Warning!
18+***Aku tiba di kos pukul tujuh malam. Beberapa minggu cuma mengontrol pekerjaan lewat ponsel, ternyata banyak hal yang perlu dilakukan. Aku pergi pukul sepuluh pagi tadi, dan baru selesai sekarang.Suasana hati agak muram saat aku ingat kalau malam ini Rahisa enggak tidur di kosnya. Rahisa akan menginap di rumah Pak Naja, karena laki-laki itu sakit. Sepertinya, habis mandi nanti, aku langsung tidur saja.Langkahku yang menuju kamar memelan saat melihat ada orang yang duduk di kursi teras. Kukira salah lihat, sempat sangsi kalau itu Gatan, suaminya Inara. Namun, setelah menginjak teras, ternyata benar lelaki itu Gatan.Malas meladeni dia, pun enggak tahu apa urusannya ada di sini, aku membuka kamar. Siapa tahu dia nyasar, ya, 'kan? Nanti, kalau aku tanya, dia malah bilang aku ge-er.Namun, ketika akan menutup pintu, Gatan malah mencegah. Pria itu mendorong kuat, sampai pintu kamar terbuka lebar. Dia menekuk wajah ke arahku, makin terlihat jelek dia."Inara tanya kapan kamu datang."Malas sekali aku mendengar bahasan enggak berguna ini. Seminggu kemarin, Inara terus-terusan menelepon untuk menanyakan serupa. Dan sekarang, perempuan itu sampai harus mengutus suaminya datang ke sini?Apa Inara pikir aku takut pada suaminya ini?"Nanti." Aku berucap tanpa membuat nada malas. "Apa perlu aku ingatkan kalian? Aku bukan pengangguran. Aku juga punya hal yang ha--""Kapan? Sebut hari, tanggal dan jam."Aku enggak tahan untuk enggak memutar bola mata. Apa, sih, sebenarnya tujuan Inara melakukan ini semua?"Mana bisa. Aku sibuk!" Kudorong daun pintu, tetapi lelaki itu malah menerobos masuk.Dua alisku mengait melihat dia duduk tanpa izin di satu-satunya kursi yang ada di kamar kos. "Ngapain kamu?"Gatan mengeluarkan ponsel. "Aku nggak akan pergi sebelum dapat kepastian. Kapan kamu akan temui Inara di rumah kami?"Lelaki itu memainkan ponselnya dengan santai. Aku mendengkus jijik dengan aksinya ini. Sumpah, ingin kutendang wajah menyebalkannya itu supaya pergi sekarang juga."Kalian itu maunya apa, sih?" kataku setelah cukup lama diam.Aku mengacak rambut. Kukira mendiamkannya beberapa saat bisa menggoyahkan niat untuk memaksaku. Ternyata, Gatan tetap duduk dengan santai di sana."Kapan kamu datang ke rumah kami?"Aku berdecak kesal. "Istrimu itu mau apa, sih, sampai ngotot banget aku harus datang? Mau pamer kalau hubungan kalian itu harmonis? Enggak usah, aku udah tahu."Gatan tak menyahut. Dia terlihat serius menatapi layar ponselnya. Apa ponselnya itu saja yang kutendang, ya?"Gatan!" Akhirnya aku menendangnya. Menendang kaki kursinya maksudku.Suaminya Inara itu hanya melirik sebentar, kemudian lanjut mengutak-atik ponsel."Inara hanya ingin memastikan kalau kamu sudah memaafkannya."Aku bersumpah melihat senyum sinis di wajah Gatan."Padahal, dia nggak salah apa-apa. Dia cuma kurang beruntung karena punya kakak yang jahatnya melebihi iblis di neraka."Kali ini aku yang tersenyum padanya. Aku mengusap wajah, kemudian membuang napas keras. Sudah dia yang perlu aku datang ke rumahnya, bukannya membujuk, malah mengatai. Baik. Akan kuladeni dia."Aku enggak bisa kasih kepastian bakal datang kapan. Mau kamu duduk di situ sampai besok pagi juga, kamu enggak akan dapat apa pun. Pergi sekarang, atau kamu bakal ditindak sama yang punya kos-kos--"Ucapanku menggantung di udara, lenyap