"Oke, done! Thank you all." Suara fotografer mengakhiri sesi pemotretan kali ini. Nadira menggumamkan terima kasih dan berjalan menuju managernya. Fera bin Feri. Pria bertubuh gempal yang selalunya tampak gemulai.
“Nih.” Fera menyerahkan sebuah amplop silver kepadanya. Nadira menerimanya dan menyadari bahwa itu sebuah undangan. “Designer pujaan loe ngadain acara seminar. Kali aja loe mau ikutan, gue cek sama jadwal loe emang kebetulan lagi kosong.” Ucapnya dengan nada ketus saat tahu ekspresi wajah Nadira berbinar senang. &ldq
Nadira keluar dari toilet dengan celingukan. Memandang ke kiri dan ke kanan berharap tidak bertemu seseorang yang mengenalinya. Ia menghembuskan napas lega ketika melihat meja yang tadi Erhan gunakan kini sudah kosong. Dengan langkah cepat dia berjalan menuju meja dimana Fera dan Feri menunggunya dengan satu tangan yang sibuk dengan ponselnya dan tangan lainnya sibuk dengan tablet. Pria setengah matang itu memandangnya dengan mata menyipit setelah panggilan telepon berakhirn. "Ciin...lo ngapain sih di toilet lama-lama?" Tanyanya heran.
Erhan memandangi wajah yang sedang tertidur lelap di sampingnya. Dahinya yang datar, hidungnya yang mancung, bulu matanya yang lentik, pipinya yang kemerahan, bibirnya yang tipis di bagian atas namun penuh di bagian bawah, dan dagunya yang tampak enak untuk digigit.Semalam, entah bagaimana Erhan membawa gadis itu ke unitnya. Setelah melihat keterkejutan dan ketakutan gadis itu saat melihat sebuah buket bunga berada di depan pintu unitnya, Erhan mer
Membelah jalanan yang lengang dengan motor sport yang memiliki gaung nyaring bukan kali pertama yang dilakukan Nadira. Tapi ini kali pertama dilakukannya dengan orang yang baru dikenalnya dan memberikan desiran aneh di tubuhnya.Nadira menempelkan dadanya di punggung pria itu, tangannya melingkari erat di perut kerasnya. Kepalanya bersandar di lekuk punggung lebar pria itu. Rasanya nyaman. Rasanya seperti masuk ke dalam sebuah adegan romantis dalam sebuah film dimana dia dan Erhan menjadi pemeran utamanya.
"Nadira, Sayang. Cowok itu memang normalnya kayak gitu. Kalo cewek baper karena novel atau adegan romantis di film. Cowok ya bapernya nonton begitu sambil..." Nadira menutup mulut Erhan. Wajahnya sudah berubah merah. Ucapan Erhan meracuni otaknya. Walau bagaimanapun, Nadira bukan anak kecil yang tidak tahu apa itu film bok**. Membayangkan adegan laki-laki dan perempuan melakukan olahraga yang mengeluarkan suara desahan-desahan jelas membuat sisi kewanitaannya bangkit.
Nadira terdiam sendirian. Menatap langit kota Jakarta di malam hari. Deru mesin kendaraan menggaung di kejauhan. Angin dingin masuk tanpa ijin dari arah balkon yang pintunya sengaja ia buka lebar. Erhan sudah pergi, ia memintanya demikian. Rasa shock yang diperolehnya setelah permintaan Erhan membuatnya mengusir pria itu secara halus.Jujur, ia nyaman berada bersama Erhan. Emosi yang ia miliki saat bersama Erhan berbeda dengan yang ia rasakan pada pria lain yang selama ini dekat dengannya. Merasa aman. Merasa diperhatikan. Bahkan untuk pertama kalinya ia
Ganjar dan asistennya sudah menantinya di ruangan saat Erhan masuk. Membahas kesibukan mereka hari ini serta meeting-meeting yang akan mereka lakukan sepanjang hari."Foto-foto kemaren udah mau publish." Ucap Ganjar saat asisten Erhan keluar. "Udah di e-mail kemarin malam. Coba aja cek. Bagian marketing juga udah milih foto yang bakal dicetak. Kali aja ada revisi, mereka minta keputusan maksimal besok siang." Erhan mengangguk. Tangannya bergerak membuka e-mail kantor yang salah satunya memang di cc kan kepadanya.
Nadira meletakkan kembali novel yang sejak tadi berada di pangkuannya. Halamannya tidak berubah sejak beberapa waktu lalu. Niatannya untuk membaca hilanglah sudah. Ia akhirnya memilih untuk keluar dari kamarnya dan bermaksud untuk membuat minuman yang manis."Kamu sama sekali gak ada niatan keluar rumah, Na?" Tanya ibunya saat Nadira baru saja menuang bubuk minuman kemasan ke dalam gelas tinggi.
Erhan langsung berlari meninggalkan rumah sakit setelah mendapat pesan dari Gisna kalau Nadira sedang makan siang bersama mereka. Wanita itu, kenapa tidak sejak tadi saja mengatakan kalau mereka memang punya rencana untuk makan siang bersama. Jadinya kan Erhan punya waktu lebih banyak, siapa yang tahu kalau Nadira akan pergi lagi dan menghilang tanpa ia ketahui.Ia mengendarai motornya dan tak seberapa lama sudah berada di depan Café yang ditunjuk Gisna. Memang dekat meskipun berjalan kaki, hanya saja ia tidak ingin kembali ke rumah sakit hanya untuk mengambil motornya. Kalau sudah begini, Nadira tidak akan menolak jika ia ajak pulang bersama."Ekhem." Erhan berdeham saat sudah sampai di meja tempat Gisna, Meta dan Nadira berada. Gadis itu tampak membelalak lebar melihat ke arahnya. Lalu kemudian matanya menyipit curiga ke arah dua sahabatnya."Siapa yang ngehubungin dia?" tanyanya dengan gigi terkatup.&nb