"Ternyata apa?"
Aku terperanjat saat mendengar suara Mas Arfan dari belakang. Ia berjalan mendekat dengan tongkat sebagai pemandu langkahnya.
"Kenapa diam, Alvin. Ada apa dengan istriku?" tanya Mas Arfan lagi kepada adiknya.
Kulihat Alvin mengusap wajah dengan kasar. Matanya sedikit memerah dengan keringat yang mulai hadir menghiasi wajahnya.
Setali tiga uang dengan Alvin. Aku pun merasakan suhu tubuhku sedikit panas. Hatiku tiba-tiba tidak tenang karena kedatangan Mas Arfan yang tiba-tiba.
'Mungkinkah, dia mendengarkan semua pembicaraan Alvin?'
"Hem ... selain cantik, istrimu juga ... manis, Mas," ujar Alvin seraya melirikku dengan tajam.
Kata yang keluar dari bibirnya, tidak sama dengan isi hatinya. Aku bisa melihat dari mimik wajah Alvin.
Mas Arfan mengangkat tongkat di tangannya, lalu diarahkan ke depan, seolah-olah ada adiknya di sana. Padahal, akulah yang ada tepat di depan tongkat yang dia acungkan.
"Jangan main-main denganku, Al. Jangan sampai kamu menyukai iparmu sendiri. Dia adalah Mbakmu," ujar Mas Arfan.
Aku memegang ujung tongkat, lalu menariknya dengan pelan.
"Ini aku, Mas," ucapku.
Mata Mas Arfan membulat dengan mimik wajah kebingungan.
"Alvin sudah lari, saat melihatmu mengangkat tongkat. Dia takut, kamu akan benar-benar menghajarnya," ujarku lagi seraya berdiri dan menuntun suamiku untuk duduk.
Mas Arfan terkekeh. "Dia memang penakut. Baru saja dibecandain seperti itu, sudah kabur. Bagaimana mau punya istri, kalau untuk melindungi dirinya saja dia tidak bisa. Dasar bocah."
Alvin yang masih berada di tempat yang sama, hanya melihatku sekilas. Kemudian dia berdiri dan berjalan pergi tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.
Tanpa aku berkata langsung pun, Alvin sudah paham jika aku menyuruhnya pergi. Dan untungnya, dia mau menuruti isyarat yang aku berikan.
"Mas, ada apa ke sini?" tanyaku saat hanya kami berdua di tempat ini.
"Aku menunggumu, tapi kamu lama. Aku takut jika terjadi apa-apa denganmu, Tari. Makanya, aku susul ke sini. Dan ternyata benar saja, kamu sedang digodain jomblo kesepian di sini."
Mas Arfan tertawa setelah mengakhiri ucapannya. Aku pun melakukan hal yang sama, meskipun terdengar sumbang.
Satu tahun menjadi istri Mas Arfan, membuatku tahu jika dia adalah pria yang sangat lembut pada wanita. Tentunya kepada istri, dan aku merasa sempurna bersamanya. Dia cacat dalam hal fisik, tapi tidak dengan perlakuannya padaku.
Dalam kekurangan yang dia miliki, Mas Arfan selalu bisa membuatku tersenyum di setiap harinya. Dengan kata-katanya, juga dengan perlakuannya.
"Tari, aku ingin ke taman belakang. Bisa kita ke sana?"
Setelah beberapa saat kita saling diam dengan jari yang saling bertautan, Mas Arfan memintaku membawanya ke tempat tersejuk di rumah ini.
"Tentu saja bisa. Ayok, kita ke sana," jawabku seraya berdiri terlebih dahulu.
Kami berjalan bergandengan menuju taman kecil yang dipenuhi dengan berbagai jenis tanaman hijau. Semilir angin begitu segar membelai kulit wajah serta lenganku yang tidak tertutup kain.
"Jika nanti mataku sudah bisa melihat, kita akan keluar dari rumah ini. Aku akan mengajakmu tinggal di rumahku. Kamu bersedia?" tanya Mas Arfan.