dibawa angin sebelum rampung, karena Gatan terbahak. Pria itu menyipitkan mata padaku."Kos-kos-an ini bebas. Nggak ada jam malam, apalagi batasan. Jangan sok suci kamu. Aku yakin, aku bukan laki-laki pertama yang kamu bawa masuk ke sini."Aku menghapus semua ekspresi di wajah. Sungguh, aku benci pria ini sampai ke tulang. Karena dia sudah berkata begitu, baik. Mari lakukan yang dia pikirkan.Kakiku bergerak untuk menaruh tas. Kututup pintu kamar kos, lalu menguncinya. Aku pergi ke dekat lemari, memilih pakaian, sembari menanggalkan kaus. Sembari melakukan kegiatan itu, aku memantapkan hati untuk enggak mundur sekarang, meski rasanya malu sekali.Dari ekor mata aku bisa tahu kalau tatapan Gatan makin menajam sekarang. Masa bodoh dengan dia! Biar dia lakukan yang dia mau, dan jangan harap aku akan sudi menurut padanya.Berikutnya aku melepas celana jin. Menutup lemari pakaian, kemudian pergi ke belakang pintu untuk mengambil handuk. Sebelum ke kamar mandi, aku berbalik ke arah Gatan.Lelaki itu menunduk. Sok sibuk dengan ponselnya, tetapi aku menangkap jika naik turun bahunya menyepat dari yang sebelumnya. Mampus kau, pria sok suci!Jika dia waras, dia harusnya segera pergi. Sekarang, dia itu adik iparku. Meski dulu kami punya hubungan, tetapi kini dia sudah punya istri dan enggak seharusnya dia ada di kamar kakak iparnya yang setengah telanjang.Sengaja aku berdiri berlama-lama. Meski malu setengah mati, aku harus bertahan. Aku enggak mau mengalah, yang harusnya kalah itu dia.Dua menit lewat, Gatan masih di kursinya. Aku enggak kehabisan ide. Jangan dipancing otakku untuk melakukan hal jahat."Kalau kamu masih di sini sampai aku selesai mandi nanti ..."Sadar aku menantangnya, lelaki kurang ajar itu malah menaikkan pandang. Ditatapnya aku lurus-lurus, seolah sekarang aku berpakaian lengkap dan bukan hanya mengenakan dalaman atas dan bawah.Aduh. Apa aku udah enggak cantik lagi, ya? Kenapa bisa ada pria yang enggak turn on melihat aku setengah telanjang begini? Apa aku bukan perempuan lagi?"Apa? Kamu mau apa?" tantangnya balik.Tanganku mengepal di balik punggung. Jangan kalah, kataku pada diri sendiri. Dia harus pergi, apa pun caranya."Kuperkosa kamu," kataku dengan senyum miring, sebelum balik badan dan masuk ke kamar mandi.Di dalam kamar mandi, aku berdoa semoga segera mendengar suara pintu dibuka. Agak aneh juga kalau sampai ada kasus perempuan melakukan rudapaksa pada laki-laki, 'kan?***Aku bersumpah. Tadi itu aku hanya menggertak. Menemukan Gatan masih di kamar kosku setelah selesai mandi, aku yang hanya mengenakan handuk naik ke pangkuannya.Menekan tubuhku ke bawah, mengusap tengkuknya beberapa kali, karena tahu bagian itu bisa membuatnya cepat terangs4ng. Aku hanya berusaha menakuti.Dia masih bergeming dengan wajah keras, aku nekat menciumnya beberapa kali. Enggak banyak, cuma beberapa di leher dan di bibir.Aku mendengar suara geraman rendah sebelum Gatan berdiri, lalu mendorongku menjauh. Kukira, dia akan segera lari. Namun, dia malah melangkah maju, menerjang, kemudian membuatku roboh di atas kasur.Gatan mengangkangi pahaku. Menarik handuk yang kupakai hingga lepas, lalu ... senjataku berbalik menikamku."Enak? Ini yang kamu mau, 'kan? Kamu suka ini, ''kan?"Bayangan wajah Gatan yang memerah dan penuh hasrat, seiringan dengan sensasi panas yang