Share

7.

Hasan pov.

Aku membencinya, membenci anak dari wanita gila yang dulu hampir pernah menghancurkan rumah tangga kedua orang tuaku. Mengapa aku bisa tau? Hal ini tak sengaja aku dengar dari para orang tua yang saat itu saling bercerita.

Awalnya aku tidak membenci Ayesha, tapi semenjak mengetahui itu amarahku naik begitu pesat setiap kali melihatnya hingga sebuah ide jahat muncul di pikiranku.

Entah karena tengah di liputi oleh amarah dan kebencian aku membelenggu dirinya ke dalam sebuah ikatan hubungan gila yang sudah ku rencanakan. Lewat menjebak dirinya dalam satu malam yang sengaja ku lakukan membuatnya terpaksa menjadi budak ku, dan aku menjadi tuannya.

Budak yang harus selalu mau menuruti segala keinginan dan perintahku, apapun itu ia harus selalu mematuhinya. Kalau tidak maka dia akan mendapatkan akibatnya dari penolakannya tersebut.

Hingga tanpa terasa dan sadari, hubungan gila ini sudah berjalan dua tahun. Dan selama itu pula semuanya berjalan baik-baik saja, untukku. Entahlah untuknya, aku tidak tau dan tak mau tau. Tapi, semakin kesini aku semakin sulit dan tak ingin melepaskannya. Padahal aku sudah berjanji jika akan melepaskannya saat aku sudah bosan, sialnya meskipun aku membencinya tapi entah kenapa kata bosan itu tak pernah hadir untukku.

Kadang aku bertanya-tanya sendiri kenapa diriku sama sekali tidak merasa bosan padanya. Padahal aku orangnya mudah bosan pada sesuatu, apalagi soal urusan wanita. Banyak hati yang sering ku sakiti karena sikap mudah bosanku ini. Tidak perlu ku jelaskan satu-persatu nama-nama wanita yang pernah mengisi hari-hariku sebelum Ayesha. Karena jika aku menjabarkannya kemungkinan akan menjadi daftar list yang panjang.

Aku rasa aku yang seperti ini menuruni sifat papa Dava yang ku tau dulunya beliau di kenal sebagai lelaki yang memegang tangguh predikat playboy akut.

Entahlah, aku tidak tau kapan waktunya akan melepaskan Ayesha dari jeratan belenggu menyakitkan yang ku buat sendiri. Menyakitkan untukku yang tak pernah bisa berhenti membencinya, dan menyakitkannya yang sudah berulang kali mengatakan lelah dengan semuanya ini.

******

Tubuhku menegang kaku begitu mendengar ucapan wanita yang kini tengah duduk di sampingku. Sungguh terkejut dan tak menyangka jika Ayesha akan mengatakan kebohongan seperti itu di depan ayah dan paman Ridwan.

Tadi niat awalnya aku memang inginkan mengatakan yang sebenarnya pada ayah dan juga paman Ridwan. Karena ku pikir, aku sudah terlalu sangat jahat dalam memperlakukannya. Bahkan aku sudah siap menerima segala resikonya apabila rahasia mengerikan ini terbongkar langsung dari mulutku sendiri.

Tapi, sayangnya apa yang aku harapkan sepertinya berbanding terbalik dengan Ayesha. Gadis yang sudah tak lagi gadis ini malah mengatakan kebohongan yang aku sendiri tak tau apa maksudnya bicara seperti itu.

Seharusnya kan, ini kesempatan baginya agar terlepas dari belenggu menyakitkan yang ku buat ini. Lalu mengapa ia malah berdusta seolah sedang melindungi nama baik ku dari para orang tua ini.

Dan bahkan yang lebih membuatku sangat syok adalah ketika Ayesha mengatakan jika ia merasa aman dan nyaman ketika bersamaku. Merasa terlindungi saat di sisiku, padahal sejatinya yang aku tau dia malah sering merasa ketakutan saat bersamaku. Bahkan kerap kali sering menangis meminta dan memohon dengan sangat untuk terlepas dari jeratan menjadi slave—ku.

Lalu, apa sekarang ini? Apa maksudnya dia bertingkah seperti ini.

"Kau mempermainkanku ya?" tanyaku ketika kami berdua sudah selesai di interogasi oleh ayah dan paman Ridwan.

Saat ini kami tengah berjalan bersisian keluar dari rumahku, langkah tiap langkah kami seakan kompak mensejajarkan diri. Belum aku selalu berjalan cepat dan lebih dulu darinya, tapi entah kenapa kali ini aku ingin terlihat santai dengan berjalan pelan beriringan dengannya.

Ayesha menoleh ke arahku dengan pandangannya yang terlihat bingung. "Mempermainkanmu? Maksudnya?"

Aku menghentikan langkahku yang juga di ikutinya secara mendadak. Aku balas membalikkan badan melihat ke arahnya.

"Semua perkataan dustamu barusan." ucapku mengingatkan dia lagi pada kata-katanya beberapa menit yang lalu di dalam sana.

Ku tatap lekat bola matanya yang tampak bergerak gelisah kesana-kemari, sepertinya ia takut jika seseorang mendengar ucapanku.

"Jawab!" tuntut ku dengan intonasi suara yang nyaris membentak.

"Kecilkan volume suaramu Hasan, bagaimana jika ada yang mendengar?" kata Ayesha yang semakin terlihat panik dengan bola mata yang masih memindai ke segala arah.

"Memang kenapa jika ada yang mendengar, huh?" tanyaku sengaja memancing dirinya. Sungguh aku tidak mengerti dengan jalan pikirannya.

"Sudahlah, aku ingin pergi ke kantor saja."

Ayesha berbalik badan meninggalkanku, ia berjalan lebih dulu dan masuk ke dalam mobil. Sementara aku masih berdiri terpaku memperhatikannya hingga dengan segala pemikiran yang berkecamuk dalam kepalaku.

"Wanita memang sangat aneh," dengusku seraya melangkah menyusul Ayesha yang pastinya sudah duduk nyaman di dalam mobil.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status