Semesta seolah sedang melempari Violet dengan masalah pagi ini. Baru juga dia berhadapan dengan Hara, sekarang si brengsek Evan justru datang ke kantornya entah sedang melakukan apa. Violet terdiam untuk beberapa saat tanpa menjawab ucapan Raya. Kepalanya tiba-tiba pusing.
“Berapa meeting hari ini?” Alih-alih bertanya tentang kedatangan Evan, dia justru melemparkan pertanyaan lain.
“Ada dua meeting, Bu. Kita akan bertemu dengan perwakilan JH Grup untuk membicarakan masalah pembangunan apartemen. Di jam 11.00 pagi. Lalu, dilanjutkan bertemu dengan perusahaan iklan ERO jam 13.00 siang.”
Itu artinya, dia masih memiliki banyak waktu luang untuk menemui Evan. Menemui Evan? Hanya dalam bayangan saja. Violet tak akan pernah melakukannya. Perempuan itu bertanya pada dirinya sendiri, apa yang sebenarnya ingin dilakukan Evan di saat seperti ini?
“Usir saja dia. Saya banyak pekerjaan.” Akhirnya penolakan itu dia gaungkan. Mengurusi Evan akan membuat harinya semakin suram. “Dan pastikan dia tak akan pernah datang lagi ke kantor kita,” perintah Violet kepada sekretarisnya.
Raya segera keluar dari ruangan bosnya. Mengatakan kepada petugas resepsionis jika Violet tak menerima tamu. Tapi, tampaknya Evan kukuh tetap berada di sana dan akan menunggu sampai Violet menemuinya. Entah apa yang diharapkan oleh Evan, Violet bukan perempuan yang memiliki hati lapang dan mudah kasihan dengan orang-orang yang sudah menyakitinya. Maka Evan hanya terlihat bodoh di lobby kantor Violet.
Pukul 10.00 pagi, Violet keluar diikuti oleh Raya di belakangnya. Evan yang melihat itu segera mendekati mantan kekasihnya itu.
“Violet!” panggilnya. “Aku ingin bicara denganmu.” Ada harap yang tercetak di raut wajah Evan. “Berikan aku waktu untuk menjelaskan tentang sesuatu.”
“Satpam!” Satu teriakan Violet membuat dua satpam yang berjaga segera mendekat.
“Ya, Bu!”
“Ingat wajah lelaki ini. Kalau dia datang ke kantor ini, usir dia segera. Kalau dia tidak menurut, kalian bisa melemparkannya ke jalanan.” Perintah Violet itu seolah di kantornya tidak ada yang mengenal Evan. Bukan lagi rahasia, siapa Evan dan Violet di masa lalu. Setidaknya, sebelum pernikahan Violet dan Vier terjadi.
Masih menjadi tanda tanya besar untuk para karyawan di sana kenapa Evan digantikan oleh Vier saat pernikahan. Tapi, mereka belum menemukan jawabannya.
“Violet!” Evan tampak tak terima.
Bukan urusan Violet kalau Evan tak menerima keputusannya. Perempuan itu lantas melepaskan tangan Evan yang mencekalnya dengan kasar kemudian meninggalkan kantornya. Evan akan mengejarnya ketika dua satpam sudah memeganginya. Violet benar-benar mengabaikan lelaki itu tanpa ampun. Menganggapnya seperti botol bekas yang harus dibuang di tong sampah setelah tak pakai lagi.
Vier menyaksikan itu dengan matanya sendiri. Di lantai dua, dia berdiri menatap ke arah perdebatan Violet dan Evan. Sampai sekarang, dia belum tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka. Tidak ada dari siapa pun yang menjelaskan kepadanya.
Deringan ponselnya terdengar. Vier mengambil benda itu di dalam saku celananya sebelum raut wajahnya terlihat murung.
‘Saya akan menunggu kamu di rumah. Malam ini datanglah!’
Itu adalah isi dari pesan yang baru saja masuk ke dalam ponselnya. Apa lagi ini? Begitulah yang dipikirkan oleh Vier. Sayangnya, dia tak bisa mengabaikan pesan tersebut. Maka, malam itu dia memenuhi ‘undangan’ yang dikirim kepadanya.
“Maaf, saya baru bisa datang, Pak.” Vier memulai berbicara saat berhadapan dengan seorang lelaki yang diseganinya dari dulu.
“Tentu saja. Kamu pasti sibuk dengan istrimu. Bahkan tidak peduli dengan Hara yang terus menangis setiap malam.” Suara lelaki itu begitu berat dan penuh amarah. Raut wajah yang dulu selalu menampakkan keramahan itu berganti kemarahan.
