Beberapa kali Haikal menelpon tapi Mutia tak kunjung menjawabnya, membuat hati menjadi resah dan gundah, ditambah omongan Neneng yang menambah panas suasana."Teh Mutia mah enak belanja di mall, makan di restoran, nginep di hotel bagus, Eneng kapan di bawa ke situ? Aa harus adil atuh?" rujuk Neneng sambil menyentuh tubuh Haikal..Akan tetapi, lelaki itu malah sibuk dengan gawainya, memastikan jika Mutia tak bersama lelaki lain, ia sungguh cemas takut kehilangan istri tercintanya."Aa!"Neneng merajuk lagi, sungguh wanita itu tengah dilanda kehausan kasih sayang, bak Padang pasir yang gersang."Diam, Neneng!" tegas Haikal merasa jengah.Setelah selesai menelpon Areta baru Haikal merasa lega, rasa gundah dan resah itu sirna karena ternyata Mutia menginap seorang diri mengusir rasa sepi dan dinginnya malam panjang."Aa, kapan atuh kita mamy moon? kalau ga ke Bali ya minimal ke hotel kek kaya Teh Mutia." Neneng merengut, benci merasa dikalahkan oleh kakak madunya yang rese."Maksud kamu H
Mereka bertiga duduk di meja bundar mengelilingi makanan yang telah dipesan, Mutia sengaja memesan makanan paling enak dan mahal yang tersaji di restoran ini."Ayo di makan steak-nya, Neng," tawar Mutia dengan elegan."Kamu juga makan dong, Mas, kok cuma di liatin aja."Haikal terpaku menatap makanan begitu banyak dari mulai menu pembuka, menu utama juga menu penutup yang tak kalah menggugah selera, ditambah minuman spesial sebagai pelepas dahaga.Tentu semua ini akan memakan banyak biaya, bisa tekor! Batin Haikal nelangsa, ia mencoba mengukir senyum semanis mungkin agar istri pertamanya itu tak curiga."Mau aku suapin, Mas?" tawar Mutia so romantis.Seketika Neneng membulatkan mata, perutnya mendadak mual melihat tingkah kakak madunya yang menyebalkan."Emmm, boleh-boleh," jawab Haikal sambil mengangguk.Tentu saja Neneng tak terima, dengan sekuat tenaga ia memotong steak menggunakan tangan kanannya, dengan usaha extra akhirnya daging panggang itu terbelah juga."Nih, A, makan!" Dil
"Malam ini giliran aku nginap di rumah Mutia, ayo turun aku mau cepat istirahat di rumahnya," titah Haikal teramat menyayat hati Neneng.Perempuan itu turun dari mobil dan melangkah dengan lunglai, ia hanya menatap mobil suaminya yang menjauh, meninggalkan sekeping kenangan yang teramat menyakitkan.Hari ini waktu terasa begitu cepat berputar, tak ada kebersamaan yang mengesankan seperti yang ia impikan, tanpa sadar bulir bening itu rembes membasahi pipinya."Kamu nangis, Neng?" tanya ibu sambil menelisik wajah Neneng yang berantakan."Engga, lagi ketawa," jawab Neneng culas.Sudah tahu lagi nangis malah nanya! Kini, giliran Neneng yang tidur seorang diri, berselimutkan rasa sepi, semalaman matanya tak bisa terlelap, bayangan Haikal dan Mutia yang sedang memadu cinta benar-benar menghantuinya, menghasilkan rasa resah tak berkesudahan.Tuhan, sesakit inikah berbagi suami? sepedih inikah menjadi yang kedua? di luar sana istri kedua banyak yang diutamakan. Namun, apa yang terjadi pada t
Tak terasa waktu cepat berlalu, kini pernikahan Neneng menginjak bulan kedua. Namun, belum ada tanda-tanda jika dirinya sedang berbadan dua.Kehidupan Haikal pun sudah sedikit mengalami kemajuan, ia bekerja di sebuah perusahaan asing menduduki jabatan yang cukup tinggi dan bergengsi, membuat dirinya begitu dipuja dan dipuji oleh para bidadari.Neneng semakin bangga bersuamikan dia yang berpenghasilan besar, yang setiap hari mengenakkan mobil bagus dan pakaian berdasi, perempuan itu menjadi kalap dan tinggi hati.Apapun yang ia mau pasti dibeli, uang nafkah dari Haikal cukup untuk menyenangkan dirinya sendiri.Akan tetapi, tak ada yang berubah dari Haikal dan Mutia, keduanya masih sama saling cinta dan membagi duka, tak ada yang ingin berpisah diantara mereka, walau begitu banyak badai yang menerpa."Sayang, kita jadi 'kan?" tanya Haikal pada istri pertamanya.Dalam suka maupun duka, cinta pria itu tak pernah sirna walau sang bunga tak jua memberikan hadiah terindahnya yaitu seorang pe