Aku tidak langsung menjawab. Aku mendudukkan dia di bangku panjang tepat di bawah pohon yang begitu rindang dengan daun yang lebat. Aku duduk di sampingnya, menarik napas dengan dalam.
"Apa alasanku untuk menolak, Mas? Kamu suamiku, imamku, dan aku akan ikut ke mana pun kamu pergi. Ke mana pun," ujarku pasti.
Untuk kesekian kalinya aku melihat wajah Mas Arfan begitu cerah. Aku tahu dia tengah bahagia mendengar jawaban dariku.
Mas Arfan memang sudah memiliki rumah di tempat lain. Namun, dia harus tinggal di sini sejak matanya buta. Kedua orang tua Mas Arfan khawatir jika putra pertamanya tinggal seorang diri.
Saat tengah mengobrol saling bergurau, ponselku berdenting. Aku melihat pesan yang ternyata dikirim adikku.
"Isna?" lirihku nyaris tanpa suara.
Alisku terangkat sebelah dengan bibir yang kutarik ke atas saat melihat hanya gambar jempol yang Isna kirimkan untukku.
"Pesan dari siapa, Tar?" tanya Mas Arfan.
Buru-buru aku memasukan ponselku kembali ke dalam saku celana.
'Eh, Mas Arfan 'kan, tidak bisa melihat. Untuk apa juga aku harus menyembunyikan ponselku?'
Aku menggelengkan kepala merutuki kebodohan yang kubuat sendiri.
"Dari Isna, Mas. Biasalah, dia menanyakan kabarku."
Mas Arfan manggut-manggut. Dia tahu semua keluargaku sangat sayang dan perhatian padaku. Juga, pada dirinya.
"Kapan kita ke rumah ayah dan ibu? Rasanya sudah lama kita tidak berkunjung," ujarnya lagi membuatku diam sejenak.
Bukan aku tidak ingin mendatangi keluargaku. Namun, semuanya harus dipersiapkan terlebih dahulu, jika aku datang dengan Mas Arfan. Aku harus menelepon Isna, untuk memberitahukan jika aku dan suamiku akan datang berkunjung.
"Eh, nanti saja, deh, kalau aku sudah bisa melihat. Biar aku bisa tahu bagaimana suasana di rumah mertuaku," tutur Mas Arfan lagi membuatku meneguk ludah.
Aku hanya bergumam untuk menjawab setiap kata yang keluar dari bibirnya.
Setelah beberapa saat kami diam di taman belakang, Mas Arfan meminta kembali masuk ke dalam rumah. Waktu pun sudah sore. Dan pastinya kedua orang tua suamiku sudah pulang dari kantor.
"Dari mana, Fan?" tanya Mama saat melihat kita masuk.
Ternyata mereka sudah berada di ruang keluarga sembari menikmati teh hangat.
"Dari taman, Mah. Mama sudah lama pulang?" Mas Arfan balik bertanya.
Aku menuntun suamiku untuk duduk dan bergabung dengan kedua orang tuanya. Pastinya, mereka akan saling bertukar cerita tentang perusahaan dan pekerjaan kantor yang seharusnya dikelola suamiku. Namun, harus mama yang turun tangan karena keterbatasan yang dialami Mas Arfan.
"Baru saja. Kita baru sampai, ya Pa?" ujar Mama seraya menepuk paha suaminya.
Papa hanya mengangguk, lalu kemudian mengambil ponsel miliknya yang berdering. Papa menempelkan ponsel ke telinga, dengan wajah yang tidak biasa.
"Apa, batal? Kenapa bisa dibatalkan?" ujar papa dengan rahang yang mengeras.
Mas Arfan melihat ke samping, menajamkan pendengarannya. Sedangkan aku dan mama, melihat ke arah papa yang wajahnya sudah merah padam.
'Apa sekiranya yang batal? Apa jangan-jangan ....'
