-Usaha Penggerebekan- “Hallo Assalamualaikum, Pa, maaf malam-malam telepon Papa. Tapi ada hal penting yang ingin Karin bicarakan.”“Owh, Waalaikumussalam. Ya, silahkan cerita. Apa kabar anak-anak?”“Anak-anak baik, Pa. Karin mau bicara soal Mas Hangga, Pa.”Kuceritakan kejadian demi kejadian sampai akhirnya Papa paham dan mengerti situasiku saat ini.“Hmm, cukup pelik, Karin.” Papa menghela napas panjang.“Baiklah, Papa akan jemput Papa kamu, nanti kita ke sana sama-sama. Apa Papa sudah dikabari?”“Baru akan Karin telepon, Pa. Maaf kalau Karin baru bisa sekarang mengabari Papa. Karena pada awalnya Karin pikir akan bisa mengatasi keadaan ini sendiri. Tapi ternyata Karin sendiri baru sadar kalau situasinya sudah segawat ini.”“Papa mengerti keadaanmu. Ini sudah berat. Ya, oke. Papa siap-siap dulu, ya.”“Oke, Pa.” Klik, telepon kumatikan.Tak ada waktu bersedih Karin. Segera telepon Papa. Aku melanjutkan menekan tombol panggilan ke W* Papa.Pembicaraan ke Papa terasa lebih berat. Karena
-Mereka Tanpa Sehelai Benangpun-Sekali lagi lagi.Debum Gubrak!! terdengar jeritan dari arah dalam.“Hangga! buka pintu!!!”Papa Hans berteriak.“Buka pintunya atau saya dobrak paksa!”Ternyata pintu begitu kokoh sehingga dua kali tendangan Papa tak membuat pintu itu terdobrak.Sekujur tubuhku sudah merinding menyaksikan keadaan ini. aku sangat kenal watak Papa Hans, jika ia marah. Maka ia benar-benar marah. Terlebih predikat mantan preman Blok M ketika muda dulu ada pada dirinya. Tapi Papa sangat setia dengan pasangan, inilah yang membuatnya begitu marah dengan kelakuan anaknya.Ternyata pintu belum juga dibuka, mungkin mereka di dalam sedang kelabakan atau malah sudah tanpa busana sehingga sibuk memakai pakaian. Entahlah.Papa mengambil ancang-ancang lagi. Mundur tiga langkah lalu melompat tinggi menendang pintu itu lagi.Debum! Gubbbrrraaakkkkk! Kali ini pintu terbuka. Kejadian yang sangat cepat. Papa langsung merangsek masuk. Terdengar teriakan lagi dari dalam, juga tangisan wan
-Diarak-Aku terkesiap.“Kamu sadar apa yang kamu lakukan, Hangga?” tanya Papa.“Ia, Pa. Sadar, Pa. Maafin Hangga, Pa. Hangga nggak mengira kejadiannya akan seperti ini.” Ia masih menangis dan memohon maaf pada Papa.Di detik ini, aku sudah tak bisa menahan buncahan air mata. Benakku dijejali kenangan masa lalu. Terbayang kilasan-kilasan peristiwa dimana ia bersumpah akan sehidup semati denganku. Pakaian pengantin itu, terkemas gagah di tubuhnya, lantas ia bersujud memohon restu kepada Papa dan Mama. Lalu tangan kekar itu, menyambut tangan dan mencium jari-jemariku dengan lembut.Terbayang hari pertama Sefina lahir, wajah Mas Hangga sumringah bahagia. Terbayang kebersamaan Mas Hangga dan anak-anak bermain di Kidzania. Tangisku tambah menderas membayangkan betapa anak-anak sangat mencintai Mas Hangga begitu pula Mas Hangga. Sampai tiba-tiba di ruangan ini terdengar pekikan. kubalikkan tubuh.Inem! Inem sudah memegang pisau kecil dan bersiap menyayat nadinya!Aku terkesiap.“Kalau k
-Kita Cerai, Mas.-Jantungku berdenyut hebat. Ya Allah Mas Hangga!“Woi, jangan main hakim sendiri!” Terdengar suara gedebag gedebug.“Tahan … tahan … kalem jangan ricuh woi!” ucap warga yang lain. “Oke, borgol juga. Berbahaya!” Sepertinya itu suara polisi.“Oke, Aman!”Aku membuka mata. Terlihat seseorang digelandang keluar kerumunan dengan borgol. Diamankan.Syukurlah, korek api tak sampai terlemparkan ke tubuh Mas Hangga. Aku mengucap hamdalah berkali-kali. Ya, meski aku berharap Mas Hangga akan mendapat ganjaran atas perzinahannya tapi bukan penghakiman yang anarkis dari masyarakat semacam ini yang aku harapkan. Berkali-kali aku menarik napas lega.“Ayo-ayo lekas selesaikan. sSekarang bablas arak aja langsung bawa ke aula kelurahan sekaligus sama perempuannya.”“Yow-yow …” suara warga sepakat.Terdengar suara keras tiga sirine mobil polisi datang. Warga langsung terpecah, ada yang menyingkir, pulang dan ada yang bertahan.Papa Hans berdiri.“Ya, ayo kalo mau di bawa ke Kantor Ke
