ia hanya menonton dan mengamati kami latihan sambil memakan buah yang ia dapat dari hasil mencuri dari kebun seseorang. Ya, saat ini dia bukan Liz, melainkan Lavina. Keningku berkerut ketika menatapnya.
Aku terpaku di tengah rasa sakitku sekaligus dengan degup jantung yang lebih cepat dari biasanya. Teringat kembali peristiwa yang terjadi di penjara bawah tanah, ketika seorang tahanan dikuliti hidup-hidup dengan kejam, dan—orang inilah yang melakukannya. Kali ini—mungkin aku takan bisa lolos darinya. Sial!“Yang mulia,” lirihku. “Apa—kali ini kau akan mengulitiku juga?”Tampak seringai dari sorot matanya. “Aku akan melakukan hal yang lebih dari itu,” sahutnya. “Kau berhasil menipuku.”Gawat! Aku tak bisa seperti ini. Velian akan dalam bahaya jika aku sampai mati di tangan putra mahkota. Sial! Apa yang harus kulakukan?Aku meraih salah satu pedang kecilku, berniat untuk menyerangnya, namun ia menyadari pergerakanku sambil tersenyum menang. Ia berhasil merebut pedang kecil milikku dan menyimpannya di balik jubahhnya.Tubuhku mengerjap ketika sebuah jarum menembus lenganku dan sesuatu masuk kedalam tubuhku. Rasa sakitku hilang perlahan disusul juga dengan hilangnya kesadaranku.“Kau tak
Aku melepas sepatu dengan kasar dan segera mengganti pakaianku dengan dress mini yang ada, kemudian membanting diri ke tempat tidur. Luka bekas tusukan dan cambukan masih terasa nyeri hingga aku harus mengernyitkan kening, tapi aku bersyukur istana memiliki obat yang mujarab untuk menyembuhkan luka. Meskipun masih terasa pedih tapi tidak seburuk kemarin.Kini pikiranku melayang seakan tak mau menghadapi hari esok. Rasa kalut mulai meronta dan berteriak semoga hari ini tidak cepat berlalu.“Adu pedang sampai mati,” gumamku.Aku tidak masalah dengan adu pedangnya, tapi pernikahannya! Aku tidak tahu apakah aku harus memenangkan pertandingan itu atau tidak. Jika saja tidak ada peraturan adu pedang sampai mati, mungkin aku akan memilih mengalah saja.“Sial! Kenapa aku harus terlibat dengan urusan mereka?” makiku dalam hati.Aku mengubah posisiku menjadi tengkurap sambil menyangga dagu dengan bantal. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan besok, pilihanku saat ini hanyalah mengalah atau d