pria itu buat di pangkal paha, muncul di benak kini. Membuatku buru-buru menggeleng untuk mengenyahkannya. Aku ingin bangkit dari ranjang, tetapi tubuhku ditarik pelan ke belakang oleh satu lengan Gatan yang sejak tadi ada di pinggang.Aku berusaha melepaskan diri darinya, tetapi Gatan malah kembali menyelipkan dirinya di sana. Sejak kapan dia bangun lagi? Bukankah tadi dia tidur?Satu tangannya yang bebas sengaja memijat kencang dan kasar, sebelum mencengkeram kuat. Pria itu mulai bergerak, membuatku lumpuh dan berhenti menolak dia.Dia melakukannya sampai selesai. Kupikir akan bisa segera lepas, tetapi Gatan tak kunjung memisahkan diri. Anj1ng memang laki-laki satu ini."Kalau kamu pikir aku bakal nurut setelah kamu giniin, kamu salah besar," ucapku dengan napas yang belum beraturan."Kalau gitu, aku bakal lakuin ini terus." Jantan enggak tahu malu itu menciumi tengkuk.Aku berusaha menjauhkan tubuh darinya, tetapi gak bisa. Satu kakinya sudah menimpa kakiku dan menahannya agar enggak bisa berkutik."Kamu sadar apa yang kamu lakuin ini, Gatan?" Kurasakan kalau mata mulai basah, bersamaan dengan nyeri yang pelan-pelan menyelip di jantung."Diamlah. Anggap aja ini mimpi."Sial. Perkataannya membuat rasa sesal langsung menggunung.Demi apa pun, aku enggak pernah punya rencana tidur dengan lelaki satu ini, meski kami dulunya punya hubungan. Niatku hanya ingin mengerjainya tadi. Namun, semua malah hancur begini."Kamu nangis gara-gara apa?"Aku mengabaikan tanya dengan nada mengejek itu. Kupejamkan mata, lalu berusaha tidur saja. Biar kucari dulu jawaban untuk tanyanya tadi.Aku menangis karena apa?Karena rasa bersalah pada Inara? Enggak. Aku memang sengaja mengerjai Gatan, tetapi lelaki itu yang duluan menyentuhku lebih jauh. Salah dia karena cepat sekali tergoda.Lalu, kenapa aku menangis?Karena sudah dipaksa dia berhubungan intim? Sepertinya bukan, sebab beberapa kali desahanku sengaja kubuat agak kencang untuk memancing dia.Lalu, air mataku ini karena apa?"Ini udah jadwalnya bersihin kolam, ya, Pak?" tanyaku pada Pak Sardi di sebelah. Pria lebih setengah abad itu mengiyakan. "Rencana besok, Mbak," jawabnya sembari menyebar pakan ikan ke kolam. Aku mengangguk, sambil memandangi para mujair yang mulai berkerubung di tempat pakan dijatuhkan. Aku menghitung dalam hati. Ini sudah bulan kelima setelah penyebaran bibit, artinya sudah bisa panen. Kembali aku menanyai Pak Sardi untuk lebih memastikan. Bagaimana juga beliau yang lebih sering mengurusi kolam-kolam mujair ini. Jadi, pasti lebih mengerti. Sejak berhenti menjadi teller salah satu bank, aku memutuskan untuk menjadi pengusaha. Budidaya ikan mujair yang kupilih. Dan setelah mengalami beberapa kali rugi, beberapa tahun belakangan usaha ini cukup menjanjikan. Aku bisa membiayai diriku dari usaha ini. Karena itu, meski enggak tinggal bersama Ibu sekali pun habis bercerai, aku enggak akan kesulitan bertahan hidup. "Apa mau sore ini saja panen, Mbak?" Pada Pak Sardi aku menggeleng. "
