Share

Part 5 Karena Alifa Istriku

Entah pukul berapa keduanya memejamkan mata. Setelah peristiwa ciuman kedua mereka tadi malam, Farrel tidak melepaskan Alifa dari pelukannya. Jadi, mereka semalam tidur dalam keadaan saling berpelukan.

Sama halnya dengan Alifa, Farrel memang belum bisa menerima sepenuhnya akan perjodohan ini. Akan tetapi, berkali-kali Farrel menegaskan dalam hati. Dia tidak akan menikah untuk kedua kali.

Cinta itu memang belum ada di antara mereka. Farrel ingin mencoba menjalaninya dengan ikhlas. Karena itu adalah bukti baktinya pada kedua orang tuanya. Bukankah pernikahan karena perjodohan di zaman orang tuanya dulu adalah hal yang lazim? Dan mereka bisa mempertahankan pernikahan itu sampai tua. Farrel juga ingin seperti mereka. Saat ini memang perasaannya pada Alifa masih sebatas seorang teman. Atau adik? Entahlah.

Farrel tak ingin memikirkan hal itu. Tidak ada salahnya belajar mencintai Alifa karena memang gadis itulah istrinya. Jodoh pilihan orang tuanya. Bahkan mungkin memang jodoh pilihan Tuhan untuknya. Apalagi, tadi malam Alifa meminta Farrel membuatnya jatuh cinta.

Pak Haji Imran dan Bu Halimah memang menyukai Alifa sejak pertama kali diperkenalkan oleh Alisha beberapa waktu yang lalu. Walaupun Alifa berbeda dengan gadis-gadis umumnya yang berpenampilan feminim, tetapi latar belakang keluarga gadis itu menjadi salah satu alasan Pak Haji Imran dan Bu Halimah. Mereka tidak ingin, Farrel sebagai anak satu-satunya mendapatkan perempuan yang asal-asalan. Mengingat pergaulan Farrel yang tidak bagus di luaran sana. Farrel membutuhkan sosok istri yang berani dan memiliki karakter kuat seperti Alifa.

"Eeelaah, dibantuin malah melamun nih pengantin baru! Kopi Ndul, woi kopimu dingin!" teriak Dino sambil menepuk kuat bahu sahabatnya.

Farrel yang kaget mengumpat lirih. "Shit, untung jantungku kuat, Nyet!"

Dino terbahak-bahak kemudian meneliti penampilan sahabatnya itu. Farrel sesekali tersenyum mendengar gurauan Vio dan Danang yang tengah membantu membersihkan sisa-sisa bunga hiasan di teras rumah Pak Haji Imran.

"Hm, sepertinya ada yang lepas segel nih semalam, pantesan nglamun terus!" sindir Vio sembari duduk di samping Farrel.

Farrel melirik sekilas pada sahabatnya yang tiba-tiba menjadi tukang gosip.

"Beneran Ndul, sudah lepas segel si Alifa?" tanya Dino ingin tahu.

Farrel menjawab dengan malas, "Kepo!"

"Yaaah, tertutup sudah, padahal yang naksir Alifa tuh aku. Eh, malah kamu Ndul, yang ngucapin ijab qobul!" celetuk Vio yang langsung dihadiahi tatapan maut dari Farrel.

"The power of jodoh, Nyet!" sahut Danang menengahi.

"Kalau kamu suka sama Alifa kenapa dulu diam-diam saja, Nyet?" tanya Farrel ingin tahu. Entah mengapa ada rasa tak nyaman mendengar pengakuan sahabatnya yang menyukai Alifa.

Vio menggaruk pelipisnya sembari berpikir. "Karena dia judes. Aku pikir aku nggak cocok sama cewek judes. Santai men, aku hanya sebatas menyukai saja. Itu dulu, sekarang nggak boleh ada yang menyukainya selain kamu, Ndul!" Vio berkata tegas ketika melihat tatapan tak suka dari Farrel.

Farrel mengangguk samar. "Iya, nggak akan aku biarkan orang lain merebutnya dariku. Karena Alifa istriku!" tegasnya.

Vio mengangguk dan menepuk pelan bahu Farrel. Kedua orang itu mengikuti arah pandangan Danang, yang hanya nyengir sambil menatap ke arah belakang Farrel dan Vio.

