“Bu Anggi, mari mau minum apa?” Bi Lala tak menjawab pertanyaan Anggita, tetapi dia gegas mengalihkan pembicaraan. Dia pun mengisyaratkan Nuria untuk gegas ke dapur, tak berlama-lama di sana. “Ahm gak usah Bi Lala, saya hanya mau mengambil barang Celia yang tertinggal. Kebetulan tadi sekalian lewat! Lagian, saya bawa minum sendiri, kok!” Anggita menjawab pertanyaan Bi Lala seraya menunjukkan kaleng softdrink yang sudah terbuka di tangannya, tetapi fokusnya pada punggung Nuria yang menjauh dan menghilang di balik pintu yang menghubungkan ke dapur.“Bi Lala … apa dia sepolos penampilannya?” Anggita masih tertarik membahas Nuria. Bi Lala memaksakan diri tersenyum dan mengangguk.“Seperti yang Bu Anggi lihat, Nyonya Nur masih sangat belia.”“Apakah bukan serigala berbulu domba, Bi? Yang pura-pura polos, tetapi sebetulnya mengincar kekayaan harta benda milik kakak saya?” Anggita berbicara pada Bi Lala, tetapi semua itu seperti dia lontarkan pada dirinya sendiri. “Bibi gak tahu, Bu! Nam
Hari ketiga yang ditunggu Bi Lela pun tiba. Sejak pagi dia melihat ke arah jalanan, berharap Nuria mengirimkan seorang utusan untuk mengiriminya uang. Namun hingga sore menjelang, tak ada kabar sedikit pun dari keponakannya itu. Tak ada sepeser pun uang yang Nuria kirimkan. “Mama, gimana sudah dapat uangnya, Ma?” Nirina yang sudah cantik dengan balutan kebaya dan riasan wajah yang paripurna menatap ibunya. Sore itu keluarga Rudi akan datang untuk meminangnya, meresmikan hubungan mereka berdua. “Kamu itu tahunya cuma uang sih, Rin! Si Nur gak ngasih, jangan tanya Mama melulu! Lagian coba kamu suruh di Rudi itu nanggung semua biaya, sih? Yang mau nikah ‘kan kalian, kenapa Mama yang harus repot gini!” Bi Lela menoleh pada Nirina. Lama-kelamaan, kesal juga rasanya. Yang membuat dia kesal karena keinginan Nirina untuk membuat pesta lebih mewah dari pada pesta pernikahan Nuria dan Juragan Arga. “Kok gitu sih, Ma? Mama kan orang tua aku. Kok ada orang tua yang pikirannya sempit kayak Mam
“Iya, Mama setuju, Yah! Semoga saja setelah disakiti keluarga si Rudi, Rina mau ya sama Juragan Arga. Tapi emangnya Juragan lagi mau cari istri baru lagi, Yah?”Bi Lela menoleh pada Paman Nursam yang tengah memijit pelipisnya. “Gampang itu, sih, Ma. Nanti biar Ayah tanyakan sama Pak Suryadi. Lagian si Rina juga gak kalah cantik sama si Nur. Bisa-bisa malah jadi istri kesayangan Juragan nantinya. Biar keponakan kurang ajar itu tahu diri. Mama pastikan saja bujuk Rina biar mau sama Juragan Arga, ya!” Paman Nursam bicara dengan berapi-api. “Iya, bener, Yah! Mama juga kesel sama si Nur. Mentang-mentang sudah jadi istri orang kaya, sudah seperti kacang lupa kulitnya. Biar Mama nanti bujuk Nirina, masa iya dia gak terpikat melihat ketampanan Juragan Arga. Mama saja kalau tahu keren sama ganteng kayak gitu mah, dari kemarin gak akan setujuin Si Rina sama Rudi, huh. Ayah juga gak bilang kalau Juragan masih ganteng.” “Ya mana ayah tahu lah, Ma. Lagian memang ayah juga gak pernah langsung ko
“B--bukan itu, Juragan. Saat ini, Nirina sudah dewasa … dia sudah siap untuk menikah! Apakah Juragan ada minat untuk tambah istri baru misalnya. Saya jamin, Nirina gak kalah cantik dari pada Nuria, Juragan!” Paman Nursam akhirnya bisa menyampaikan kalimatnya dengan lancar. Juragan Arga tertegun, ditatapnya lekat wajah lelaki paruh baya yang ada di depannya itu.“Pak Nursam bercanda?”“Tidak, Juragan. Saya serius. Waktu kemarin itu Nirina memang belum siap nikah. Sekarang dia sudah siap, Juragan.” Juragan Arga bergeming. Dia menautkan alis dengan tatapan yang tajam menatap Paman Nursam.“Bagaimana orang bisa dewasa secepat itu.” Seolah tengah berbicara dengan dirinya sendiri, Juragan Arga hanya memalingkan wajah. “Betul, Juragan. Kemarin itu Nirina sangat takut untuk menikah, tetapi sekarang sudah siap. Dia bahkan siap menjadi adik madu dari Nur, Juragan. Saya harap Juragan bisa mempertimbangkannya.” Lelaki dengan wajah tampan itu bergeming. Dia melirik sekilas pada Paman Nursam de