"Astaghfirullah ... Astaghfirullah."Semua yang duduk dalam mobil itu menyebut kalimat istighfar, dengan napas yang tersengal Haikal memandang tajam kedua istrinya satu persatu."Kalian mau kita mati konyol sama-sama?!" teriak Haikal bertanya.Mutia ataupun Neneng tak ada yang bersuara, keduanya sibuk mendamaikan perasaan yang semula terguncang hebat."Kalau kalian masih tetap ribut, lebih baik kita pulang masing-masing!" tegasnya lagi sambil memandang keduanya dengan tajam."A-aku minta maaf, Mas, semua ini gara-gara Neneng," ujar Mutia lemas tak bertenaga."Jika saja barusan aku ga menghindar mungkin kita sudah mati dihantam truk tadi, jadi aku mohon selama perjalanan jangan ada yang bersuara!" tegas Haikal yang dibalas anggukan oleh kedua istrinya yang masih gemetaran.*Tiga jam perjalanan dilalui dengan kebisuan, mereka melalui jalanan yang menanjak dan menurun yang cukup terjal dengan keheningan.Memasuki kawasan perbatasan desa, Neneng mulai merapikan rambutnya yang sedikit ber
Pov MutiaSaat Neneng keluar dari kamar mandi jantung ini berpacu hebat, aku takut wanita itu yang akan mengabulkan impian Mas Haikal.Tidak! Rasanya hatiku belum siap menerima."Gimana hasilnya, Neng?" tanya ibu antusias, ia memang yang paling semangat menunggu hasilnya.Neneng memperlihatkan benda berukuran mungil itu dengan ragu, hati ini berdegup kencang menantinya."Gimana hasilnya?" tanya Uwa mewakili rasa penasaranku."Garis satu, Teh," jawab ibu membuatku bisa bernapas lega.Aku membawa diri ini ke teras depan untuk menikmati segarnya udara di depan, dari kejauhan kulihat Mas Haikal tercenung seorang diri menatap cakrawala luas di depannya.Perlahan langkah kaki ini mendekatinya tanpa suara, sengaja aku mengendap-endapl agar tak menimbulkan suara, terlihat pandangannya beralih pada benda pipih di tangannya.Apakah yang ia lihat? Ya Tuhan, hampir berderai air mata ini, ia memandang poto bayi yang begitu lucu dan menggemaskan, tak sampai di situ ia juga memutar kelucuan Vidio b
"Perjanjian apa hah?!" tanyaku sedikit membentak.Neneng menciut dan mundur beberapa langkah ke belakang, sorot matanya lurus menatapku penuh ketakutan.Hemm, belum tahu dia bagaimana buasnya seorang Mutia."E-engga ada kok, Sayang, dia ini asal bicara, ga usah di dengerin ya," ujar Mas Haikal memegang bahuku dengan mesra.Sontak saja perempuan bersuara cempreng itu terbelalak menatap kemesraan kami."Lepas! Aku tanya sama kamu Neneng! Perjanjian apa yang kalian maksud?!" tanyaku sambil berteriak.Tak peduli berapa pasang mata yang serius memandang kami bertiga, tubuh Neneng kulihat bergetar, mulutnya mengatup dan terbuka seolah ragu untuk bersuara."Jawab Neneng!" tegasku sekali lagi, membuat ibu-ibu berbisik-bisik."Pe-perjanjian itu ... emmm ....""Apa katakan!" tegasku lagi sambil maju dua langkah.Byuuaarr! Tanpa sadar ia terus mundur ke belakang lalu tubuh mungil itu tercebur ke dalam Empang milik Uwa, padahal Empang itu ditanami beratus-ratus ikan lele."Aaa! Tolong!" Neneng b
Bahagia dan segala rasa bercampur menghiasi hati ini, sungguh mukjizat Allah itu nyata, saat dokter berkata tidak maka, tak ada yang mustahil baginya.Dialah yang maha kuasa dan berkehendak, jangankan meniupkan ruh pada rahim yang dicap mandul, meniupkan ruh ke dalam rahim wanita suci tanpa suami saja ia bisa.Lihatlah Maryam binti Imran ibundanya Nabi Isa a'laihi salam, ia bisa mengandung walau tubuhnya tak pernah tersentuh oleh lelaki manapun.Air mata ini meleleh laksana lilin yang terbakar api, tak kuasa diriku menahan rasa suka cita yang membuat hati teramat berbunga.Beribu-ribu pujian padanya yang Maha Agung dan ucapan rasa syukur kulangitkan, sebagai bentuk terima kasih padanya yang telah memberikan keajaiban, yang tak mungkin diwujudkan oleh mahluknya."Mas, kita harus bersedekah lebih banyak lagi," ucapku sambil meregangkan pelukannya, terlihat Bidan Risa sedang menyeka air mata, mungkin ia terenyuh terbawa suasana.Bidan Risa tahu segala bentuk perjuanganku, tak jarang aku