“Maafkan saya, Pak.” Vier seolah tak bisa mengeluarkan ucapan lain selain kata maaf berkali-kali. Kepalanya menunduk takzim. Dia tak tahu apa yang akan dilakukan oleh lelaki itu setelah ini.
“Nikahi Hara segera!” Kepala Vier yang tadinya menunduk kini mendongak untuk memastikan apa yang didengarnya.
“Maaf?” tanya Vier.
“Sudah hampir sebelas tahun bukan? Lalu sampai kapan kamu akan terus menggantung hubunganmu dengan Hara? Hara begitu mencintaimu sejak dulu. Ingatlah apa yang pernah kami lakukan kepadamu, Vier.”
Lelaki itu mengungkit kebaikan keluarganya yang sudah dilakukan selama ini. Vier tahu. Bukankah dia juga sudah berada di sisi Hara selama ini tanpa penolakan?
“Saya mengerti, Pak. Tapi, saya sudah pernah mengatakan saya akan menikahi Hara setelah saya bercerai dengan Violet. Bukankah Bapak sendiri yang menyetujuinya?”
“Lalu nanti tiba-tiba kamu akan memiliki anak dengannya dan meninggalkan Hara begitu saja?” Suara ayah Hara menginggi memenuhi ruangan. “Itu hanya akan membuat Hara sakit hati.”
“Tapi saya tidak bisa menikah dengan dua perempuan sekaligus, Pak.” Vier mencoba menjelaskan. Jika dia melakukannya, hanya akan menambah masalah di hidupnya.
Vier ingin sekali mengeluh. Tapi dia menahan mati-matian. Dalam dirinya bertanya, kenapa dia harus terjebak dengan dua masalah runyam seperti ini? Ingatannya tentang isi perjanjian yang dibuat bersama Violet. Lalu tentang Hara. Semua bercampur menjadi satu.
“Kalau begitu, luangkan waktumu untuk Hara. Saya tidak ingin melihat putri saya terus menerus menangis karenamu. Kalau perlu kita harus membuat perjanjian. Punya anak atau tidak kamu dengan istrimu nanti, kamu harus tetap menikah dengan Hara enam bulan lagi.”
‘Saya berpisah kamar dengan Violet.’ Vier mengatakan itu di dalam hati. Tapi tak terucap di mulutnya. Dia tak ingin ayah Hara semakin mengetahui urusan pribadinya dengan Violet.
Vier pulang ke rumah dan melihat Violet masih duduk di ruang keluarga sambil membaca buku. Kacamata bertengger di hidung mancungnya, rambutnya yang biasa tergerai indah itu kini diikat kuncir kuda. Violet tampak cantik dengan penampilan rumahannya.
“Abang dari mana?” tanya Violet tanpa mengalihkan tatapannya pada buku yang dibacanya.
“Ada urusan yang harus diselesaikan.” Vier duduk di samping Violet. Menyandarkan punggungnya di sandaran sofa, matanya tertutup sejenak.
“Sudah makan?” Violet bertanya lagi. “Aku tadi masak. Bagian Abang masih di meja makan. Bibi akan bekerja dua hari lagi.”
Violet terdengar cuek mengatakan semua itu. Tapi suaranya mengandung perhatian yang luar biasa.
“Terima kasih. Tapi, kita bisa order makanan kalau memang kamu sibuk,” usul Vier. Lelaki itu menatap Violet dari samping dan untuk sejenak pikirannya menyatakan kekagumannya pada istrinya. Kecantikan Violet benar-benar alami. Jika dibandingkan dengan Hara, perbedaan itu tampak sangat jelas.
“Aku pemilih. Jadi aku tidak suka makanan yang dipesan tidak sesuai seleraku.” Violet menutup bukunya. “Aku ke kamar dulu,” pamitnya sebelum meninggalkan Vier seorang diri.