"Bisamu cuma buat ulah." Ditengah rasa dingin yang membuat tubuh menggigil, aku mendengar suara orang bicara. Kubuka mata, lalu mengernyit saat menemukan wajah Gatan tepat di depan mata. Seingatku, tadi itu tidur sofa di ruang tamu sendirian. Memang enggak nyenyak, karena Inara ternyata benar. Di sini dingin sekali. Namun, aku enggak merasa kapan Gatan datang dan enggak tahu mau apa dia di sini. "Minggir," gumamku sembari mendorong wajahnya menjauh. Mau apa dia dekat-dekat? "Pindah ke kamar. Di sini dingin." Mengangkat kelopak mata dalam keadaan setengah sadar, aku memakinya. "An**ng kau. Pergi kau sana," usirku dengan suara pelan. Jangan sampai Inara dengar. "Makanya jangan bikin ulah. Pindah ke kamar." Dia malah melotot. Masih enggak menyingkir dari samping sofa yang aku baringi. "Ulahku apa memangnya? Sana, aku mau tidur." Malas meladeni, pun masih sangat mengantuk, aku berbalik. Aku memunggungi dia, kemudian merapatkan selimut ke tubuh. Seharusnya tadi aku menaikkan suhu
Aku berlari macam orang dikejar kematian dari kos. Tujuanku adalah jalan raya, segera mencegat taksi, kemudian ke rumah sakit. Namun, setibanya aku di jalan besar, enggak ada satu pun taksi yang lewat. Aku memukul kepala kencang karena enggak ingat kalau taksi atau ojek bisa dipesan lewat ponsel. Mana ponselku tinggal di kos. Sialan. Menjambak rambut sendiri, aku sudah akan berlari. Biar pakai kaki saja, pasti sampai juga. Saat itu, sebuah mobil mengadang jalanku, sembari menekan klakson. "Kamu ngapain berkeliaran malam-malam di--" "Rumah sakit!" potongku pada Gatan. Aku langsung masuk ke mobilnya. Dia menatapku dengan wajah bingung. "Rumah sakit. Cepat!" Mobil Gatan mulai berjalan. Aku meremas jemari sendiri. Enggak sabar untuk segera sampai rumah sakit, tetapi juga enggak sanggup kalau harus lihat Rahi. "Kamu mau apa ke rumah sakit?" Pertanyaan Gatan langsung membuat air mataku tumpah. Debar jantungku yang cepat membawa sensasi nyeri yang membuat enggak nyaman bernapas. "T
Menarik daun pintu kamar kos hingga terbuka, aku membeliak sampai kelopak mataku rasanya sakit. Memalingkan wajah sebentar, aku baca doa sejenak, mengusap wajah, lalu menatap lurus. Orang yang kulihat di depan pintu enggak hilang. Mampus. Beneran ternyata. Sosok Ibu yang aku lihat sekarang bukan sekadar halusinasi. Segera aku keluar, kemudian menutup pintu. Kupersilakan Ibu menempati kursi yang ada di teras. "Ada apa?" tanyaku enggak sabar. Sama sekali enggak ada keramahan di ekspresi wajah Ibu. Aku berusaha mengingat-ingat sudah melakukan kesalahan apa. Sepertinya enggak ada. Hidupku tenang tentram dua bulan belakangan. Sehari-hari aku pergi menengok para mujair penghasil uang. Menjenguk Rahi, atau membereskan kamarnya Rahi. Lalu, tidur kalau memang lagi malas. Kapan aku melakukan sesuatu yang salah? "Kamu berniat merusak rumah tangga Inara?" Aku melipat bibir ke dalam. Sempat menahan napas, kemudian sok mengernyit. Aku harus pura-pura enggak paham dulu. "Maksud Ibu?" "Mau
Malam sudah datang, tetapi aku masih duduk di lantai dekat kasur. Berjam-jam memikirkan keadaan nahas ini, tetapi enggak kunjung mendapat solusi. Yang ada, perasaanku makin kacau. Sebelum ini, aku yakin sekali akan bisa hidup bebas. Sudah enggak punya suami, sudah pindah dari rumah Ibu. Sudah menunaikan keinginan Inara juga. Harusnya, sekarang aku siap untuk mewujudkan keinginan-keinginan yang belum sempat dilakukan. Aku bahkan sudah membuat daftarnya kemarin. Kutulis wishlist itu di kertas origami kuning, lalu kusimpan di buku catatan kecil yang sering dibawa. Begitu serius aku untuk mewujudkan hidup yang bebas dan bahagia. Namun, lihatlah yang aku dapatkan. Dulu, aku enggak bisa melakukan apa yang kumau karena Inara. Ibu akan marah jika aku pergi jalan-jalan ke toko buku dengan teman-teman sepulang sekolah. Katanya, Inara akan sedih sebab enggak bisa ikut dan harus pulang sendiri. Pernah aku nekat pergi tanpa bilang. Dan aku berakhir dijemput Ibu dari mal dan dijambak. Perkara