Bersambung
"Apa yang batal, Pah?" tanya Mama memandang wajah Papa dengan serius.Orang yang ditanya tidak menjawab. Papa mengusap wajahnya dengan kasar seraya mematikan sambungan telepon. Kemudian, ia melihat ke arah Mas Arfan yang masih mendengarkan percakapan kami."Ali, dia ... membatalkan niat untuk mendonorkan kornea untuk Arfan."Kulirik wajah Mas Arfan yang langsung meredup. Pundaknya merosot dengan punggung yang disandarkan pada sofa.Aku mengambil tangan suamiku, menggenggam dan meletakkannya di pangkuan. Memberikan kekuatan lewat sentuhan sederhana yang mungkin tidak berarti apa-apa untuknya."Kok, bisa? Bukannya waktu kita jenguk dia, dia sudah yakin dengan keputusannya, Pah?" ujar Mama dengan suara yang meninggi.Aku tahu, ibu mertuaku itu tengah kecewa dan marah. Harapannya diputuskan tanpa alasan.
Refleks aku melepaskan nampan yang sedari tadi aku genggam. Alhasil, gelas yang berisikan air, jatuh dan pecah berantakan di lantai.Buru-buru aku berjongkok, lalu memungut pecahan gelas yang berserakan."Kenapa Tari? Kamu kaget, karena aku tahu rencanamu?" ujar Alvin lagi terus memojokkanku.Aku berdiri. Melihat tajam kepada adik ipar yang selalu berpikiran buruk padaku."Aku kaget, karena tidak percaya jika kamu akan menuduhku seperti itu, Al. Apa kamu punya bukti, atas ucapan kamu barusan?" ujarku menantangnya.Alvin tersenyum mengejek. Ia melipat kedua tangannya di perut, menatapku dengan tajam."Haruskah aku membuka semuanya agar kamu mengakuinya, Tari? Kamu ingin aku memperlakukanmu, begitu?""Silahkan! Silahkan lakukan apa pun yang ingin kamu lakukan padaku, Al. Buktikan jika apa yang tad
"Ekhem! Mas, sepertinya kamu harus segera istirahat. Kita ke kamar, yuk!" ujarku langsung memotong ucapan Alvin yang menggantung.Bagaimanapun, aku harus menghentikan ucapan Alvin yang akan menjabarkan ciri-ciri fisikku. Ini belum saatnya Mas Arfan untuk tahu tentang diriku.Aku masih ingin dicintai oleh suamiku. Masih ingin hidup tenang dengan penuh kasih sayang."Sebentar, Sayang. Aku ingin mendengar Alvin berbicara." Mas Arfan menolakku.Hatiku semakin risau, keringat di punggung sudah bercucuran. Kulihat Alvin menyunggingkan senyum mengejek ke arahku, karena aku gagal mengajak suamiku pergi."Lanjutkan, Al," ujar Mas Arfan pada adiknya."Ok. Apa Mas, benar-benar ingin tahu?""Ya, tentu saja. Aku penasaran karena setiap aku menanyakan itu pada Mbakmu, d
"Kamu bukan orang biasa, 'kan? Ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku. Benar?" ujar Mas Arfan membuatku kembali bungkam.Aku menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Aku menetralkan detak jantungku menjadi lebih tenang lagi."Ya, aku memang bukan orang biasa. Aku wanita luar biasa, yang sudah diajarkan mandiri sejak kecil. Kamu pasti bingung 'kan, karena baru tahu jika aku bisa nyetir mobil?"Wajah Mas Arfan semakin tidak bersahabat saat aku mengucapkan kata itu. Dalam pikirannya, mungkin aku ini telah menipu dia. Padahal ... memang seperti itu. Tapi, tidak semuanya."Kamu membohongiku?" tanyanya."Tidak!" sanggahku dengan cepat, "Aku hanya belum menceritakan ini padamu.""Sejak kapan bisa nyetir?" tanya Mas Arfan lagi."Sudah sejak dulu. Aku pernah cerita sama kamu 'kan, kalau aku ini
