"Ya Allah," ucap Salma lirih merasai sakit di hatinya, ia bagai di persimpangan yang tidak tau kemana harus menuju. "Bunda," panggil Vita dan Kia, gegas ia melap air mata dengan ujung jilbab instan yang sedang ia kenakan lalu menoleh ke arah kedua anaknya seraya mengulas senyum. Dua bocah itu segera naik ke atas sepeda motor supra tahun lama milik Salma. Wanita yang dirundung rasa sedih itu diam sebentar dan berpikir, kemana ia harus pergi, apakah ke rumah Rahmat? Atau ke kontrakan orang tuanya, kembali tetesan bening mengalir, ia menarik nafas untuk sekedar melegakan rasa sesak di dada dan Salma memutuskan untuk kembali ke Belawan, kalau sudah sampai di sana, tidak mungkin orang tuanya mengusir, apalagi pakaiannya dan kedua anaknya ada di sana. Di tempat lain. Tina sepanjang hari bersenandung dengan riang, wanita berbadan semok itu merasa senang karena berhasil tidur dengan Rahmat, lelaki yang selalu ada dalam fantasinya, Rahmat yang berbadan tegap dengan wajah yang rupawan, mem
"Jangan harap kita akan mendapatkan anak yang shaleh dan Shalehah, kalau orang orang tuanya sendiri tidak mempunyai kepribadian yang baik dan berakhlakul karimah”, tutur Rahmat lagi sambil melirik Salma. " Masya Allah, sungguh luar biasa menantu Bapak ini," ucap Pak Nurdin dengan kagumnya, yang semakin membuat Rahmat membusungkan dada jumawa. Pak Nurdin semakin yakin, jika Rahmat ini memanglah sosok suami idaman dunia akhirat. "Betapa beruntungnya kau Salma, mendapatkan suami seperti Nak Rahmat ini.""Ya Allah Pak, sudah cukup!" Salam memekik seraya menutup kedua telinganya sebagai protesnya pada bapaknya yang terus-terusan memuji Rahmat yang sudah menghancurkan mentalnya sedemikian rupa. "Nah … lihatlah Pak, beginilah memang si Salma kalau dinasehati, tapi saya tetap sabar, tetap menyayangi dia sepenuh hati dan nurani saya. Dek, janganlah bertingkah seperti itu di depan orang tuamu, mereka sudah sepuh, jangan membuat malu mereka dan menambah beban pikiran orang tua, Sayang," ujar
Salma diam mematung, suara itu memang samar, ditambah suara erangan seorang wanita yang seperti ditahan-tahan, tapi Salma tau kalau itu suara manusia yang sedang melakukan adegan dewasa dan itu di kamar sebelah, tungkai kaki Salma terasa lemas, apa mungkin, Bang Rahmat? Ah, rasanya tidak mungkin, karena lelaki yang masih berstatus suaminya itu biasanya setia, yang Salma komplain kan selama ini ya karena zalim pada istri mengenai nafkah plus lisanya yang kasar dan menyakiti, kalau untuk setia, Rahmat bisa dikatakan setia. "Abwaang …." Samar Salma menangkap suara itu, tapi seperti ada yang membekap agar tidak terdengar, Salma memberanikan diri melangkah keluar, jantungnya bertalu berdegup kencang, suara ranjang berderit masih terdengar di indera pendengaran Salma, dengan tangan gemetar, ia mengangkat tangan hendak membuka handle pintu, ternyata terkunci dan suara ranjang berderit juga tidak terdengar lagi, rasa penasaran Salma semakin menggebu, ia ketuk pintu kamar karena tidak sepert
"Maksudmu apa, Tina?" Salma menatap Tina, wanita yang sedang mengenakan baju daster bermotif dengan lengan you can see itu malah tersenyum sinis. "Aku kasihan aja sama Vita dan Kia, punya ibu pelitnya luar biasa, pantesan anak-anak Kak Salma kurus cungkring kayak ga pernah diurus.""Ga usah heboh mengurusi hidup orang lain lah Tina, urus hidup masing-masing aja.""Ya, namanya juga kita tinggal di Indonesia, wajarlah kita saling kritik, itu tandanya aku peduli, kalau ga bisa ngurus suami sama anak, mending Kak Salma mundur, masih banyak perempuan yang jauh lebih bagus dari Kak Salma yang bisa mengurus keuangan dalam rumah tangga.""Nampak-nampaknya, ngebet kali kau pengen jadi istri Bang Rahmat, iya?" tanya Salma menelisik. "Jangan jadi pelakor kau, Tina. Hadeh, gawat kampung kita ini kalau ada pelakor," ucap Bu Tiur yang sedari tadi memang sudah ada di warung sayur itu, ibu-ibu yang lain pun ikut menatap sinis pada Tina. "Kalian ini, dikit-dikit main tuduh saja, ga ada rasa keped
