Share

Part 6. Menjadi Pelayan Kamar

Birdella Xavera, adalah anak tiri, yang berasal dari istri ke empat Nawang Nehan. Mahasiswi jurusan sastra di universitas terkenal di daerah Lampung. Cerdas, pemberani, mudah bergaul. Memiliki kulit yang putih, bersih, dengan porsi tubuh yang proposional. Dia juga sedang merencanakan akan melanjutkan kuliah ke luar negeri untuk mengambil jurusan sastra Inggris.

Dengan berlimpahnya kemewahan yang dijatah dari ayah tirinya, Birdella memiliki kemampuan lebih di atas teman-temannya. Ia bisa membeli apa saja yang dia inginkan. Termasuk membeli tenaga untuk menyakiti orang lain. Birdella juga memiliki pengawal khusus yang diberi ayah tirinya, namun dia lebih suka menggunakan tenaga pilihannya sendiri sehingga merasa aman dari mata-mata ayahnya.

Sejauh perjalanan hidupnya, Birdella memiliki reputasi yang baik, sehingga semua saudara, dan ayahnya sangat menyayanginya.

Sebagai gadis yang mempelajari sastra, Birdella memiliki kemampuan mengolah kata menjadi sebuah tulisan. Sebab itulah ketika teman-temannya membicarakan sebuah platform kepenulisan terkenal di kalangan novelis, Birdella tidak mau ketinggalan. Dia juga menulis di sana. Bukan demi rupiah, karena dia telah memiliki semuanya. Birdella hanya ingin popularitasnya diketahui oleh masyarakat lebih luas. Dalam waktu singkat ribuan penulis tersingkirkan, Birdella menjadi penulis terkenal di seluruh pecinta novel di tanah air. Peringkatnya selalu menjadi yang teratas di papan pegumuman beranda aplikasi.

"Ouuw ada bunga baru rupanya di taman kita," pria yang berada di luar, tidak jauh dari Birdella, berkata. Matanya sayu menatap Ayara, dengan senyum bibirnya yang menggoda.

"Mereka bukan bunga, mereka hanya pelayan di rumah kita!" kata Birdella, seraya keluar dari ruangan, dan menarik tangan pria di depannya. Pria itu mengikuti Birdella, setelah sempat mengedipkan sebelah matanya kepada Ayara. Siapa lagi pria itu? Batin Ayara.

"Uwuuuu tampannyaaa, aku tak mengapa menjadi budak di rumah ini, asal bisa menikmati ketampanannya setiap hari, oh …." celoteh salah seorang dari kandidat pelayan utama Tuan Muda Arlo. Ayara menghentak tubuhnya kembali ke atas kasur.

"Pindah dari sana!" perempuan yang tadi terjengkang meminta kepada Ayara.

"Ke mana?"

"Pojok!" Perempuan itu menunjuk ranjang paling pojok yang terlihat rapi. Ayara duduk tegak. Kedua matanya tajam menatap perempuan di depannya.

"Siapa namamu?" Perempuan itu tidak menjawab. Ayara melangkah ke ranjang yang tadi ditunjuk. Lalu membaringkan tubuhnya di sana.

Hingga larut malam, para perempuan itu terus membicarakan anak-anak Nawang Nehan.

"Katanya sih dia keliatannya aja jahat, aslinya baik." Salah satu dari mereka berkata.

"Tapi katanya dia gak doyan perempuan boo, buat apa nikah sama orang tampan kalau gak bakal disentuh!" Yang lain menjawab.

"Iya mending sama anak kedua saja, tampan, jantan, serta mata dan senyumnya, oh …."

"Yang paling bungsu tidak kalah tampan juga."

"Iya itu, Cashel Anarghya."

Semua pembicaraan itu tidak luput dari telinga Ayara. Dia semakin yakin, dua pria yang dia temui di jalanan kemarin subuh, dan juga di tempat pelatihan bela diri, itu adalah kedua putra Nawang Nehan. Cashel Anarghya, pria itu sempat menawarinya untuk memberi tumpangan dan mengingatkan kalau-kalau jalanan subuh bisa berbahaya baginya, tetapi Ayara menolak. Pria itu juga yang membantunya ketika dia pingsan di depan ruangan pelatihan. Benarkah masih tersisa mahluk yang baik hati di keluarga ini?

***

Pagi sekali, Nawang Nehan sudah berada di ruang tamu rumah Arlo. Pelayan dari dapur membawakan teh dan camilan untuk mereka.

Kediaman Nawang Nehan terdiri dari enam hektar tanah segi empat, di pinggiran perkampungan. Itu adalah cita-cita Nawang sejak remaja, untuk memiliki rumah dan tanah yang luas di perkampungan. Dia tidak memiliki keinginan untuk tinggal di perkotaan, meskipun asetnya di kota juga berlimpah.

Dulunya, tempat tersebut adalah ladang dan sawah milik warga, Nawang memborongnya dengan harga tiga kali lipat, dari harga pasaran di daerah tersebut. Bagi Nawang itu tetap murah, karena jika beli di kota asalnya, yang merupakan salah satu kota terbesar di negaranya, maka hanya akan peroleh satu hektar saja.

