"Mau saya pesankan sesuatu, bu?"Lagi dan lagi hanya gelengan yang ia dapat sebagai jawaban. Rosaline untuk kesekian kalinya masuk dengan raut cemas kedalam ruangan bos utamanya. Ini pukul 2 siang dan bosnya itu tidak berpindah posisi sama sekali sejak pagi tadi. Beginilah Alana kalau sudah terlalu fokus pada pekerjaannya, makan dan istirahat sama sekali tak ia indahkan. Memang Alana bukan tipikal yang sering sakit dan bahkan dianggap punya daya tahan tubuh yang cukup bagus. Namun tetap saja, riwayat penyakit lambungnya dan terlebih dulu ia pernah kumat saat di kantor cukup membuat Rosaline was-was. Ia tentu tak mau bos kesayangannya itu jatuh sakit lagi."Tapi sebentar lagi akan ada meeting di ruangan utama. Bu Alana belum makan siang sedikitpun, kan?" Rosaline berusaha mengingatkan lagi.Kali ini Alana menatapnya, "ah iya, client itu sudah datang belum?" tanya Alana.Rosaline yang tadinya hampir tersenyum kini kembali melunturkan senyuman di bibirnya. D
Manhattan rasanya jauh sekali. Oh bukan rasanya, tapi memang benar- benar jauh. Hampir dua puluh empat jam berada di dalam pesawat termasuk transit dan segala macamnya membuat tubuh Alana rasanya hampir remuk. Sudah lama sekali ia tak mengikuti lokakarya dan semacamnya hingga sejauh ini, ke benua Amerika pula. Siapa sih yang memilih perhelatan tahunan ini dilaksanakan disini?Dengan sisa kekuatannya, Alana menarik koper milik suaminya itu. Dia telah disapa ramah oleh beberapa utusan yang bertugas menjemput para peserta lokakarya. Ada beberapa juga kenalannya yang pernah ia temui di beberapa kesempatan sebelumnya sehingga Alana tak merasa terlalu kesepian. Alana melirik Rosaline yang nampak jauh tertinggal dibelakangnya, gadis itu nampak sibuk dengan ponselnya sejak tadi. Mungkin sedang mengabari kekasihnya.Mereka masuk kedalam mobil yang disediakan panitia untuk diantar ke hotel tempat diadakannya acara yang akan digelar tiga hari kedepan. Yap, acara seriusnya hanya t
Alana menggenggam erat seminar kit dan tas bawaannya. Langkahnya masih terasa berat, apalagi ketika harus kembali masuk kedalam ruangan sesak yang telah menguras otaknya dua hari kemarin. Dia menghela nafas kasar dan menatap sekeliling, berusaha mengumpulkan kembali energi dan semangatnya setelah melewati aneka sesi focus group discussion dan serentetan acara lainnya. Perlahan senyuman cantiknya terpancar, ini adalah hari yang paling dia tunggu-tunggu.Tak seperti dua hari sebelumnya yang menghabiskan masing- masing sepuluh jam full di dalam ruangan untuk terus berpikir kritis, rundown hari ini jelas berbeda. Setelah memastikan kembali rundown yang dibagikan, Alana bisa bernafas sedikit lega. Hanya tersisa seminar motivasi dan upacara penutupan yang totalnya kurang lebih hanya dihelat selama lima jam. Ia mengembangkan senyumannya makin lebar, setelah ini dia bisa berlibur.Mempertahankan senyumnya kala menyapa beberapa panitia dan peserta lokakarya yang sudah
Satu tangan Arkasa menarik pinggang Alana untuk merapatkan tubuh keduanya, sementara tangan sebelahnya meraih gelas kaca ditangan wanita itu dan meletakkannya kembali di nakas. Setelah itu, tangannya kembali membuai pipi halus Alana tanpa melepaskan tautan mata keduanya sejak tadi."M-mas?" Terbata namun tak juga bisa melepaskan diri. Tangannya mengatung di udara sementara mata cantiknya mengelana seakan memindai ruangan—kemana saja asalkan menghindari tatapan panas milik Arkasa."Tiga hari tanpa kontak, kamu gak kangen saya?" Bertanya lagi seolah tak puas akan respon Alana sebelumnya yang justru mengalihkan percakapan. Perlahan tapi pasti, Arkasa mulai menunjukkan sosok dominannya yang tak mau diabaikan ataupun dibantah.Tapi satu yang membuat wanita pemilik hazel gelap itu heran, sejak kapan Arkasa jadi begini,sih?Alana berusaha bersikap sebiasa mungkin, seolah tak terpengaruh akan tindakan Arkasa. Meskipun sebena