-"Aku Diperkosa Bapak," Ucapnya-“Maksudnya?”Aku menatap mata Inem.Ada api di dasar matanya. Ada aroma yang sama kurasakan ketika aku sedang berada di kamar Inem tempo hari. “Maksudnya bahwa kamu sudah dibohonginya habis-habisan.”Kini giliran Inem yang seketika menatapku.“Dibohongi apa, Bu?” Nada suaranya menantang.“Banyak. Perlu saya jelaskan detail apa kamu saja yang menjelaskan?” “Ibu jangan egois, Ibu wanita aku juga wanita. Aku cuma menuntut apa yang sudah Bapak lakukan. Aku hamil, aku dipermainkan. Aku nggak pernah berniat merebut suami orang, aku juga punya harga diri. Tapi apa daya, aku nggak akan kuat melawan kemauan Bapak. Apalagi Ibu keluar kota terus. Aku mau bicara sama Ibu kuatir Ibu marah. Jadi aku harus gimana sekarang? Aku cuma nuntut keadilan. Akhirnya Bapak mengambil keputusan untuk memisahkan rumah aku dan Ibu. Baru saja semalam aku di situ, Ibu sudah bikin keonaran tanpa memikirkan perasaanku. Coba pikirin kalau Ibu yang di gerebek banyak orang, dilihat aura
-Kukuak Kebusukanmu di Depan Mas Hangga-“Bohong apa, Bu?”“Banyak, kan aku sudah bilang, mau aku yang jelasin atau kamu yang jujur. Aku pegang bukti. Kamu kira aku bisa kamu bohongin. Sepandai-pandainya kamu bersandiwara, akan ketahuan juga, Nem. Walau kamu mahir berakting. Tapi rekam jejak nggak bisa dibohongi. Kamu bukan saja terjerat pasal perzinahan yang bisa saya adukan ke polisi dan diadili, lalu ditahan. Kamu juga ngasih anak-anak obat tidur, ngasih Mas Hangga obat perangsang. Dan kamu tadi malam sudah melakukan penyanderaan terhadap anak kecil. Itu semua bisa menjerat. Kamu nggak cocok jadi pembantu, Nem. Kamu cocoknya hidup bebas diluaran kerja apapun kamu bisa sebenernya. Kalau kamu mau kerja rumahan ikut saya, jelas kamu punya motif terencana untuk menggaet suami-suami orang yang kamu ikuti misalnya. Terbukti ‘kan.”“Jangan mengada-ada, Bu. Kasihan sedikit sama saya. Saya ini cuma pembantu. Jangan sampe Ibu yang suudzon, saya yang jadi korban. Cukup saya jadi terfitnah, olo
-”Janin Ini Perlu Pengakuanmu, Mas,” . “Aku memang sedang baca cerita di internet, Bu.”Ya Allah ngototnya dia.“Nem, saya tu punya temen banyak yang kerja di provider tel*omsel, kartu yang kamu pake sekarang, bisa dillacak, jam segitu kamu lagi nelepon apa lagi buka internet. Kan kamu bilang lagi baca cerita di internet pake suara dikeras-kerasin, nah kalau kamu ngotot nanti bisa dibuktikan. Dan kalau jelas kamu sebenarnya nggak sedang baca novel seperti pengakuan kamu. Artinya apa? Artinya soal darah perawan palsu itu benar. Kamu memakainya bahkan kamu mengajarkannya ke temen dalam telepon kamu, siapa? Yani? Sri? Oiya kata kamu masih simpan sprei dan kain lap malam pertama kamu sama Bapak ‘kan?.Oke, Itu jangan sampai hilang, kalau-kalau kamu benar, ‘kan dua benda itu bisa jadi bukti untuk membela kamu di pengadilan nanti.”Inem langsung kicep. Terdiam.“Nem, yang saya beberkan saat ini tentang kamu itu belum apa-apa. Kamu malu nanti kalau saya buka semua. Saya menyimpan video-video
-Masa Lalu Inem Terkuak- Aku segera bangkit mengangkat tubuh Mbok Parni. “Bangun, Mbok, duduk sini di sebelah saya.”Ia justru menggeleng-gelengkan kepalanya sambil terus menangis.“Enggak, Bu, saya malu, benar-benar malu. hu hu hu.”Tangisannya, ah, aku paling tak bisa mendengar orang menangis. Sudah pasti air mataku ikut mengucur.Getir kurasakan dari tangisan wanita uzur ini. Aku yang jadi korban tapi aku juga seperti ikut merasakan sedih dan pahit yang Mbok Parni rasa.Akhirnya aku ikut duduk di bawah karena ia tak mau bangkit.“Sudah, Mbok, Nggak apa-apa. Semuanya sudah baik.”“Sudah baik-baik gimana, to, Bu. Kok Ibu selama ini diam saja, nggak pernah telepon saya bicara soal kelakuan Inem. Ndak segera dipulangkan saja Inem, atau bilang sama bapaknya. Ya Allah, Bu, kasian banget.” Ia mengusap air mata menatapku.“Mbok kok bisa ke sini tau dari mana?”“Perasaan saya sudah seminggu ini, nggak enak, Bu. Inem sudah sebulan lebih nggak ngabari, saya telepon nggak bisa. Jadi saya data