"Lagi pula! Saya tahu, salah satu alasan kenapa kalian menginginkan Nirina untuk menikah cepat!” Juragan Arga menepuk tangannya. Tak berapa lama tampak Suryadi berjalan dari arah pos security dan menghampirinya. “Tolong tunjukkan pada mereka, apa yang kamu ketahui, Suryadi!” titahnya. “Baik, Juragan!” Suryadi langsung berdiri di tengah-tengah mereka. Lalu dia mengeluarkan satu buah amplop. Lalu di tumpahkannya isinya. Semua mata memandang benda-benda yang tercecer itu. Seketika wajah Nirina memucat. Paman Nursam dan Bi Lela menoleh pada putrinya. Dengan tangan gemetar dia mengambil salah satu foto yang tergeletak. “S--siapa lelaki dalam foto ini, Rina?” Suara Bi Lela bergetar. Bahkan rasanya dirinya tak punya muka melihat gambar-gambar tak berpakaian dengan berbagai fose itu berserak di depannya. Nirina menunduk, jemarinya saling bertaut. Susah payah dirinya menelan saliva. Berharap tak harus menjawab apapun lagi. “Ini semua pasti hanya rekyasa? Kenapa Juragan berbuat seperti i
Nuria mengangguk, sentuhan tangan suaminya menyapu sekilas pipinya dengan lembut. Lalu juragan Arga bangkit dan kembali menggamit jemarinya. “Mari ikut aku, Istriku. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu. Hal yang sudah kupersiapkan lama, tetapi bingung seperti apa aku akan memberikannya.” Nuria hanya mengikuti langkah panjang-panjang itu dengan sedikit cepat. Hingga Juragan Arga terkekeh. Lalu melepas gamitan jemarinya. “Tunggu saja di sini. Abang lupa, kamu minimalis.” Lalu dia melangkah cepat menaiki tangga meninggalkan Nuria yang mematung di ruang tengah. Menatap foto keluarga di mana ada Saraswati, Celia dan Juragan Arga. Tak ada foto Nilam, rupanya itulah alasannya. Dia menikahi Nilam bukan karena cinta dan tak ada juga foto pernikahannya. Karena cintanya Juragan Arga masih untuk Saraswati … sedangkan untuknya hanya sebatas rasa tanggungjawab untuk menjalankan sebuah amanat.Tak berapa lama sosok tinggi tegap itu tampak menuruni tangga dengan tergesa. Kunci mobil sudah dia g
Juragan Arga menatap was-was pada Nuria. Namun gadis yang sudah terbiasa menjalani kerasnya hidup itu tersenyum pasti. “Abang … selama ini Abang sudah begitu baik denganku, maka izinkan aku untuk memberikan satu kebaikan saja untukmu. Aku akan berusaha menjadi Ibu dan sahabat yang baik untuk Celia … semoga saja aku bisa, Bang.” Lelaki itu mengangguk. Tak menyangkan istri kecilnya bisa berpikiran sedewasa itu. Bahkan dirinya sendiri yang rasanya masih belum siap jika pada kenyataannya, Celia dan Nuria tak bisa dipersatukan. Apalagi watak Celia yang begitu keras dan emosinya yang meledak-ledak. Mereka pun meluncur, menuju Kota Jakarta di mana Naima dan Celia masih berada di kediaman Anggita. Sepanjang perjalanan tak banyak percakapan yang terjadi. Sesekali Juragan Arga mengangkat telepon, entah ada update apa terkait pekerjaan atau hal lain. Nuria hanya menyimak saja. Jalanan kampung sudah terlewati, mereka mulai memasuki jalanan padat merayap yang membawa mereka ke pusat kota. Kema
Perjalanan menuju kediaman terdengar riuh oleh celotehan Naima. Dia berada dalam pangkuan Mita yang duduk di kursi belakang bersama Celia. Sementara itu, Nuria duduk di kursi depan. Beberapa kali bayi gembil itu meronta ingin ke depan, tetapi terdengar Mita mengalihkan perhatiannya. Seolah Naima adalah hal yang haram untuk dipegang oleh Nuria. “Mamamama ….” Naima meronta, tetapi terdengar lagi-lagi Mita mengalihkan perhatiannya.“Ima mau mamam, Sayang? Sebentar Bunda buatin dulu, ya!”“No No No! Mamamama ….” Sepertinya Naima sudah mengerti jika diajak bicara. Dia menggeleng seraya menyebutkan kata yang biasa diucapkan Anggita ketika perempuan itu tak menyetujuinya melakukan sesuatu yaitu no. “Mbak Mita, kasih Naima ke sini … dia sudah tahu kalau saya ini adalah mamanya.” Nuria menoleh seraya mengulurkan tangan pada Naima. Gadis kecil itu menatapnya dengan mata berbinar, sedangkan Celia tampak mendengus ketika melihat perempuan yang hampir sebayanya itu seolah cari perhatian.“Gak u