Rumah Nawang yang ia tinggali bersama istrinya, berada tepat di tengah-tengahnya.. Sementara ketiga putranya memiliki bangunan masing-masing di sekeliling rumah Nawang Nehan. Berseling dengan dekorasi taman yang indah. Begitu juga dengan anak tirinya. Birdella Xavera.

"Apa yang hendak Ayah sampaikan?" tanya Arlo

"Para perempuan yang ayah janjikan, mereka sudah ada di sini," balas Nawang.

"Berapa orang?"

"Lima. Ini data diri mereka."

"Ayah sebegitu tidak percayanya kepadaku, sampai sampai harus melakukan ini," kata Arlo.

"Kesempatanmu sudah habis. Jadi kali ini kamu harus menurut, agar tidak mempermalukan Ayah kepada rekan bisnis."

"Hmmm"

Keduanya terdiam beberapa menit. Menikmati keharuman teh tangerine yang Nawang bawa dari Malaysia, dan udara pagi yang sejuk.

"Ah, kita beruntung sekali memiliki tempat tinggal di sini. Udara pegunungan begitu sejuk," kata Nawang. Arlo hanya mengangguk setuju.

"Dulu Ayah mengenal ibumu di sini." Kepala Nawang mendongak, matanya menerawang membayangkan masa lalunya. Istri pertamanya meninggal dunia, dua jam setelah anak pertama mereka terlahir. Istri kedua menghilang tiada kabar selama bertahun-tahun, meninggalkan anak mereka yang saat itu, baru berumur tiga tahun. Sementara istri ketiga meminta cerai dan pulang ke kotanya. Dia tidak menikmati tinggal di sebuah desa seperti itu. Kemudian, Nawang menikah lagi dengan janda anak satu. Dialah Tanasiri, ibunya Birdella Xavera.

Merasa cukup dengan teh dan camilannya, Nawang berdiri dari duduknya.

"Ayah akan memanggil mereka, untuk dikumpulkan di halaman depan," kata Nawang, "dan kamu bisa pilih salah satu atau dua."

"Tidak perlu, Ayah. Biar aku menangani mereka sendiri."

"Bagaimana?"

"Tenang saja, aku memiliki cara yang lebih elegan untuk memilih."

"Tidak boleh tidak. Kamu harus memilih!" tegas Nawang Nehan. Arlo mengangguk.

"Aku mengerti."

***

Didorong rasa penasaran, Ayara keluar ruangan ketika teman-temannya sedang sibuk memilah pakaian, yang akan mereka kenakan untuk menghadap putra sulung Nawang Nehan. Ia penasaran, sebesar apa halaman dan rumah ini. Menyayangkan tindakan Dihyan dan Gayatri yang tidak pernah mengajaknya bermain di taman ini sewaktu masih kecil dulu.

Ayara terus berjalan, hingga tidak terasa, ia sampai di dekat rumah berwarna putih bersih yang di sampingnya ada air mancurnya. Sejenak ikan koi warna warni yang renang bergerombol, menghanyutkan ketenangannya. Dia lupa siapa dirinya.

"Lihat, siapa yang kutemukan?" Tiba-tiba satu suara mengejutkannya. Cashel. Ayara berdiri.

"Sedang apa kamu di sini, Kelinci Liar?"

"Hei, sejak kapan namaku menjadi Kelinci Liar?"

"Sejak kutemukan kamu yang berbaju putih, ngelayap subuh seorang diri di jalanan," jawab Cashel. Ayara tergelak. Lalu membalik badannya hendak pergi. Cashel mengejarnya, dan menyamakan langkah.

"Sedang apa kamu di sini?"

"Menjadi pelayan di rumah ini,"

"Sungguh?"

"Ya."

"Sejak kapan?"

"Hari ini mungkin."

"Aaa, kamu miliknya Arlo," gumam Cashel terdengar kecewa, "malang sekali kamu, pria es itu tidak akan tahu cara memperlakukan wanita dengan baik,"

"Sungguh?"

"Mmm." Cashel mengangguk. "Tetapi jangan khawatir, kamu bisa bilang padaku jika pria es itu membuatmu kesal. Aku akan melindungimu."

"Kamu bisa?" Ayara penasaran.

"Tentu saja!" Sampai di samping gedung kamar para pelayan, Ayara melambai kepada Cashel. Lalu melangkah pergi.

"Kamu tidak mengucap terima kasih kepadaku?" Suara Cashel kembali membuat Ayara berhenti, membalik badan dan tersenyum kepadanya.

"Untuk apa?" tanyanya.

"Aku sudah menolongmu di tempat pelatihan, dan mengantarmu sampai di sini."

"Kamu sendiri yang mau melakukan itu, aku tidak memintanya," balas Ayara. Lalu kembali membalik badan. Cashel tertawa kecil, kagum dengan prinship gadis itu. Lalu ia melakukan hal yang sama. Membalik badan, dan kembali ke tempat di mana dia bertemu Ayara tadi.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status