Share

4. Surat Wasiat

Falisha  membuka amplop itu dan langsung membacanya. Seketika wajahnya langsung berubah pucat saat itu juga.

“Ti—tidak mungkin? Apa kamu bercanda?” Falisha  berdiri dan ingin segera merobek kertas itu ,tapi Fattan langsung mengambil kertas itu dengan cepat.

“Itu adalah permintaan terakhir Farah, bukan aku yang meminta,” tegasnya lagi.

“Tapi kita sudah lama bercerai dan aku ...”

“Kenapa? Kamu keberatan dan itu tidak masalah karena dulu kita hanya menikah siri dan sekarang aku akan menikahi kamu secara resmi baik secara agama dan juga hukum, lagian kamu tidak ingin bertemu dengan anakmu? Sekarang kamu pilih saja mau menikah denganku atau anak itu yang harus menanggung akibatnya?”

“Apa maksudnya, Mas?” tanya Falisha  tidak mengerti.

“Seharusnya kamu tidak perlu melahirkan anak pembawa sial itu, ya dia bukan anak Farah sehingga perilakunya tidak seperti itu dan dia adalah anakmu yang nakal, susah untuk dikendalikan!” bentak Fattan  meluapkan emosinya.

Falisha semakin bingung dengan perkataan Fattan. Bahkan Mbok Ijah pun tidak menceritakan apa pun tentang kelakuan anaknya. Falisha menatap Mbok Ijah bingung. Terlihat wajah sendu wanita paru baya itu yang hanya terdiam pasrah jika Falisha akan memarahinya.

“Kamu tenang saja kita menikah hanya untuk formalitas, kehidupan kita masing-masing, kamu tidak perlu tahu apa yang aku lakukan begitu juga sebaliknya. Tugasmu hanyalah untuk mendidik anak nakal itu menjadi anak yang baik dan penurut. Dulu kakakmu yang bermasalah dengan keluargaku sekarang anakmu yang membuat kekacauan sehingga semua kesalahan dilimpahkan kepada Farah.  Kamu yang harus disalahkan Falisha, karena kamu Farah meninggal! Dia tertekan batin karena mendengar hinaan, caci maki dari keluargaku gara-gara anak itu!” hardiknya kesal.

“Di mana dia sekarang, Mas?” tanya Falisha  yang masih syok dengan kebenaran yang ada.

“Aku menitipkannya di rumah Papa, setelah kita menikah maka kamu yang bertanggung jawab!” bentaknya seketika dan pergi dari hadapan Falisha dengan wajah penuh amarah dan pergi meninggalkan  Falisha yang masih terkejut.

“Apa maksud semuanya ini Mbok?” tanya Falisha  masih bingung dengan semua yang terjadi.

“Maaf Neng, Mbok memang berbohong karena permintaan Neng Farah yang tidak mau kalau Neng sampai khawatir,” sahut Mbok Ijah merasa ikut bersalah menyembunyikan kebenarannya. Lalu dia menarik Farah sedikit menghadap ke tembok. Setelah itu Mbok Ijah mengeluarkan sebuah amplop lagi yang berukuran sama  dan langsung menyelipkan di tangan Falisha.

“Apa ini Mbok?” tanya Falisha bingung.

“Neng Farah memberikan amplop itu sebelum meninggal dan menyuruh Mbok untuk memberikannya sama Neng, tapi jangan sampai ketahuan Den Fathan atau siapa pun. Saya permisi dulu, Neng.”

Mbok Ijah segera pergi dari hadapannya. Falisha sangat penasaran, dia lalu pergi ke kamar dan mengunci pintu itu. Setelah itu dia membuka amplop berwarna putih itu sambil duduk di tepi ranjang.

Seketika bola mata Falisha hampir saja keluar dari tempatnya saat membaca isi dari kertas itu. Bahkan linangan air mata pun tak tertahankan saat curhatan hati sang kakak dituangkan dalam kertas itu.

“Maaf Mbak Farah, benar kata Mas Fattan  akulah penyebabnya, aku tidak tahu kalau masalah ini menjadi lebih besar. Aku tidak menyangka kalau suami yang selalu kamu cintai itu tega melakukan hal keji sama kamu, Mbak aku akan memperbaikinya meskipun kamu tidak berada bersama kami lagi tapi namamu akan  bersih dari hinaan mereka,” ucap Falisha dalam hati.

 

***

Setelah beberapa jam kemudian Falisha keluar dari kamar sembari mengangkat koper besar. Falisha pun berpamitan dari rumah itu kepada Mbok Ijah.

