Share

4. Mama Setuju

Suara alarm berbunyi membuat Yuri bangkit duduk untuk mematikannya. Ia menatap tirai jendelanya yang masih tertutup rapat, bangkit berdiri untuk menyibaknya. Ia langsung tersenyum cerah ketika sinar mentari mengenai wajahnya.

Yuri belum pernah bangun tidur sesenang ini selama 3 hari terakhir. Dan sekarang, setelah Papanya menyetujuinya menikah kemarin, akhirnya ia bisa bernapas lega karena tidak perlu mengurung diri di kamar lagi.

Ia dan Papanya kemarin mendiskusikan banyak hal. Papanya itu menawarinya banyak syarat sebelum menikah—yang kebanyakan ia tolak. Salah satunya tidak boleh tinggal satu rumah sebelum lulus kuliah.

Tentu saja Yuri tidak mau. Apa fungsinya jika menikah, tetapi tidak satu rumah?

Akhirnya keputusan lain diambil. Yuri dan calon suaminya tetap satu rumah, tetapi dengan kamar terpisah. Setelah itu syarat lain datang. Yuri harus tetap tinggal bersama suaminya di rumah Papa Mama. Orang tuanya berniat mengawasinya.

Dan ya, lagi-lagi Yuri  tidak mau. Ia akan tinggal di rumah sendiri bersama suaminya. Apa gunanya coba jika menikah, tetapi masih tinggal bersama Papa Mama?

Untuk urusan calon suami, Papa yang akan mencarikan untuknya. Tentu saja disesuaikan dengan tipe yang Yuri inginkan. Lagi pula tipenya itu simpel saja: bukan om-om umur 40 tahun! Papa jahat sekali jika sampai mencarikan suami untuknya berusia 40 tahun.

Dan ya, Yuri yang akan mengatakan 'ya' atau 'tidak' nanti. Jadi itu tetap pilihannya. Hanya saja yang mencari Papa.

Seperti inilah hidup ribet ala Yuri Agatha. Padahal banyak lelaki tampan di kampusnya, atau bahkan beberapa mantannya yang berkali-kali merengek minta balikan, tetapi sekali lagi, inilah Yuri. Ia ingin mencari yang baru, yang bisa ia cintai secara perlahan-lahan dan menyenangkan. Selain itu, Yuri kepo sekali bagaimana beberapa orang bisa langgeng menikah dengan seseorang yang sebelumnya belum dikenal. Yang sudah kenal lama malah berpisah dengan cepat. Bosan? Ia tidak yakin. Maka dari itu Yuri juga ingin mencobanya.

Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi. Yuri keluar kamar, melangkah menuju dapur. Ia berniat membuat makan siang untuk Papanya di kantor dan mengirimnya sekalian pergi kuliah siangnya. Tentu saja Yuri harus membalas kebaikan Papa yang mengizinkannya menikah di usia 20 tahun. Ia harus membuatkan Papa makan siang terenaknya yang jarang-jarang Yuri buat—lebih tepatnya ia tidak pernah memasak.

Astaga... Rasanya seperti mimpi. Ia sungguhan bisa menikah seperti yang beberapa teman-temannya lakukan?

"Kamu mau buat apa?" Mamanya yang datang entah dari mana berucap, duduk di kursi meja makan tak jauh darinya.

Yuri tersenyum. "Makan siang buat Papa. Pasti Papa seneng aku bawain makanan."

Alih-alih senang, Mamanya malah memberi ekspresi cringe. "Kalau diturutin maunya baru jadi anak baik, ya?"

Yuri nyengir. "Mama juga mau aku masakin? Bilang aja. Nanti aku buatin."

Mama menghela napas panjang, menggeleng. "Mama nggak mau dimasakin kamu. Mama cuma mau kamu pikir ulang rencanamu buat nikah. Yuri Sayang... Kamu masih 20 tahun, Nak. Masih terlalu muda buat mengikat hubungan sama seseroang. Apalagi itu orang yang baru dikenal."

Yuri untuk kesekian kalinya menggeleng. "Ini udah rencanaku sejak umur 19, Ma. Aku emang pengen nikah muda sejak lulus SMA," jelasnya. Mama seharusnya tahu Yuri tidak akan pernah berubah pikiran tentang keputusannya.

"Mama tahu Papa bakal cari yang terbaik buat calon suamimu. Tapi kita nggak tahu sifat asli calon suami pilihan Papa nanti. Gimana kalau ternyata kasar? Gimana kalau ternyata dia nggak bener? Siapa yang tahu itu, Yuri?"

Yuri menghela napas, mendekat ke Mamanya. "Mama seharusnya lebih paham karena Mama udah nikah. Semua orang yang menikah itu sebenarnya ambil resiko. S E M U A N Y A. Mereka juga nggak tahu sifat calon mereka nanti. Mereka emang kenal, tetapi mereka juga nggak tahu sifat aslinya kan? Begitu juga dengan aku sekarang. Bedanya aku belum kenal sama calonku."

"Justru itu. Setidaknya mereka udah kenal, Yuri. Jadi kalau ada karakter yang kurang bener dari pasangan mereka, mereka bisa saling melengkapi karena cinta." Mamanya menjelaskan.