Ditatap seperti itu membuat Salma merasa kikuk. "Mamak, udah, sembuh?" "Aku langsung saja pada intinya ya Salma, dosa apa keluargaku sama mu sampai tega kali kau melaporkan Rahmat ke polisi? Dosa apa?""Mak, Salma dipukuli Mak, di pinggir jalan, maksud Salma biar Bang Rahmat ga ngulangi lagi perbuatannya.""Alaaaah, ga mungkin si Rahmat mukulin kau, kalau kau ga durhaka sama suami.""Selama ini Salma ga pernah durhaka, Mak.""Mana ada maling teriak maling, kau aja ga sadar selama ini udah jadi istri durhaka kau halangi-halangi anakku biar ga berbakti samaku, apa ga durhaka itu, namanya?" cecar Bu Mega sambil menunjuk-nunjuk Salma. "Mak, sudah berulang kali Salma bilang, hidup kami pas-pasan Mak, tapi mulai sekarang, Salma ga akan menghalang-halangi lagi, mau ngasi enam juta, sepuluh juta sekalipun, ga akan Salma halang-halangi, tapi, dahulukan dulu nafkah istri dan anak-anaknya.'"Pengajian di mana kau selama ini? Ajaran sesat itu, makanya kau punya otak pintar dikit, punya hp jan
Rahmat memaki- maki Salma, Bu Mega mendekati. "Kamu jadi laki terlalu lembek, makanya istrimu begitu, lagian, apa yang kau harapkan dari perempuan macam si Salma itu, masih banyak perempuan yang lain, cari istri itu yang kaya, yang punya harta warisan banyak, kayak si Ita–istri Abangmu."Rahmat menghempaskan bobot tubuhnya di sofa, wajahnya terlihat kusut. "Entahlah Mak, Rahmat juga kadang menyesal, padahal mantan-mantan Rahmat itu dari keluarga berada semua, tetapi kalau Rahmat sama yang lebih kaya, apa mereka mau sama satpam?""Makanya, dulu pas SMA, keluyuran saja kau, akhirnya ga tamat, kan? Coba kalau tamat, minimal D3, pasti bisa kau jadi PNS, kayak Abangmu.""Arrggh, sudahlah, Mak, penyesalan selalu datang terlambat.""Waktu itu juga sudah Mamak jodohkan kau sama si Murni, tapi kau tolak dan memilih si Salma itu, si Murni itu udah punya salon dia, coba dia jadi menantuku, pasti udah bisa ke salon tiap hari aku.""Si Murni dulu jellek Mak, gendut lagi, kalau Salma kan cantik.
Salma bertanya, siapa yang menelpon ibunya, Rahmat langsung gerak cepat. "Ehmm, begini Pak Nurdin, ada yang ingin saya bicarakan, bisa kita keluar sebentar," ucap Rahmat. "Bisa, bisa, bisa kali pun, Nak Rahmat." Pak Nurdin langsung mengiyakan dan berjalan ke arah pintu keluar."Pak, jawab dulu pertanyaan Salma," ujar Salma sedikit mendelik pada bapaknya, bukannya menjawab malah ikut ajakan Rahmat. "Salma, sstt … pelankan suaramu, banyak pasien lain di kamar ini.""Betul itu kata suamimu, Salma."Salma memutar bola mata malas, padahal tadi suaranya sudah cukup pelan, Salma pun sadar diri karena ini rumah sakit dan ibunya dirawat di kamar kelas tiga yang satu kamar ada beberapa pasien lain jadi tidak mungkin dia bicara dengan nada tinggi. Rahmat dan Pak Nurdin menuju pintu keluar. "Ada apa, Nak Rahmat?""Saya ingin menanyakan biaya, bagaimana biaya rumah sakit ini.""Ya Allah, itulah yang Bapak peningkan Nak Rahmat, untuk makan saja kami susah, konon pulalah biaya rumah sakit." Pak
Kenapa Bapak lama sekali?" tanya Salma lagi. "Salma, sini duduk dulu, ada yang ingin Bapak bicarakan, cepat! Duduk di sini," ucap Pak Nurdin dengan wajah terlihat emosi. "Pak, jangan pakai emosi, biar bagaimanapun, Salma ini istri saya," ujar Rahmat sambil tersenyum teduh pada Salma, tapi Salma yakin, senyum itu palsu. "Bapak minta sama kau Salma, kau cabut laporan yang telah kau buat untuk suamimu, apa kau sudah gila? Kalau Rahmat dipenjara, kalian mau makan apa?""Ooh, jadi Bapak sudah termakan omongannya, Bang Rahmat?""Ga ada aku termakan atau apa, kau pikirkan baik-baik, perbuatanmu itu benar-benar memalukan, efeknya bisa berkepanjangan, seorang istri itu harus bisa menjaga marwah suaminya, kau malah sebaliknya, istilahnya seperti melempar kotoran ke wajah suamimu.""Betul apa yang Bapak katakan itu Salma."Salma diam, wanita tangguh itu terlihat menarik nafas dan mengeluarkan dengan asal, Salma menoleh sekali lagi pada Rahmat, lelaki itu tersenyum menyeringai beberapa detik