"Gimana kabar orang tuamu, Nak Arfan?" tanya ibuku kepada suamiku."Alhamdulillah baik, Bu.""Syukurlah. Oh, iya tadi kami sudah menyiapkan makanan untuk kalian. Kalian pasti belum pada makan, 'kan? Mari, kita ke ruang makan," ajak wanita yang telah melahirkanku itu.Aku dan Mas Arfan mengangguk bersamaan. Namun, sebelum kami pergi ke ruang makan, Mas Arfan memintaku untuk mengantarnya ke kamar kecil."Tar, apa rumahmu ini sangat besar? Rasanya jauh sekali dari ruang tamu sampai ke kamar mandi," tutur Mas Arfan.Aku sedikit menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal. Sulit untuk aku menjabarkan rumah yang telah aku tinggali selama hampir dua puluh tujuh tahun ini."Hanya perasaanmu saja, Mas. Ini, kita sudah sampai di depan kamar mandi," ujarku seraya membuka pintu.Aku mengantarkan suamiku masuk ke dalam, dan m
"Tari, tempat tidurmu besar juga, ya?" ujar Mas Arfan. Saat ini, kami memang tengah berada di kamarku."Ah, biasa saja, Mas.""Kasurmu lebar, loh, Tar. Sama kayak tempat tidur kita di rumah Mama," ujarnya lagi seraya meraba ranjangku."Sengaja dilebarin, Mas. Kamu tahu sendiri, kalau aku tidur bagaimana. Jadi, Ayah sengaja membeli kasur untukku yang ukurannya besar."Mas Arfan terkekeh mendengarkan penjelasanku.Untuk kesekian kalinya aku kembali berdusta. Lelah memang, tapi mau gimana lagi. Aku tidak punya pilihan lain untuk tetap mempertahankan posisiku dalam hati Mas Arfan.Waktu terus berjalan, hingga akhirnya suamiku kini terlelap. Aku membiarkan Mas Arfan seorang diri di kamarku, dan aku memilih menemui Mama dan Papa."Suka, Is?" tanyaku saat melihat Isna tengah membuka hadiah dariku."Sukalah,
"Mas, mau ke mana?" tanyaku saat Mas Arfan melangkahkan kaki. Namun, bukan ke depan, melainkan ke samping di mana ada seorang wanita tengah berdiri terpaku di tempatnya."Aku ingin bertemu Meta. Dia harus bertanggung jawab atas tindakan konyolnya yang telah membuatku seperti ini. Juga, dia yang sudah membuat kedua orang terkasihku tiada."Kilatan amarah begitu terpancar dari wajah Mas Arfan. Napasnya memburu dengan dada yang naik turun. Ia kembali melangkah tak tentu arah."Mas, jangan gegabah. Nama yang tadi dipanggil, bukan Meta yang kamu maksud," ujarku mencekal lengannya."Jangan menghalangiku, Tari. Aku harus bertemu dengannya!" Untuk yang kedua kali, Mas Arfan mengentakkan tanganku.Namun, aku tidak mau kalah darinya. Aku kembali mencekal lengan suamiku dengan sekuat tenaga. Aku mendekatkan bibirku ke telinganya, hingga membuat dia diam tak lagi berontak.
Ternyata lelah juga terus berbohong. Ingin rasanya mengakhiri, tapi membayangkan perpisahan dengan Mas Arfan, mengurungkan niatku untuk jujur.Aku belum siap kehilangan pria ini. Pria yang sudah memberikan warna baru dalam hidupku."Mas, sudah sore. Kita pulang, yuk!""Pulang? Jadi, kita tidak jadi ke kebun ayah?""Lain kali saja, ya? Takutnya orang rumah pada khawatir karena kita perginya lama," ujarku lagi.Inginnya aku, kita bisa menginap di sini. Tapi sepertinya akan repot jika semua orang rumah harus bersandiwara sepertiku. Aku tidak ingin menyeret kedua orang tuaku dalam kebohongan yang telah aku ciptakan."Yasudah, ayo kita temui ibu dan ayah untuk berpamitan."Aku menuntun tangan Mas Arfan, membawanya berjalan menemui kedua orang tuaku yang tengah menikmati acara televisi.