Share

6# Pemakaman

Rumah duka dipenuhi dengan pelayat. Warna hitam sebagai penanda tengah berkabung. Banyak orang berdatangan untuk menyampaikan duka mendalam.

Anyelira berdiri di antara para pelayat. Rekan jaksa dan orang-orang ternama beserta sanak saudara berjejer di depan sana. Dari belakang, ia hanya sekedar memandang dan turut melantunkan doa dalam hati.

Selepas orang-orang pergi dari pemakaman, Anyelira mendekati pusara itu. Di atasnya tertulis Hendrik Anggara. Nama pamannya. Anyelira berjongkok di samping pusara. Tangannya bergerak mengelus nisan itu.

"Om, terima kasih. Terima kasih sudah merawat Lira menggantikan ayah dan ibu. Terima kasih sudah memberikan yang terbaik untuk Lira. Lira nggak tahu bagaimana balasnya--tapi Lira janji untuk menjadi jaksa yang baik. Lira nggak akan membuat nama Om malu. Lira ... Lira akan buat Om bangga." Air mata Lira mengalir tanpa diperintah. Punggungnya ditepuk oleh seseorang.

Menoleh, bisa ia lihat Bambang berdiri di belakangnya. Lelaki itu setia menemaninya kala pemakaman sudah ditinggalkan oleh para pelayat.

Anyelira tersenyum lemah. Ia kembali menoleh pada makam Hendrik. "Anyelira pamit dulu. Nanti Anyelira akan datang lagi. Membawa Ganesha ikut serta. Dia juga ingin melayat ke makam Om." Menghela napas berat, Anyelira kembali bersuara. "Om, kalau di sana Om ketemu sama ayah dan ibu--tolong beritahu mereka. Anyelira sudah bahagia. Jangan cemas. Dan berbahagialah di sana."

Selepas itu, Anyelira berdiri. Bambang merangkul bahunya dan menepuk-nepuk kepalanya. Membawa Anyelira menuju mobil wanita itu. Di sana, anak dan istri Bambang sudah menunggu. Anyelira sengaja tidak membawa Ganesha karena cemas lelaki itu akan rewel dan memaksa ikut untuk di pemakaman. Sedangkan orang-orang banyak yang kurang nyaman dengan suaminya. Anyelira tahu ini tidak benar. Tapi untuk kali ini saja, Anyelira hanya ingin memberikan penghormatan terakhir tanpa mendapatkan kesinisan dari sekelilingnya yang mengenal suaminya.

"Siapa ini? Bukankah Anyelira Arsyana? Mana suami idiotmu itu? sengaja tak kau ajak, eh?"

Langkah Anyelira dan Bambang berhentu seketika. Mereka kompak menoleh pada siapa yang datang. Seorang lelaki berkemeja hitam lengkap dengan celana dan sepatu pantofel warna senada. Tanpa menelisik lebih dalam, lelaki ini tentu saja baru datang dari pemakaman pamannya.

Anyelira menipiskan bibirnya. Kesedihan yang membuncah berhelung dengan kemarahan. Ya, Anyelira mengenal pria itu. Sama sekali tidak asing dengan perawakannya. Pria yang dibencinya setengah mati dan membuatnya trauma dengan lelaki normal sepertinya.

Erick Anggara.

anak pertama pamannya. Sepupu Anyelira yang berbeda dua tahun lebih muda darinya. Sudah lama mereka tidak bertemu. Sebab sejak kejadian kala itu, Anyelira mencoba menjauh dari Erick dan memblokir akses lelaki itu menemuinya. Jikalau dirinya bermain ke rumah pamannya--Anyelira akan memilih waktu di mana Erick tengah berada jauh dari temapt tinggalnya.

"Erick Anggara. Lama tidak berjumpa."

"Iya. Bukankah terakhir kali kita bertemu adalah ketika kau masih menjadi jaksa baru? Kau bahkan tidak mengundangku ke pernikahanmu. Kejam sekali."

Erick menampilkan raut kesakitan. Terlihat begitu menjengkelkan di mata Anyelira. Bambang menepuk bahunya. Lelaki itu jelas menyuruhnya untuk bersabar.

"Lama tidak bertemu, Rick. Bagaimana kabarmu?" Bambang basa-basi. bersambut dengan kernyitan di alis Erick.

"Baik. Tentu saja. Setelah sekian lama, aku bisa pulang ke negara ini pada waktu yang lama."

"Kalau begitu, nikmati waktumu. Kami akan segera pulang."

"Kau tadi belum menjawab pertanyaanku, Anyelira. Di mana suamimu? Aku ingin menghajarnya karena telah berani merebutmu dariku."

Mata Anyelira membelalak. "Aku memastikan kalian tidak akan bertemu, Sialan!"

Anyelira berbalik. Melangkah cepat pada mobilnya. Bambang mengikuti dari belakang dengan langkah terburu. Mereka lantas pergi melewati Erick yang masih setia berdiri di tempat semula.

Anyelira sebisa mungkin mengatur napasnya. Ia terlalu marah. Juga ... ingatan ingatan samar yang susah payah ia lupakan mencoba menyerbu kepalanya.

***

Ganesha nareswara menatao datar sema kejadian di depannya. Wajahnya tak menyiratkan apapun selain raut dingin dan juga ... bengis.

Tangan Ganesha mengerat. Lelaki itu sebisa mungkin menahan emosinya kala melihat istrinya digandeng pria lain. Belum lagi lelaki sialan yang datang mengganggu. Ganesha bersumpah--jika dirinya tidak dalam keadaan berpura-pura abnormal, Ganesha pasti sudah melenyapkan mereka sedari awal ia melihat batang hidungnya.

"Tuan--"

"Ganesha. Bukankah aku sudah memveritahumu berkali-kali?"

Saka terlihat menganggukkkan kepalanya. Ganesha tak tahu itu hanya sekadar respon untuk melindungi dirinya dari amarah Ganesha atau memang tidak mau berurusan panjang dengannya hanya karena sebuah nama. Ganesha tak peduli. Yang ia pedulikan sekarang hanyakah istrinya.

Anyelira sudah memasuki mobil dan pergi dari sana.

Hah!

Menghela napas kasar, rasa-rasanya Ganesha ingin menyudahi sandiwara konyolnya. ia ingin mengakui segalanya pafa istrinya jikalay dirinya bukanlah lelaki idiot yang tidak bisa menjaganya dan diandalkan. Hanya saja, jika Ganesha melakukannya bukannya senang, Anyelira mungkin akan mengirim surat cerai kepadanya.

Sialan!

Mengapa pikiran wanita harus serumit itu sih?!

"Tu--Ah, Ganesha. Apa kau mau ke pemakanan sekarang, orang-orang sudah pergi."

Ganesha mengangguk. Pria itu keluar dari mobil bersama Saka di belakangnya. Sengaja memang Ganesha tidak merengek ingin ikut bersama Anyelira, dirinya memang memiliki rencana untuk datang secara pribadi dengan keadaan normal. bukan bersandiwara.

Mata Ganesha melirik sekeliling, bahkan ajudan Hendrik yang semasa hidup selalu menjadi bayang-bayang lelaki itu, kini tidak menampakkan batang hidung mereka. Ganesha hanya menertawakan nasib buruk lelaki tua yang kini sudah menyandang status baru. mendiang.

Iya, mendiang Paman Hendriknya.

Ganesha tersenyum miring. tangannya menggenggam tanah kuburan itu dengan kuat.

"Hai, Om. Bagaimana menelan racun yang pernah kau berikan padaku? Enak?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status