Share

5. Masih ingat rumah

"Bu, Mas Irwan belum pulang?" sapaku ketika melihat ibu mertua yang baru saja keluar dari kamarnya.

"Kalau gak ada di rumah berarti ya, belum pulang," jawabnya enteng. "Lagian suami mana yang betah punya istri gak bisa ngurus diri. Sudah di kasih uang belanja rutin tapi gak bisa ngurus diri." Lagi kata-kata pahit dan pedas keluar dari mulut ibu mertuaku. Perempuan yang sudah aku anggap seperti ibu kandung sendiri tanpa aku bedakan. Bahkan jika dibandingkan dengan anak perempuannya, justru aku yang lebih perhatian untuk mengurangi dirinya. Sakit dan perih mendengar jawaban yang keluar dari mulutnya itu. Bukannya memberikan ketenangan pada hari menantu justru ia malah menaburkan garam pada luka yang jelas-jelas menganga ini.

Aku mendengus kesal mendengar jawaban dari perempuan paruh baya itu. Segera kutinggalkan saja dia. Aku berlalu tanpa dari hadapannya begitu saja. Percuma juga bersikap sopan dan juga santun pada manusia yang tidak punya hati dan perasaan. Yang ada hanya makan hati saja.

"Hey, Rum, kamu mau ke mana? Kamu sudah masak apa belum. Mbakmu pasti sudah nunggu juga buat sarapan!" teriaknya yang tak aku hiraukan. Dia pikir aku dinikahi putranya untuk dijadikan babu gratisan, apa? Anak perempuannya sudah berkeluarga juga kalau butuh makan biar bergerak sendiri tidak harus mengandalkan orang lain untuk mengisi lambungnya itu.

Jika dipikir-pikir ternyata selama ini aku sudah di butakan akan syarat seorang istri yang harus patuh pada suami tentunya jug pada keluarganya. Allah masih adik dan sayang kepadaku. Nyatanya aku diberi keberanian untuk melawan kelemahanku yang selaku diam atas tindakan dari keluarga suamiku sendiri. Aku seolah mendapatkan secercah bukti kecurangan yang sudah dilakukannya di belakangku.

Dari ucapan ibu mertua. Aku merasa semakin yakin jika putra satu-satunya itu telah melakukan suatu penghianat atas janji suci yang pernah ia ikrarkan kepadaku di depan penghulu dan juga para saksi.

Aku mengajak kedua buah hatiku untuk sejenak pergi keluar dari rumah ini dan mencari udara segar untuk sedikit menyejukkan hati yang sedang dilanda kemarau yang meninggalkan rasa panas yang tak tau kapan akan bertepi.

.

Menjelang waktu Zuhur kami baru pulang kembali ke rumah. Aku sengaja berlama-lama bermain di rumah tetanggaku itu. Selain karena mereka baik dan tahu bagaimana dengan perlakuan ibu mertuaku. Anak kedua Nia juga sepantaran dengan Alif yang mana keduanya sudah saling dekat seperti saudara sendiri.

Ibunya Nia adalah tetangga sedari kecil ibu mertua yang artinya keduanya sudah saling mengenal sedari dulu.

"Kamu yakin, Rum mau pulang sekarang? Cuaca di luar sangat panas sekali kasihan itu anak-anak kamu," ujar ibunya Nia berusaha menahan kepergian kami.

"Iya, Bu gak apa-apa. Terimakasih, dan maaf kalau Rumana sudah banyak merepotkan Ibu dan Nia."

"Kamu ini, Rum, kaya sama siapa saja. Pokoknya kalau ada apa-apa atau kamu lagi butuh bantuan kamu bisa bilang sama aku. Oh iya jangan lupa kamu pikirkan saranku tadi. Coba kamu cari tentang bagaimana cara menjadi penulis online. Soal tahu ide tulisan kamu banyak yamg minat sama ide tulisan kamu, kan lumayan bisa jadi pundi-pundi rupiah. Bisa kamu tabung tanpa sepengetahuan orang rumah termasuk juga suamimu itu. Pokoknya jangan sampai ada yang tahu kamu punya penghasilan sendiri. Kami sudah sangat hapal itu sama keluarga suamimu itu. Jangan sampai kamu cuma dimanfaatkan lagi sama mereka.

Benar pilihan kami untuk tidak lagi mengeluarkan uang pribadimu itu untuk mengenyangkan perut mereka. Itu sudah kewajiban suami kamu bukan kamu. Aku jug punya firasat yang gak baik tentang suamimu itu dari semua yang pernah kamu ceritakan sama aku. Kamu yang sabar saja dulu."

Hingga senja kembali akan kembali ke peraduannya baru lah deru mesin mobil yang aku yakin itu milik Mas Irwan terdengar di depan halaman rumah. Aku buru-buru mengeceknya dari balik korden jendela kamar kami ini. Dan benar saja, ayah dari kedua anakku ini baru saja turun dari mobilnya.

Ingin segera menanyakan maksudnya pergi tanpa ada kabar dan tidak pulang ke rumah. Rasakan harus aku tahan saja dulu semuanya. Biarkan saja dia merasa biasa saja tanpa ada masalah karena ulahnya itu. Dan sebisa mungkin aku juga akan bersikap seperti biasanya.

"Ayah ... ayah ..." Alif berlari kegirangan menyambut kedatangan dasu ayahnya itu. Aku sengaja membuka pintu kamar ini untuk memudahkan putraku itu bisa berjumpa dengan ayahnya karena sudah sedari kemarin dia menanyakan terus perihal ayahnya yang tidak kunjung pulang ke rumah.

"Aduh, Rum, tahu suami baru pulang kerja, mbok ya anakmu ini dipeganggin dulu jangan biarkan menganggu ayahnya. Kamu enak cuma diam saja di rumah. Anakku ini yang sudah kepayahan banting tulang buat ngasih makan kalian." Astaghfirullah, aku hanya mampu beristighfar dalam hati. Ada manusia yang kelakuannya seperti ini mertuaku ini. Namanya juga anak pasti akan merindukan ayahnya terlebih sudah dua hari tidak ditemuinya. Enek saja dia bilang aku cuma enak-enakan di rumah. Lihat saja aku akan mewujudkan ucapannya itu. Dasar orang tua tidak sadar sama umur.

"Sudah pulang, Mas?" Aku menyapanya seolah tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya dengan kami.

"Hmm!" Hanya itu balasan yang ia berikan tanpa sedikitpun ia menoleh ke arahku.

"Alif, ayah capek. Ayah mau mandi dulu."

Tanpa memedulikan perasaan putranya itu. Mas Irwan berlaku begitu saja dari hadapan kami yang sontak saja menumbuhkan kekecewaan pada putra kecil kami.

"Sayang, sini sama Bunda. Ayah capek, nanti saja ya mainnya," ujarku berusaha untuk menenangkan hati putra kecilku ini.

"Belum puas kamu seharian main sama ibu kamu. Makanya tahu diri sudah tahu ayahnya capek baru pulang maunya minta dimana-mana." Ada yang sakit di dalam sini mendengar ucapan dari ibu mertua. Tidak ambil pusing dengan mulut pedasnya itu yang selalu menyakitkan. Aku segera mengandeng tangan anakku dan pergi berlalu dari hadapan ibu mertua.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status