Yuri tidak mau kalah. "Aku juga bisa melengkapi karakter pasanganku nanti."

"Tapi kamu nggak cinta dia," ucap Mama.

"Aku bakal cinta dia setelah nikah."

"Tapi dia nggak cinta kamu."

"Aku bisa bikin dia cinta aku."

Mama menghembuskan napas panjang, seolah merasa sia-sia memberi nasihat pada Yuri putri semata wayangnya yang keras kepala. Mungkin Mamanya sedang berpikir mengapa anaknya bisa mengambil keputusan senekat ini.

Bagi Yuri sih antara benar dan tidak. Tapi kan ia sudah berpikir rencana ini sejak umur 19. Jadi katakan saja ia sudah berpikir matang—meskipun sebenarnya belum. Entahlah. Yuri mendadak terobsesi dengan menikah muda. Ia sungguhan ingin punya suami sekarang.

"Kamu kenalan aja sama calon Papa selama setahun. Setelah itu boleh lanjut nikah atau nggak."

Yuri kembali menggeleng tegas. "Nggak, Ma. Aku mau nikah di umur 20 tahun. Titik nggak pakai koma."

Mama berkata lagi, "Menikah itu nggak semudah yang kamu bayangkan, Yuri... Kamu tahu Mama nggak mau kamu main-main buat hal kayak gini. Kamu masih terlalu labil. Mama nggak mau pernikahan yang akhirnya berujung cerai. Mama beneran nggak mau," tegas wanita paruh baya itu.

"Aku nggak bakal cerai sama siapa pun."

"Gimana kamu bisa yakin nggak bakal cerai?"

Yuri terdiam, mengedikkan bahu. "Tapi aku janji sama Mama. Selabil-labilnya aku, aku paham banget apa itu kata cerai. Sekali mengikat diri dengan pernikahan, aku tahu ikatan itu nggak boleh dilepasin dengan mudah."

"Ikatan terlalu kencang juga nggak baik. Kamu mau nyakitin diri sendiri?" ujar Mamanya.

Yuri menghela napas lelah. "Mau Mama apa sih? Katanya tadi nggak boleh cerai, sekarang aku bilang nggak bakal cerai juga salah. Lagian aku belum nikah, Ma. Mama kenapa mikirnya sesuatu yang negatif? Berharap banget aku nggak bahagia karena nikah muda."

Mama menggeleng. " Nggak gitu, Yuri. Mama sama sekali nggak berharap kayak gitu. Amit-amit anak Mama nggak bahagia sama pernikahannya. Tapi kalau bisa nggak usah dilakuin dulu, kenapa harus dilakuin?"

"Karena aku mau."

"Tapi, Yuri—"

"Mama aku mau masak. Nanti aku telat anter makan siang buat Papa. Kalau Mama masih terus paksa aku untuk pikir ulang buat nggak nikah, nanti aku ngambek lagi pokoknya."

Mamanya memandang sinis. "Sekarang kamu mau ancem Mama?"

"Nggak bermaksud tuh."

Mamanya kembali menghela napas. "Meskipun bermaksud pun Mama bisa apa? Mama harap kamu bahagia sama pilihanmu, Yuri. Mama cuma pengen yang terbaik buat kamu, liat kamu bahagia."

"Aku juga pengen Mama Papa bahagia. Nanti kan kalian free nggak usah ngurusin aku."

"Kamu pikir enak ditinggal nikah anak perempuan satu-satunya?!"

Seperti biasa, Yuri nyengir. Bilang saja enak. Kan Papa Mama jadi bisa berduaan.

"Oh ya." Wanita paruh baya di depan Yuri kembali berkata. "Mama harap kamu hidup di pernikahan yang kamu bayangin. Mama harap kamu bisa bertanggungjawab atas pilihanmu itu. Mama harap kamu nggak akan ngerengek lagi sama Mama Papa atas pilihanmu sendiri."

Yuri tersenyum, mengangguk mantap. "Yuri udah dewasa."

=•=

Sepanjang perjalanan menuju kantor, Yuri tersenyum pada karyawan-karyawan Papa tanpa henti. Membuat orang-orang menatap heran karena jarang-jarang Yuri sebahagia ini. Biasanya Yuri hanya pergi ke kantor Papanya jika ada masalah terjadi. Jadi ekspresinya selalu tidak menyenangkan ketika bertemu dengan karyawan perusahaan Papa selama ini. Kadang menekuk wajah sebal, kadang marah-marah, kadang menangis. Yuri jadi semakin sadar mengapa orang-orang di sekitarnya masih mengatainya kekanak-kanakkan di usia yang telah menginjak 20 tahun.

Sampai ruang kantor Papa, ia langsung membuka pintu tanpa salam.

"Papa!" serunya, tersenyum cerah.

Sadar ada karyawan Papa di hadapannya, Yuri langsung menuduk sopan. Ia terlampau senang hari ini sampai ingin bertindak sopan pada bawahan Papanya. Biasanya ia barbar sampai menjadi bahan ghibah karyawan perempuan Papa. Bilang saja iri!

Papa berdiri dari kursinya, berkata pada lelaki di hadapan Yuri, "Perkenalkan Jiro. Ini putri semata wayang saya, Yuri Agatha Williams."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status