“Neng Falisha akan dimarahi kalau sampai keluar dari rumah ini, kenapa tidak tinggal di sini saja, Mbok sangat kesepian?” bujuk Mbok Ijah  memelas.

“Lisha nggak bisa Mbok, kami bukan sepasang suami istri lagi dan Lisha tak ingin tinggal atau menikah dengan Mas Fattan. Lisha perlu ketenangan dulu, ya Mbok?”

Falisha pun pergi dari rumah itu. Lalu dia pun mencari tempat kost yang terdekat dengan kantor barunya.

Sementara itu Mbok Ijah yang bingung akhirnya mengambil keputusan untuk menghubungi Fattan yang masih berada di kantor.

“Ada apa Mbok?”

“Maaf Den, Neng Lisha keluar dari rumah, saya sudah berusaha untuk mencegahnya tapi Neng Lisha  bersikukuh untuk keluar dari rumah.”

 “Baiklah Mbok, saya tahu apa yang harus saya lakukan.”

Fathan langsung memutuskan sambungan telepon itu. Dia lalu bergegas keluar ruangannya.

“Maaf, Bapak mau ke mana sebentar lagi ada meeting dengan Pak Muchlis di jam sepuluh pagi dan ini sudah jam setengah sepuluh pagi,” ucap Nola mengingatkan. Nola sedikit kesulitan mengimbangi langkah Fattan  yang lebar dan cepat.

“Kamu masih mau bekerja di sini kan?”

“I—iya Pak, tapi apa hubungannya Pak dengan pekerjaan saya?”

“Cari saja alasan yang tepat dan tidak membuat orang itu tidak marah dan masih mau bekerja sama dengan kita dan yang pasti dua hari ke depan kosongkan jadwal saya karena ada sesuatu yang harus saya lakukan, kamu mengerti?” tanya Fattan  dengan tatapan tajamnya

Nola mengangguk cepat. Fattan pun meninggalkan wanita muda itu dengan melongo. Fattan pun masuk ke lift.

 

“Untung saja ganteng tapi sayang juteknya minta ampun,” gerutunya kesal.

“Kenapa lagi?” tanya Mira melihat temannya itu mendadak lesu setelah kepergian pimpinannya itu.

“Biasa Bos killer kita!” celetuknya sambil berjalan kembali ke ruangannya.

“Semenjak Nenek lampir itu datang sepertinya Bos kita berubah ya, apa dulu dia bosan dengan istrinya yang lumpuh dan tergoda dengan nenek lampir itu?”

“Hus, dia punya nama kali.”

“Iya tapi lebih bagus namanya itu, lagian sikap Pak Fathan berubah yang dulu baik dan ramah berubah drastis menjadi dingin dan jutek, apalagi setelah kematian istrinya, coba Pak Fattan itu mau sama aku, tapi nggak deh anaknya lebih parah dari  Pak Fattan, pusing menjadi ibu tirinya,” jelas Mira merasa takut jika berurusan dengan anak Fattan.

“Iya kamu benar, kasihan banget Bu Farah, baru  umur enam tahun sudah nakalnya begitu bagaimana dengan nanti dewasa mungkin lebih parah lagi,” celetuk Nola.

“Coba ada yang bisa menaklukkan hati bos kita tapi yang jelas bukan wanita penggoda itu, nggak rela aku, bukannya bisa memperbaiki sikap anak itu malah nanti tambah menjadi-jadi,”ucapnya lagi.

“Sudahlah pusing juga aku, sekarang aku harus berpikir keras alasan apa yang tepat untuk menunda rapat mereka?”

“Oke aku bantu pikir deh.”

Saat mereka bingung untuk mencari alasan yang tepat untuk memberitahukan kepada Pak Muchlis, Falisha  rupanya  datang ke kantor Fattan.

Falisha pun melihat dua wanita muda sedang terlihat bingung sehingga tak melihat kedatangan Falisha yang sudah berada di posisi depan mereka.

“Selamat pagi, bisa bertemu dengan Pak Fattan?” tanya Falisha sopan.

Ucapan Falisha tak digubris oleh mereka, karena masih bingung dan panik melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh kurang sepuluh menit lagi.

“Aduh bagaimana ini aku harus kasih alasan apa untuk Pak Muchlis, yang satu orangnya pemarah dan yang satu dingin,  jutek, keras kepala. Salah ucap Pak Fathan bisa menggantungku hidup-hidup,” cercanya panik.

“Memangnya kenapa, Mbak?” tanya Falisha ikutan bingung melihat tingkah mereka.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status