"Mau kemana?"Wangi segar yang menyeruak mampu mengusik lelapnya Alana yang akhirnya berusaha membuka matanya. Gadis itu menggeliat dan mengusap wajahnya pelan, pandangannya perlahan makin jelas dan langsung terarah pada laki-laki yang tengah menyemprotkan parfum mahalnya di pergelangan tangan. Lelaki itu mengenakan pakaian casual, rambutnya pun masih setengah basah. Wajahnya nampak segar karena sepertinya sudah lebih dulu menyapa air dingin."Nanti malam kita akan menghadiri undangan pesta pembukaan perusahaan baru milik rekan bisnis ayah. Beliau yang mengutus kita untuk hadir kesana," Arkasa kini menyibak rambut basahnya kebelakang. Netra elang itu pada akhirnya berlabuh pada Alana yang masih menggulung dirinya dalam selimut persis kepompong. Jelas gadis itu masih setengah sadar, wajahnya nampak clueless dan hanya berdehem pelan sebagai sebuah tanggapan. Arkasa menahan senyum, Alana mode pagi seperti ini tentu nampak men
Satu-satunya poin menyebalkan yang Alana sesali adalah tidak mempertimbangkan kembali pasal kaitan dressnya yang ternyata sulit digapai. Wajah cantiknya yang telah dipoles glam makeup merengut kesal. Harusnya dia sudah siap sejak beberapa waktu lalu, namun ternyata waktunya harus tersita karena sulit baginya untuk mengaitkannya sendiri.Malas mendebat dan tak mau ambil pusing. Ternyata Adara dan mertuanya telah merekomendasikannya sebuah dress yang mereka anggap cocok. Adara jelas tahu seperti apa selera Alana tentang pakaian dan dress yang dipilihnya memang sangat masuk kualifikasi. Terlihat cantik dan elegan dengan warna hitam yang tak terlalu ramai. Benar-benar sesuai selera Alana. Saat fitting tadi dia dibantu oleh staf butik, bodohnya ia justru menganggapnya enteng. Sekarang ini lengan Alana hampir kram rasanya karena beberapa menit mencoba dan hampir salah urat. Ketukan pintu kamar mandi mulai terdengar, jelas A
"Alana?" Rasanya bak bumi berhenti berputar pada porosnya. Seakan semuanya senyap dan waktu ikut membeku. Hanya ada dirinya dan senyuman setan yang terarah jelas kepadanya. Detak jantungnya serasa makin cepat, ia mengeratkan pegangannya pada tas tangan yang masih berada dalam genggaman. Alana mundur dua langkah ketika laki-laki dengan rambut sedikit panjang berjalan menghampirinya. "Lama tak bertemu, sayang?" Panggilan sialan yang dia dengar lagi setelah lewat hampir lima tahun tak bersua dengan sosok dihadapannya. "Tak kusangka kita bertemu disini. Takdir memang luar biasa," lelaki dengan setelan gelap itu nampak menarik senyum culas miliknya makin lebar. Basa-basi memuakkan yang sebenarnya sama sekali tak ingin Alana tanggapi. Namun mendengar kata takdir dibelakang kalimat si lelaki membuat Alana jadi gemas. Menguasai kembali dirinya, memberi tenaga untuk bersidekap dan melampirkan resting bitch face andalannya. "Sejak kapan i
"Si bodoh sialan itu?" Menjauhkan ponselnya dari telinga kala suara melengking Adara memekik rungunya. Alana mengusap pelan telinganya sebelum kembali menempelkan ponsel disana. "Aku tahu kamu kesal, tapi tolong jangan rusak pendengaranku dengan teriakanmu itu," sarkas Alana. Gadis itu berdiri di tepian balkon kamar hotel sembari menikmati suasana malam Kota Manhattan yang cukup ramai. Terdengar dengusan kasar diseberang telepon, "serius deh, Al! Dari sekian banyak tempat, kenapa kalian harus bertemu lagi di Manhattan, sih? Laki- laki gila itu membuntutimu atau apa?" Alana bersikap seolah cuek saja, dia memperhatikan kuku- kuku di jemarinya sembari memeriksa apakah ada cat yang terkelupas atau masih baik seluruhnya. "Sepertinya dia bersama sugar mommy-nya itu. Kamu tidak lupa kan kalau Saddam menikahi wanita kaya berusia 40 tahunan yang merupakan pebisnis besar?" ujar Alana. Memang benar Saddam menikahi seorang wanita kaya raya yang berusia lumayan jauh