***
Vier baru saja akan pergi ke kamar ketika ketukan pintu rumahnya terdengar. Ada sedikit kernyitan di dahinya sebelum membuka pintu. Ini sudah malam dan dia tak biasa mendapatkan tamu saat larut seperti ini. “Hara?” Vier terkejut saat Haralah yang datang ke rumahnya. Perempuan itu tak seperti biasanya. Wajahnya memerah dan tatapannya tak fokus. “Vier.” Hara melemparkan tubuhnya ke pelukan suami Violet tersebut dan melingkarkan tangannya di punggung Vier dengan erat. Bau alkohol menyengat tanpa ampun memenuhi penciuman Vier setelahnya. “Apa yang kamu lakukan, Hara!”Dengan sedikit kasar, Vier menjauhkan Hara dari tubuhnya. Menatap perempuan itu dengan tajam dan kemarahan tercetak di matanya. Dia tak tahu sejak kapan Hara menjadi perempuan yang bisa mengkonsumsi alkohol. “Aku akan tidur di sini. Di mana istrimu? Aku akan menyingkirkannya!”Meskipun pikiran Hara sedang tidak waras, dia seolah masih menantang keberadaan Violet. Mendorong Vier agar terlepas dari lelaki itu, Hara masuk k
Kini di ruangan meeting hanya tersisa empat orang. Violet dengan sekretarisnya, Rizal dengan Vier. Lalu Rizal meminta agar Raya pergi lebih dulu karena dia perlu berbicara dengan anak dan menantunya. “Violet, ini daerah yang lumayan jauh. Kita bisa meminta karyawan untuk pergi ke sana. Tidak harus kamu.” Rizal mencoba bernegosiasi. “Saya akan tetap berangkat, Pak. Saya akan mengajak Raya untuk perjalanan kali ini,” jawab Violet tak mau kalah. “Kalau memang kamu ngotot, maka biarkan Vier yang menemanimu.”“Tidak.” Secepat ayahnya memberikan usul, secepat itu pula dia menjawab. Vier bahkan terkejut dengan jawaban yang diberikan oleh Violet.Apa Violet sedang menghindarinya? Begitulah mungkin yang sedang dipikirkan oleh Vier saat ini. Tidak ada penjelasan lainnya selain kata ‘tidak’ yang diberikan. Violet berdiri dari duduknya. Pamit kepada ayahnya untuk kembali ke ruangannya tanpa melirik sedikitpun ke arah Vier. Rizal menangkap sesuatu yang aneh pada interaksi Violet dan Vier. Mesk
Hara tahu pesannya sudah dibaca oleh Violet saat centang dua berwarna biru muncul di halaman obrolan. Tidak sia-sia dia mencuri nomor Violet dari ponsel Vier. Kalau Violet berpikir dia akan diam saja, maka itu hanya kebodohan yang dipelihara oleh perempuan itu. Yang diinginkan oleh Hara adalah dia mendapatkan balasan dari Violet. Sayangnya, perempuan itu tidak menjawabnya sama sekali. Tidak masalah. Hara bahkan punya ribuan cara untuk mengusik ketenangan Violet. Satu tak berhasil, maka ada cara lainnya yang sudah dipikirkan olehnya. Senyum jahat tercetak di bibirnya. Kalau dia tak bisa mengganggu Violet, maka itu bukan Hara. “Sudah malam, Hara. Pulanglah.” Senyum yang tadinya merekah itu kini tertutup mendengar suara Vier. Hara jelas tak suka dengan ‘ide’ Vier yang mengusirnya dari rumahnya. Ini masih sangat sore baginya. Baru pukul 07.00 malam. Dan lagi, biasanya Vier yang akan mengantarnya. Sekarang lelaki itu justru mengusirnya tanpa perasaan. Apa-apaan ini. Hara tak terima. “
Violet menoleh saat suara pintu terkunci. Vier berdiri di depan pintu kamarnya sambil menatap ke arahnya. Violet tak tahu apa yang ingin dilakukan oleh suaminya di dalam kamarnya, tapi dia tahu jika lelaki itu tak bermaksud jahat.“Ada apa?” tanyanya kepada Vier setelah dia selesai memasukkan barang-barangnya yang dimasukkan ke dalam tas kerjanya. Tangannya bersedekap di depan dada, matanya balas menatap Vier. Mengikuti langkah Vier yang mendekat kepadanya. “Kita bicarakan masalah rumah,” jawab Vier tanpa basa-basi. Violet memberi kode kepada lelaki itu untuk duduk di sofa kamarnya. Dia juga mengikuti suaminya dengan keheningan yang tercipta. “Kita sudah berada di rumah yang sama. Bagaimanapun, kamu adalah istriku.” Vier menarik kartu dari saku kemejanya lalu meletakkan di atas meja. “Gunakan kartu ini untuk kebutuhan rumah.” Violet melihat kartu debit itu dengan tatapan santai. Tidak menyentuh apalagi mengambilnya. Tatapannya berpindah pada sang suami kemudian menjawab, “Aku tid