Mengambil keputusan untuk mempertahankan janin ini, aku sudah mengkalkulasi banyak hal. Pertama, calon bayi itu enggak salah apa-apa, dia hadir karena ulahku dan dia berhak hidup. Kedua, meski nanti akan berat, tetapi sepertinya aku bisa berusaha untuk mengurus seorang anak, sendirian. Aku punya penghasilan untuk menghidupi dia nanti. Masalah kami akan jadi bahan gunjingan orang, aku bisa mengarang cerita agar anak ini nantinya aman dan tahu kalau ayahnya meninggal sebelum dia lahir. Soal yang lain, akan kucoba pelajari sesegera mungkin. Ketiga, kenapa akhirnya aku putuskan untuk memelihara calon anak ini adalah karena siapa tahu nanti dia mirip ayahnya. Kapan lagi punya versi mini dari Gatan yang bisa diatur-atur sesuka hati? Belum lagi, anak ini nanti akan sepenuhnya milikku. Enggak seperti ayahnya yang harus dibagi-bagi. Dan keempat, ini untuk Rahisa. Seperti kata Pak Naja, Rahisa pasti akan senang kalau nanti punya keponakan. Langkah pertama untuk menjaga anak ini, hari ini ak
"Lagi hamil, ya?" Pertanyaan Ibu pemilik warung yang aku datangi, kujawab dengan anggukkan pelan, enggak bersemangat. Pagi ini, kondisiku agak kurang baik. Sejak kemarin aku enggak selera makan apa pun dan lemas. Pagi ini, aku ke warung untuk membeli beberapa bahan makanan. Siapa tahu dengan memasak menu lain, selera makan jadi sedikit membaik. Aku membeli mi putih dan satu bungkus bakso. "Biasanya Ibu hamil memang begitu. Sering lemas. Suaminya di mana?" Beberapa minggu tinggal di sini, ini pertama kalinya ada yang menanyai soal suamiku. Seperti rencana awal, aku menjawab kalau ayahnya calon anakku ini sudah meninggal. "Dia supir, Buk. Kecelakaan dan meninggal di tempat." Aku menunduk untuk menahan senyum. Semoga enggak ada malaikat yang mencatat ucapan tadi. Ibu pemilik warung itu tampak simpati. Beliau mengangguk dengan wajah iba. Usai menghitung belanjaanku, dia berkata, "Yang sabar. Kamu pasti sudah dianggap mampu mengurus anak itu sendirian, karenanya suamimu dipanggil dul
Harusnya bisa untung besar bulan ini, karena pelanggan yang memesan ikan bertambah, aku harus kecewa dan segera merencanakan pembatalan pesanan. Hari ini aku menerima laporan kalau banyak ikan yang mati. Padahal, kata Pak Sardi, pakan, vitamin dan jadwal membersihkan kolam sudah seperti biasa. Pak Sardi bilang, kalau enggak ada ikan yang mati lagi, mungkin yang bisa dipanen enggak sampai setengah dari bibit yang disebar. Sedih sekali rasanya. Namun, apa mau dikata? Mungkin sudah nasib. "Sudah sore. Mbak mau pulang sekarang?" Pertanyaan Pak Sardi kujawab dengan anggukkan lesu. Tadi pagi aku datang dengan taksi. Jadi, sekarang pun harus pesan taksi dulu. Belum juga taksiku datang, seorang pekerja menghampiri dengan langkah tergopoh-gopoh. Wajahnya tampak panik. "Mbak, ada yang cariin. Orangnya pingsan." Aku diajak untuk ke depan. Umpatanku enggak bisa ditahan saat melihat ada mobil Gatan terparkir di dekat pintu masuk tempat budidaya ikan. Kuperiksa ke dalam, info pekerja itu ter