Tepat di belakang mereka, Alifa berdiri kaku sambil membawa nampan berisi piring-piring yang akan digunakan untuk sarapan mereka. Pandangan mata gadis berjilbab itu tertuju pada Farrel dengan tatapan penuh arti.

Segera, Farrel bangkit dan mendekati istrinya. Laki-laki itu mengambil alih nampan dari tangan Alifa. "Terima kasih, Fa. Kamu sudah sarapan?" tanyanya sambil memindai wajah cantik istrinya.

Alifa menggeleng pelan. "Belum, nanti saja," jawabnya lirih.

Farrel segera meletakkan nampan di depan teman-temannya. "Nyet, kalian makan dulu." Danang dan Vio segera bangkit ketika dari arah dapur terdengar panggilan dari seorang ibu yang memintanya mengambil nasi dan lauk.

"Rel, kamu ajak Alifa makan, sana!" perintah Dino yang diangguki oleh Farrel.

Tadinya Farrel ingin makan bersama teman-temannya. Akan tetapi, Dino tidak ingin Farrel mengabaikan keberadaan istrinya.

"Ya, sudah, kalian sarapan dulu." Farrel berkata pada ketiga sahabatnya, lalu beralih menatap Alifa. "Ayo makan." Alifa mengangguk dan tersenyum canggung pada teman-teman Farrel.

"Rel," Alifa memangil dengan sangat lirih sebelum mulai menyuap. Farrel langsung menatapnya, menunggu apa yang akan dikatakan gadis itu padanya. "Rel ... boleh kita nginep di sini satu malam lagi?" tanyanya ragu-ragu.

Farrel terdiam sejenak sebelum memutuskan mengangguk. "Tentu saja. Kenapa nggak? Kamu betah ya, di sini?" tanyanya jahil.

Alifa mengangguk pelan. "Iya. Karena nanti sore aku mau belajar bikin gulai ayam kesukaan kamu, sama Ibuk."

Uhuk! Uhuk!

Farrel tersedak mendengar jawaban istrinya itu. Alifa segera bangkit dan menepuk-nepuk pelan bahu suaminya.

"Minum dulu!"

Farrel meraih gelas dari tangan Alifa. "Terima kasih. Dari mana kamu tahu aku suka makanan itu?" tanyanya setelah selesai minum.

"Tadi mamanya Sofi cerita begitu, katanya kamu suka sekali gulai ayam buatan Ibuk."

Farrel mengangguk-angguk kemudian tersenyum jahil. "Jadi, kamu sudah berniat berbakti pada suami? Sambil belajar mencintai suami juga?" tanyanya menggoda.

Alifa memberengut. Ingin rasanya mencubiti suaminya yang jahil itu. Eh! Alifa mentertawakan dirinya sendiri.

"Jawab dong, jangan kayak kucing malu-malu."

"Berarti suamiku juga kucing dong?" Alifa menyahut sambil mencibir. "Cepat sarapan, nanti antarin aku beli sesuatu!"

"Jawab dulu dong, Fa. Tinggal jawab saja susah amat."

"Iya, Rel. Aku harus belajar jadi istri yang baik lah. Walaupun kamu belum tentu jadi suami yang baik," ejeknya tanpa perasaan.

Farrel hanya mengangkat sebelah alisnya dan tersenyum sekilas. Dia tak peduli dengan ejekan dari mulut judes istrinya itu.

"Belajarnya mulai sekarang. Panggilan kamu ke aku harus dirubah, Fa. Aku suami kamu, lebih tua dari kamu." Farrel berucap pelan namun tegas.

"Harus dirubah bagaimana? Sudah biasa begini."

"Nggak sopan, Fa. Kita orang Jawa, manggil suami nggak boleh Ral, Rel."

"Terus maunya dipanggil apa?" tanya Alifa masih bingung.

Bisa saja dia memanggil Farrel dengan sebutan Om atau Pak Tua karena jarak usia mereka empat tahun. Tetapi, sudah bisa dipastikan Farrel akan menendangnya. Niat menggoda Farrel kembali muncul di benak Alifa.

"Aku panggil Kang saja, ya? Kang Farrel gitu?" tanyanya sambil nyengir, sedangkan Farrel mendelik tidak suka.

* * *

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status