Vier menggunakan waktunya untuk melamun di sela-sela bekerja. Pikiran tentang mencari tahu masalah Violet dan Evan tidak mau hilang dari kepalanya. Rasa penasaran tiba-tiba saja mengoyak ketenangannya. Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa Violet dan Evan harus berakhir dengan perpisahan padahal mereka selalu terlihat bak Romeo dan Juliet. Tapi sisi lain hatinya menolak untuk tidak melakukan sesuatu yang bukan urusannya. Tidak ada untungnya bagi dirinya. Evan masih mengejar Violet dan sebagai suaminya kamu seharusnya menghalangi tingkah lelaki itu. Batinnya lagi, memberontak pada pikirannya. Vier mengacak rambutnya ketika dia diserang dengan pikiran-pikiran yang menginginkan ikut campur dalam masalah yang tidak seharusnya. Sejak kapan dia tertarik dengan urusan orang lain? Memangnya Violet orang lain? Dia istrimu, kan?Ah, sial. Kenapa hati dan pikirannya saling bertolak belakang? Menjengkelkan. “Vier!” Panggilan itu membuat Vier sedikit linglung. “Ada apa denganmu? Saya sudah mem
Vier seperti sedang berselingkuh ketika bertemu dengan Raya secara diam-diam. Di samping gedung kantornya ada sebuah kafe dan pertemuan itu dilakukan di sana. Setelah tidak mendapatkan informasi apa pun dari Evan siang tadi, maka terpaksa dia melanjutkan rencananya untuk bertanya pada Raya. “Sebenarnya apa yang ingin Bapak tanyakan kepada saya?” Raya terlihat tak tenang. Matanya tidak fokus pada Vier. Terus saja berputar menatap di sekitar mereka. Mungkin saja gadis itu takut akan ada isu-isu buruk saat ada orang yang memergokinya bersama dengan suami bosnya. “Katakan, sebenarnya apa yang terjadi pada Violet dan Evan.” Pertanyaan Vier membuat Raya terkejut. Gadis itu tersenyum garing. “Bapak ini bicara apa? Maksud saya, kenapa Bapak bertanya itu kepada saya? Harusnya Bapak tanyakan sendiri kepada Ibu.” “Karena saya tahu, kamu mengetahui sesuatu tentang mereka.” Vier mendesak. “Kamu tidak lupa saat itu saya mendengar kamu mengatakan kepada Violet kalau kamu dihubungi Evan, kan? It
Vier tidak berniat menerima kartu tersebut meskipun Violet menyerahkannya kembali kepadanya. Belum juga Vier mengatakan sesuatu, deringan ponselnya terdengar. Nama Hara tampak di sana. Violet bisa melihat sekelebatan nama perempuan itu di ponsel Vier. Tak ada reaksi apa pun yang diperlihatkan oleh Violet. Vier pun tidak mencoba menyembunyikannya. “Hallo!” Bahkan lelaki itu menerima panggilan tersebut tepat di depan Violet. “Bisa kita berbicara besok saja, Hara? Ini sudah malam.” Vier menarik nafas panjang sebelum menyetujui ajakan perempuan itu. Setelah panggilan itu berakhir, Vier menatap Violet kemudian dia bilang, “Aku akan bertemu dengan Hara. Dia mengancam akan datang ke sini kalau aku tidak menemuinya.” Setelah mengatakan itu, Vier berlalu dari hadapan Violet. Bahkan tanpa mengganti bajunya, lelaki itu melesat pergi tanpa berpikir lagi. Violet meremas kartu yang digenggamnya itu dengan kuat. Satu ide masuk ke dalam kepalanya. Dia berbalik kemudian masuk ke dalam kamar Vier. I
Mata Evan terlihat seperti bara api yang ingin membumi hanguskan Violet. Ekspresinya kaku luar biasa. Amarah memenuhi hatinya. Kepalan tangannya bahkan membulat sampai kukunya memutih. “Kamu seharusnya memilih orang yang lebih dariku, Violet.” Evan bersuara. “Dia bukan siapa-siapa dibandingkan denganku.”“Jadi kamu merasa lebih tinggi dibandingkan dengan Vier? Kamu marah karena itu?” Suara tawa Violet menguar sampai telinga Evan dan Vier. Sepersekian detik, tawa itu musnah begitu saja digantikan dengan ekspresi dingin yang membekukan. “Kalau kamu tidak bisa memberi nilai pada dirimu sendiri, maka mati sajalah.” Violet semakin menempelkan tubuhnya pada tubuh Vier. “Biar aku kasih tahu. Kamu adalah laki-laki yang bahkan tidak akan aku pilih seandainya dunia ini hanya menyisakan dirimu seorang diri. Aku bahkan mual berhadapan denganmu.” Cemoohan itu menyakitkan telinga sampai ke hati. Evan pasti merasa terbakar oleh amarahnya sendiri. “Jadi kamu berpikir jika Vier adalah laki-laki y